Rabu, 01 Juni 2016

Responding Paper Kearifan Lokal Suku-Suku di Indonesia

Agama Tradisional Suku Dayak


A.    Asal Usul Orang Dayak.
Asal usul suku dayak diperkirakan merupakan keturunan dari ras Mongolid, Asia. Seperti diketahui bahwa 2000 tahun sebelum masehi, benua Asia masih menyatu dengan Pulau Kalimantan. Ras mongolid yang terdesak karena kalah perang, mengembara ke arah Selatan, mulai dari Semenanjung Malaya, Serawak, hingga Kalimantan. Ras Mongolid ini kemudian menetap, mendirikan perkampungan di tepian-tepian sungai, beranak pinak, dan membangun kebudayaannya sendiri di tanah Borneo. Seiring waktu berlalu, suku bangsa Melayu dari Sumatera dan Semenanjung Malaya, Orang-orang suku Bugis, Makassar, dan Jawa yang datang dalam rentang waktu yang lama, mendesak orang-orang ras Mongolid yang menjadi asal usul suku dayak ini untuk semakin masuk, naik ke huluan sungai. Mereka terpencar-pencar, menyebar, dan mendiami daerah daerah pedalaman. Masing-masing dari mereka kemudian mengembangkan adat budayanya masing-masing dan menjadi cikal bakal beragamnya sub etnis suku dayak di tanah Kalimantan.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan.
Sejarah dan asal usul suku dayak juga dipengaruhi oleh budaya dari suku atau bangsa lain yang masuk ke wilayah Kalimantan. Misionaris Kristen misalnya yang telah berhasil mengubah kepercayaan suku dayak yang awalnya animisme menjadi percaya pada Al-Kitab, budaya Islam yang dibawa orang-orang Jawa di masa kejayaan kerajaan Demak telah membuat sebagian kecil masyarakat dayak beralih menganut Islam, serta kebudayaan Tionghoa yang menambah keragaman pengetahuan seni mereka seperti piring malawen, belanga, dan peralatan keramik.
B.     Mite dan Magi Orang Dayak.
Di dalam mite orang dayak , pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya sebelum menabur benih padi pertama, sebelum membangun rumah, sesudah menempati rumah baru, harus dipersembahkan korban kepada roh-roh tertentu. Roh-roh itu disebut nyahuq, yang dialami sebagai pembawa kabar tentang keselamatan dan malapetaka. Roh-roh itu menampakkan diri dalam jenis burung tertentu, rusa atau pelanduk; kadang-kadang juga dalam bentuk beberapa jenis ular dan madu. Suku bangsa Dayak lainnya percaya akan roh-roh yang sama yang menampakkan diri dalam burung-burung. Cerita-cerita mitologis itu mungkin berbeda satu sama lain, tetapi fungsi roh-roh itu sama. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam mitos-mitos itu sebenarnya melukiskan jalan menuju keselamatan.
Dalam hal ini kita jangan menyamakan mitos dengan dongeng. Kita harus memandang peristiwa-peristiwa itu sebaga sejarah suci karena orang Dayak mengalaminya sebagai sejarah Mitos yang menguraikan peristiwa dari zaman kejadian purba itu memberi petunjuk juga tentang kultus, yaitu mengenai cara ibadat dan waktu ibadat harus diadakan.
Kita dapat mengatakan bahwa orang Dayak hanya dapat bertindak sebagai orang beriman menurut tradisinya kalau ia mengikuti perbuatan nenek moyang sebagai teladan baginya. Dengan kata lain: ia baru menjadi manusia sejati bila tingkah laku dan perbuatannya sesuai dengan ajaran segala mite. Jadi perbuatan sebagai manusia hanya bernilai bila ia menempatkan diri dalam tradisi yang berakar pada zaman kejadian purba. Perbuatannya harus mencerminkan perbuatan nenek moyang yang mitis. Maka, mitos-mitos merupakan ajaran tentang penyelamatan manusia di dunia ini.
Suku Dayak juga di kenal dengan ilmu magisnya , ilmu magis ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu mangaji (berguru), balampah (bertapa), katuahan (keberuntungan), nupi (mimpi), minyak dan ada yang memiliki ilmu magis sejak lahir.
C.     Struktur Keagamaan Orang Dayak.
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
D.    Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. System penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan:
a.       Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
b.      Penguburan di dalam peti batu(dolmen).
c.       Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bamboo, atau anyaman tikar, ini merupakan system penguburan yang terakhir berkembang.
1.      Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
v  Wadah (peti) mayat : lungun, selokng dan kotak.
v  Wadah tulang-belulang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
a)      Berdasarkan tempat peletakkan.
ü  wadah (kuburan) suku Dayak Benuaq:Lubekng (tempat lungun).
ü  Garai (tempat lungun, selokng).
ü  Gur (lungun).
ü  Tempelaaq dan kererekng
b)      Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan :
1)      Penguburan tahap pertama (primer)
a.       Paper api
b.      Kenyauw
2)      Penguburan tahap kedua (sekunder)
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua, di hulu sungai bahau dan cabang- cabangnya di kecamatan pujungan malinau, Kalimantan timur banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan diatas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit .
2.      Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
v  Dikubur dalam tanah
v  Diletakkan di pohon besar
v  Dikremasi dalam upacara tiwah
Prosesi penguburan sekunder
Ø  Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Ø  Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
Ø  Marabia.
Ø  Mambatur (Dayak Maanyan).
Ø  Kwangkai
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-agama Lain.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan. Selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam. Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak.

AGAMA TRADISIONAL ORANG JAWA

A.    Kepercayaan Tradisional Jawa dan Aneka Laku yang Dipraktekkan  Orang Jawa Sehari-hari.
Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada. Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan) dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya :Manunggaling Kawula lan Gusthi (Bersatunya Hamba dan Tuhan). Berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. Jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
B.     Upacara Keagamaan dan Makna Keselamatan Orang Jawa
Upacara terpenting menurut orang  jawa adalah upacara makan bersama, yang dalam bahasa disebut slametan (Ngoko). Slametan adalah suatu upacara terpenting dari hamper semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang jawa pada umumnya. Salah sat aktivitas keagamaan penting lain yaitu kunjungan ke makam nenek moyang yang disebut Nyekar. Suatu slametan biasanya diadakan pada malam hari. Para tamu harus duduk diatas tikar dan ditengah-tengahnya harus diletakkan dua atau tiga buah tampah berisi hidangan slametan berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauk pak dan hiasannya.
Slametan bersifat keramat adalah upacara slametan dimana orang-orang yang mengadakannya merasakan getaran emosi kramat. Upacara slametan yang benar-benar bersifat kramat dan menggetarkan emosi keagamaan seseorang misalnya upacara kematian. Upacara slametan yang bersifat kramat melibatkan semua warga desa adalah  upacara bersih dusun. Upacara kramat pada hari besar agama islam misalnya maulid nabi,  idul fitri, idul adha dan lainnya. Upacara slametan yang bersifat kramat dari individu adalah ngruwat, dan yang tidak kramat misalnya penyerahan mas kawin, pindah rumah, memasuki rumah baru, ganti nama dan lainnya.
C.    Kepercayaan Kejawen ( Kepercayaan Orang Abangan di Jawa)
Kepercayaan orang abangan di jawa yang kompleks dan rumit terhadap makhluk halus dan seluruh rangkaian teori dan praktek pengobatan, kekuatan ghaib adalah sistem keagamaan orang jawa. kepercayaan orang abangan terhadap makhluk halus yang mereka percayai adalah:
1.      Memedi (tukang menakut-nakuti), jenis ini hanya menkut-nakuti orang saja tanpa membahayakan bagi orang yang ditakutinya. Memedi laki-laki disebut gondoruwo dan yang perempuan disebut wewe. Mememdi biasanya ditemukan di tempat gelap dan sepi.
2.      Lelembut (makhluk halus), sebaliknya dari memedi, lelembut dapat menyebabkan orang jatuh sakit atau gila. Lelembut biasanya masuk kedalam tubuh orang, dan kalau orang tersebut tidak diobati oleh seorang dukun maka akan menyebabkan orang tersebut menjadi gilabahkan mati, dan dukun ini biasanya orang jawa asli.
3.      Tuyul (anak-anak mahkluk halus), menyerupai anak anak dan biasanya dapat menjadikan seseorang menjadi kaya raya.
4.      Danyang (roh pelindung), mereka menetap pada suatu tempatyang disebut punden. Mereka menerima permohonan orang untuk minta tolong dan sebagai imbalannya mereka menerima persembahan slametan. Mereka tidak menyakiti orang lain melainkan hanya bermaksud melindungi.
D.    Kitab- kitab Kejawen (kitab serat wulangreh, kitab serat weddatama, kitab hidayat jati, kitab darmogandul, kitab gatoloco)
1.      Kitab Serat Wulangreh
Wulangreh dapat dimaknai ajaran untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku menuju hidup harmoni atau sempurna. Untuk lebih jelasnya, berikut dikutipkan tembang yang memuat pengertian kata tersebut :”Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara”, yang artinya ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras memperkokoh karakter, kokohnya budi (karakter) akan menjauhkan diri dari watak angkara. Berdasarkan makna tembang tersebut, laku adalah langkah atau cara mencapai karakter mulia bukan ilmu dalam arti ilmu pengetahuan semata, seperti yang banyak kita jumpai pada saat ini. Lembaga pendidikan lebih memfokuskan pengkajian ilmu pengetahuan dan mengesampingkan ajaran moral dan budi pekerti. Salah satu keistimewaan karya ini adalah tidak banyak menggunakan bahasa jawa arkhaik (kuno) sehingga memudahkan pembaca dalam memahaminya.
2.      Kitab Serat Weddatama
Serat weddatama (tulisan mengenai ajaran utama) adalah sebah karya sastra jawa baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi islam. Serat ini terdiri dari 100 pupuh tembang macapat, yang dibagi dalam lima lagu, yaitu: 1. Pangkur-14 pupuh, 2. Sinom-18 pupuh, 3. Pocung- 15 pupuh, 4. Gambuh-35 pupuh, 5. Kinanthi-18 pupuh. Isinya merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa  bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang berwatak ksatria.
3.      Serat Wirid Hidayat Jati
Serat Wirid Hidayat Jati merupakan salah satu dari sekian banyak hasil karya pujangga masyhur kraton Surakarta Raden Ngabehi Rongggowarsito. Tulisan ini disempurnakan atau diselesaikan penulisnya pada tahun Jawa 1791 atau tahun 1862 yang ditulis dalam bahasa Jawa karma gancaran (prosa) yang halus dan indah dengan tulisan huruf Jawa. Kemudian dibangun kembali diantaranya oleh R. Tanoyo yang menyadari dengan dilatinkan, maka mudah membacanya walaupun belum pasti mudah pula mengambil pengertiannya. Ada juga orang lain yang mengubah ke dalam huruf latin, yaitu Honggopradoto.
4.      Kitab Dormagandul
Kitab ini isinya sangat disakralkan oleh sebagian orang, terutama oleh para penganut kepercayaan. Lebih lanjut, para penganut kepercayaan ini me-namakan diri sebagai penganut ajaran Darmogandul. Pada umumnya, kitab Darmogandul ini banyak menceritakan tentang fenomena keagamaan saat itu, yakni saat Majapahit memimpin nusantara. Tentu saja, agama-agama yang disinggung saat itu adalah Budha, Hindu, dan Islam.
5.      Kitab Gatoloco
Adapun “kitab suci” aliran kebatinan yang mirip dengan Darmogandul adalah Gatoloco. Kitab ini diperkirakan sudah ada pada abad ke 19 M. Gatoloco sendiri adalah nama tokoh utama dari kitab tersebut. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
·         Pupuh 1 dhandanggula berisi 13 bait
·         Pupuh 2 mijil berisi 20 bait
·         Pupuh 3 kinanthi berisi 29 bait
·         Pupuh 4 gambuh berisi 69 bait
·         Pupuh 5 sinom berisi 87 bait
·         Pupuh 6 pangkur berisi 68 bait
·         Pupuh 7 asmarandana berisi 65 bait
·         Pupuh 8 gambuh berisi 16 bait
·         Pupuh 9 sinom berisi 45 baititu
·         Pupuh 10 kinanthi berisi 25 bait  
·         Pupuh 11 pangkur berisi 80 bait
·         Pupuh 12 kinanthi berisi 12 bait
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Jawa dengan Agama-agama Lain

Jawa dinilai sebagai sebuah kebudayaan yang memiliki kekokohan untuk menjadikannya tetap eksis. Kedatangan agama Buddha ke dalam kebudayaan Jawa tidak menciptakan Jawa yang Buddha. Masuknya agama Hindu juga tidak mampu menciptakan Jawa yang Hindu. Begitupun Islam, betapa luasnya pengaruh agama ini, terlebih paska kemunduran dan kehancuran kerajaan Majapahit yang ditandai dengan kebangkitan Demak, tidak mampu menciptakan Jawa yang Islam. Yang terbentuk dari semua persentuhan agama-agama tersebut adalah Buddha, Hindu dan Islam yang Jawa, bukan sebaliknya.

Agama Tradisional Orang Batak

A.    Mitologi Batak dan Jenjang Kehidupan Manusia Zaman Berhala.
Mitologi bukan merupakan sebuah legenda belaka untuk suku Batak, tetapi juga sangat mempengaruhi sistem adat-istiadat Batak, bahkan masih mempengaruhi cara berpikir suku Batak sampai masa kini, antara lain tentang pendapat, bahwa manusia tidak mampu menentukan nasibnya sendiri, sekalipun dia sangat menginginkannya. Memang benar, bahwa masing-masing anak-suku (puak) mempunyai mitologi sendiri-sendiri tentang asal mula orang Batak, tetapi pada pokoknya semua Mitologi itu sama dan berkisar pada lahirnya si Raja Batak yang menjadi nenek moyang semua orang Batak.
Suku Batak sudah mempunyai kebudayaan sendiri dan juga telah memiliki keterampilanyang cukup tinggi. Diantara benda-benda yang dimiliki, yang sangat berpengaruh dalam hidupnya adalah aksara Batak sendiri. Hanya dengan mengenal dan memahami aksara orang itu dapat melihat-lihat keanehan-keanehan dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam jampi dan mantra datu Batak. Sangat disesalkan karena penulisan hukum adat Batak, syair, pantun, umpama, dongeng, dan sisilah Batak, yang sangat penting kedudukannya dalam budaya batak, tidakdituangkan dalam bentuk tulisan.pada mulanya orang-orang Eropa bermaksud melakukan penulisan itu, tetapi gagal. Cerita-cerita peninggalan nenek moyang yang mereka dapatkan secara lisan, tidak ditulis sesuai aslinya, banyak yang di ubah, sehinga tidak lagi memberi gambaran otentik mengenai budaya dan filsafatnya.
Ukiran-serta pahatan-pahatan pada rumah adat Batak sangat indah dan menggambarkan kepekaan rasa pengukirnya. Demikian juga hasil tempaan para pandai besi dan para penenun. Semuanya membuktikan bahwa suku Batak sangat menekuni pekerjaannya dengan mengandalkan pengetahuan dan perasaan artistik yang dimilikinya. Dalam hal pengolahan tanah, harus diakui bahwa mereka cukup berhasil – meskipun pada masa perang, rakyat masih mampu mempertahankan hidupnya dengan hasil tanamannya sendiri. Disamping itu, suku Batak berjiwa patriot dan sudah lama mengenal rabuk,sehingga sebagaimana orang yang memiliki sifat-sifat keprajuritan yang gemar berkelahi, dalam soal pertikaian antar kelompok atau kampung mereka sangat cepat menggunakan senjata api. Namun suku Batak rata-rata bukanlah pendendam. Memang benar mereka cepat naik darah, tetapi marahnya tidak lama dan segera dilupakan, sejauh masalah itu hanya menyangkut pribadinya saja.
Menurut Mitologi Batak, tempat asal suku Batak adalah gunung Pusuk Buhit yang terletak di sebelah Barat Laut Danau Toba.
B.     Asal-usul dan Perkembangan Kepercayaan Parmalim.
Parmalim, oleh panganutnya disebut agama. Namun, bagi negara, Parmalim adalah kepercayaan atau tidak dikategorikan agama, seperti Islam, Hindu, Buddha, Kristen,  Katolik, dan Konghucu.
Parmalim ini di pimpin oleh R.M Naipospos, keturunan Raja Mulia Naipospos, salah seorang murid Sisingamangaraja ke 12 yang diberi mandat meneruskan kepercayaan tersebut kepada keturunannya sebelum Sisingamangaraja ke 12 meninggal dunia.
Agama ini tidak mengenal surga atau sejenisnya, selain debata Mula jadi Na Bolon (tuhan YME) dan arwa-arwa leluhur, juga tokoh-tokoh adat yang dihormati, seperti kaum Hula-hula. Pimpinan Parmalim saat ini, Raja Marnangkok Naipospos.
Bagi kepercayaan ini, pimpinannya disebut Ihutan Bolon. Sementara penganutnya disebut ras, dan orang yang mewakili penganutnya dari setiap daerah (cabang) disebut Ulupunguan. Parmalim memang kepercayaan yang cukup unik. Rata-rata penganutnya asli keturunan Batak. Tetapi kepercayaan ini, mengharamkam penganutnya memakan babi, anjing, darah, dan menyantap makanan dari rumah keluarga yang tengah berduka (meninggal dunia).
Agama parmalim ini pada hakikatnya, agama asli batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam. Bahasa ritual yang digunakan adalah bahasa Batak. Agama ini sangat tertutup, penganutnya  hanya untuk suku batak saja.
C.     Kepercayaan Parmalim dan Ajaran-ajarannya.
Bentuk penghayatan dari kepercayaan Parmalim dahulunya hanya berbentuk upacara biasa saja dan belum disebut sebagai kepercayaan Parmalim tetapi disebut sebagai Ugamo Malim pada masyarakat Batak dan inti ajarannya berpegang pada adat istiadat Batak, lama-kelamaan kepercayaan ini mulai berkembang seiring dengan bertambahnya pengikut kepercayaan ini. Tetapi dengan masuknya agama modern yang dibawa oleh Dr. Il Nomensen maka pengikut ajaran kepercayaan tua ini pun berkurang, sehingga muncul istilah dari suku Batak Toba sendiri istilah Parmalim yang artinya orang yang mengikuti ajaran ugamo. Di dalam doa-doa dan pujian pengikut Parmalim selalu menyampaikan doa kepada Debata Mulajadi Nabolon dan Raja Sisingamangaraja yang dipandang sebagai malim tertinggi yaitu malim pilihan Tuhan atau Malim Ni Debata Tuhan dalam ajaran Parmalim di sebut dengan Mulajadi Nabolon. Hubungan penganut dengan Mulajadi Nabolon disebut dengan Ugamo dan inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut dengan Hamalimon atau kebersihan atau kesucian.
Hari khusus bagi penganut Ugamo Malim yaitu hari Sabtu, dimana mereka melakukan perkumpulan atau parpunguan tersebut pada satu tempat yang merupakan tempat berkumpul mereka dalam melaksanakan ibadahnya yang disebut dengan Balai Partonggoan atau Bale Pasogit untuk di pusat, yang terletak di desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, kecamatan. Laguboti, kabupaten. Toba Samosir. Desa Pardomuan Nauli merupakan desa tempat tinggal dari Raja Mulia Naipospos yang merupakan salah satu panglima dari Raja Sisingamangaraja yang menerima perintah dari Raja Sisingamangaraja untuk memimpin dan meneruskan ajaran Parmalim, sehingga Desa Pardomuan Nauli yang lebih dikenal masyarakat sebagai Desa Hutatinggi dijadikan sebagai pusat dari kepercayaan Parmalim dan tidak dapat dipindahkan ke daerah lain.
D.    Upacara Keagamaan dalam Kepercayaan Parmalim.
Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim. Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah :
1.      Martutuaek (kelahiran)
2.      Pasahat Tondi (kematian)
3.      Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
4.      Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5.      Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6.      Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7.      Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)
Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya. Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah. Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi Umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni Tuhan atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu di awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima, yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Ritual Sipaha Lima dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak. Ini dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu. Seperti diutarakan Monang Naipospos, Pengurus Pusat Parmalim.

 Agama Tradisional Orang Sakai

A.    Asal-usul Orang Sakai di Kepulauan Riau.
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang.
Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.
Nama Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya, mereka adalah anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan.
Ada yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu. Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku Sakai ini. Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu.
Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.
Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri, pendapat ini dianggap yang lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung.
Bisa jadi anggapan pertama benar adanya, namun bisa juga kedua anggapan tersebut benar. Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku Sakai ini di sepanjang daratan Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang terbesar hingga saat ini terdapat di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).
B.     Kepercayaan dan Magi Orang Sakai.
Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.
C.     Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai.
Di lingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
1.      Upacara kematian.
2.      Upacara kelahiran.
3.      Upacara pernikahan.
4.      Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Life cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya:
1.      Upacara menanam padi.
2.      Upacara menyiang.
3.      Upacara sorang sirih.
4.      Upacara tolak bala.
Pada saat ini masyarakat suku sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat Suku sakai tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu).
D.    Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-agama Lain.
Interaksi sosial antar orang Sakai dengan sebagian masyarakat Melayu seringkali diwarnai konotasi merendahkan posisi Sakai, dengan anggapan bahwa mereka jauh dari kemajuan. Salah satu yang dianggap merendahkan orang Sakai adalah karena agama/kepercayaannya masih animisme, meskipun tidak sedikit yang sudah masuk Islam. Bagi orang Sakai yang sudah masuk agama Islam pun, mereka tetap mempraktekkan agama nenek moyangnya yang sarat dengan unsur-unsur animisme, kekuatan magi dan tentang makhluk halus. Inti dari agama warisan nenek moyang orang Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan “Antu” atau makhluk gaib yang berada di sekitar mereka. Menurut mereka Antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia yang satu sama lain saling berinteraksi  kendati hidup di alam yang berbeda. Pusat dari keberadaan Antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.

Agama Tradisional Suku Trunyan


A.    Asal Usul Suku Trunyan atau Bali Aga

Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbak yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat. Semua itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.

Waktu sampai di Kaki Gunung Batur, sang Putri bungsu tertarik dengan tempat tersebut dan memutuskan untuk tinggal disana. Selanjutnya sang putri pindah ke lereng gunung batur sebelah timur dan memiliki gelar Ratu Ayu Mas Marketeg. Kemudian ketiga saudaranya melanjutkan perjalanannya. Hingga suatu ketika mereka sampai di dataran bernama Kedisan, mereka mendengar suara burung yang merdu. Mendengar suara burung ini, pangeran ketiga sangat kegirangan. Namun, pangeran pertama ternyata tidak menyukainya. Maka dipertahkannya pangeran ketiga untuk berdiam diri di tempat tersebut. Ketika pangeran ketiga menolak, pangeran sulung marah dan menendangnya hingga jatuh dalam posisi duduk bersila dan berubah patung. Patung tersebut diberi nama Patung Bathara Dewa yang sekarang masih ada di wilayah Kedisan dengan bentuk aslinya yang masih duduk bersila.

Setelah itu kedua pangeran yang tersisa melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke sebuah dataran, dimana mereka bertemu dengan dua orang gadis yang cantik. Sang pangeran kedua kemudian menyapanya, melihat ini pangeran pertama kembali marah dan memerintahkan untuk tinggal di tempat itu, pangeran keduapun menolak, dan kemudian pangeran pertama menyepak adiknya hingga jatuh tertelungkup dan kemudian ditinggalkan, kemudian pangeran kedua ini menjadi kepala desa di tempat itu yang di sebut dengan Desa Abang Dukuh. Dukuh sendiri merupakan istilah dalam bahasa lokal yang berarti telugkup.

Pangeran pertama akhirnya melanjutkan perjalanannya seorang diri, dan akhirnya menemukan sumber harum yang berasal dari pohon Taru Menyan. Di bawahnya ia melihat seorang Dewi yang sangat cantik jelita. Kemudian sang pangeran pun jatuh cita dan berniat untuk melamar sang Dewi. Lamaran akan diterima dengan syarat pangeran mau menjadi pemimpi desa tersebut. Akhirnya pangeran itu diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat, sedangkan istrinya diberi gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.
B.     Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
Berikut adalah Mite yang dipercayai di suku Trunyan:
1.      Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit
Dahulu ada seorang dewi yang terpesona dengan bau harum, setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya akhirnya berhasil menemukan. Sumber harum itu ternyata berasal dari pohon Taru Menyan, sejak itu tempat itu dinamakan Trunyan. Akhirnya sang Dewi memutuskan untuk tinggal disana.
2.      Adat Kebudayaan di suku Trunyan
Berikut adalah beberapa adat kebudayaan yang ada di suku Trunyan:
a.       Bentuk Pemakaman
Desa Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang dikenal dengan Ngaben. Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang. Posisi peletakan jenazah berjejer bersanding dengan yang lainnya, lengkap dengan pembungkus kain sebagai pelindung tubuh waktu prosesi.
b.      Pementasan Barung Brutuk
Pada umumnya Barong di Bali itu bentuknya wujud binatang seperti macan, singa, gajah, naga maupun babi. Namun, yang ada di Trunyan ini berbeda, wajahnya barongnya menggunakan  seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering.
c.       Arsitek Adat Desa Trunyan
Arsitek yang berada di Desa Trunyan sangat berbeda dengan arsitektur-arsitektur ditempat lain. Jika ditempat lain dalam satu pekarangan hanya terdapat satu kepala keluarga akan tetapi berbeda dengan desa Trunyan dimana di dalam satu pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di dalam ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak, makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga.
3.      Ritual dalam Desa Trunyan
Dalam ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja.
C.     Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
a.       Sistem Religi Desa Trunyan
Religi di Desa Trunyan berbentuk variant, atau salah satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindu Bali Trunyan, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu Dharma, yang juga telah diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia. Agama Hindu Trunya dianggap sebagai agama varian dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya lebih berpegang kepada kepercayaan Trunyan asli. Sedangkan maksut dari kepercayaan Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship), yakni tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu untuk dipuja (animisme). Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena sudah mempergunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu Bali. Namun semua itu digunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan.
b.      Tempat dan Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
Kedua, Pitra Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan para kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi Yadnya, upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta.
Keempat, Buta Yadnya, Upacara yang dilakukan untuk para buta kala, biasanya juga dengan Mercaru.
Kelima, Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam bulan sekali.
D.    Upacara Kematian dan Pemakaman Trunyan
Meskipun sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenasah. Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu. Pohon taru menyan itulah cikal bakal nama desa TrunyanSecara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1.      Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang. Tidaklah mengherankan jika di area Sema banyak berserakan tengkorak dan tulang-tulang. Meskipun jenasah orang Trunyan tidak dikubur dan dibiarkan terbuka, konon tak menyebarkan bau busuk. Masyarakat Trunyan meyakini bahwa bau busuk jenasah telah disedot oleh pohon Taru Menyan. Memang secara logika pohon ini menebarkan aroma wangi sehingga bisa menetralkan bau di sekitarnya.
2.      Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Desa ini juga memiliki 3 cara unik penggolongan dalam mengupacarai mayat, yang maknanya dikatakan setara dengan upacara pengabenan. Adapun upacara tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Jika yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan umumnya. Tempat pemakamannya disebut “Sema Muda”. Mayat bayi tidak diletakkan begitu saja, tetapi mayat akan dikubur.
2.      Untuk mereka yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar seperti kecelakaan, pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat penguburannya adalah di “Sema Bantas” yang terletak di perbatasan desa Trunyan dan desa abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
3.      Untk mereka yang meninggal wajar, dalam artian meninggal karena faktor usia, maka akan diletakkan di pemakaman umum “Sema Wayah”.
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan dengan Agama-agama Lain
Disini bukan interaksi khusus suku Trunyannya yang akan dibahas lebih dala, melainkan interaksi Enis Bali dengan etnis agama lain. Salah satunya yaitu interaksi antara etnis Bali dengan etnis Sasak (Islam). Kerjasama antara etnis Bali dan etnis Sasak sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak) dengan pihak kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan berdampingan dengan masyarakat hindu dan bekerjasama dalam menjaga keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari serbuan kerajaan lainnya di Bali. Kerjasama tersebut berlanjut sampai sekarang, namun dalam konteks menjaga keamanan wilayan Desa Pakraman yakni sebagai pencalang dan jagabaya. Sebagai pencalang umat Hindu dan umat Islam ikut bergabung menjaga keamanan, berkeliling di wilayah desa dan banjar.
Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin membeli kebutuhan sehari-hari. Kerjasama juga terjadi saat para pedagang etnis Bali dan etnis Sasak saling membantu menaikkan dan membawa barang-barang dagangan saat berurusan dengan pihak berwajib (tibum).

Agama Tradisional Suku Tengger




A.    Asal Usul Orang Tengger

Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”.

Dari perkawinan yang telah dibina cukup lama, keduanya belum memiliki anak. Setelah berjalan cukup lama, mereka mendapatkan wangsit dari Dewata dan kemudian di karuniai 25 orang anak. Dari ke 25 anak itu, anak yang bungsu yang bernama Dewa Kesuma. Anak ini setelah dewasa dikorbankan kepada Brahata Dharma di kawah gunung Bromo. Sebelum dikorbankan Dewa Kesema berpesan “ hiduplah rukun damai dan berbaktilah kepada Sang Hyang Widi Wasa”. Agar setiap tahun pada tanggal dan bulan pada saat dirinya dikorbankan, saudara-saudara dan anak cucu mereka diharapkan mengirimkan korban dan sesaji dikemudian hari.

B.     Pandangan Hidup, Kepercayaan Orang Tengger
Kepercayaan mereka terlihat pada unsur  animisme, yakni adanya roh-roh yang memiliki kekuatan  karena itulah mereka membuat berbagai upcara dan sesajian. Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya:
a.       Animisme
Animisme ialah salah satu kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan roh atau makhluk halus yang mengelilinginya. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting, roh nenek moyang dari anak cucu yang masih hidup.
b.      Konsep Tentang Tuhan
Tidak diketahui dengan jelas bagaimana perbedaan konsep tentang dewa dengan konsep pemikiran tentang Sang Hyang. Hal ini terlihat pada upacara korban di gunung Bromo pada upacara Kesodo, dimana sesajian di gunung Bromo merupakan persembahan kepada Betono Bromo dan kepada Dewo kesumo.
c.       Sembahyang dan Semedi
Semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sangsi. Karena itu pelaksanaa semedi tidak merupakan peribadatan yang bersifat massal, meskipun dilaksanakan masal di sanggar pemujaan. Pelaksanaan semedi lebih menjurus kearah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maho Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa. Semedi dilakukan pada pagi hari dengan menghadap ke Timur dan sore dengan menghadap ke Barat. Sedangkan semedi bersama dilakukan disanggar pemujaan pada bulan purnama tanggal 15 setiap satu bulan sekali. Sebelum melaksanakan semedi harus mandi keramas lebih sebagai cara untuk mensucikan diri, dengan air yang sudah diberi mantra.
d.      Konsep Alam
Mereka mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci. Manusia yang baik jika ia meninggal dunia rohnya akan masuk surga. Sebaliknya, manusia jahat akan masuk neraka. Gambaran mereka tentang surga seperti yang banyak diyakini pula oleh umat Islam di dalamnya terdapat 144 orang bidadari yang akan menikmatan yang abadi. Sedangkan gambaran neraka merupakan tempat penyucian roh yang penuh kekotoran dan digambarkan sebagai kawah condro dimuko.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
Kehidupan masyarakat Tengger dikenal dengan masyarakat yang teratur dan serasi. Jarang sekali diantera mereka terjadi perselisihan, hal ini disebabkan ketaatan masyarakat terhadap ajaran agamanya, yang dikenal dengan ajaran kehidupan yang biasanya dibacakan kepada hari raya Kesodo.
1.      “Hong pukulan maniro sak sampune dumerek ing sasi kasodo maningo ing temah” artinya: Yang maha Kuasa pelindung seluruh makhluk mengetahui amal perbuatan manusia, memberikan berkahnya kepada bulan Kesodo.
2.      “Milango ing sarining potro kanggo milar panjenengan ing minah” artinya: hendaklah manusia berbuat amal kebajikan, merubah perbuatan buruk menjadi baik, memperhatikan gerak hati yang bersih.
3.      “Kang adoh pinarekaken, kang parek tinariko nang aron-aron” artinya: orang yang jauh dari kebaikan supaya diperingatkan untuk berbuat baik dan diajak untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
4.      “Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo” artinya: kerjakanlah perbuatan yang baik supaya selamat jiwa dan raga dan mendapatkan ridho Tuhan.
5.      “Jiwo raga sinusupan babahan werno songo” artinya: hendaklah jiwa raga terjaga segala sesuatu yang memasuki lobang sembilan pada manusia.
6.      “Ngelingono jiwo premono hanimboho binyu karabayuan” artinya: hendaklah manusia mempunyai hati yang bersih ( welas asih) dan berbuat kasih sayang terhadap semua makhluk.
7.      “Dewiru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rahayu palinggihanetiti yang lura, lurah kyahi dukun sagung anak putu andoyo puluh” artinya: bila petunjuk-petunjuk tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan jiwa mantap oleh seluruh lapisan masyarakat, maka manusia setelah mati akan mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan jiwa yang disebut dengan mati yang sempurna.
C.     Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
a.       Hari Raya Karo
Hari raya Karo adalah hari raya pemeluk agama Buddha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin. Tujuan upacara Karo ialah memohon selamat untuk penghormatan kepada bapak dan ibu, karena dengan perantara keduanyalah Tuhan telah menyebarkan bibit manusia. Upacara ini dipimpin oleh dukun.
b.      Hari Raya Kesodo
Hari raya Kesodo adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan. Upacara Kesodo menempati tempat yang khusus di hati masyarakat Tengger. Mereka percaya, jika mereka tidak turut merayakannya kehidupannya tidak akan tentram. Sebaliknya jika mereka melaksanakan upacara tersebut maka hidupnya akan selamat dan dimurahkan rejeki, karena itu jauh-jauh hari dari sebelumnya mereka telah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
c.       Prosesi Upacara
Sebelum sampai di poten, pada umumnya orang mengadakan sesajian di suatu tempat yang bernama Watu Balang, Watu Wungkuk, Watu Dukun. Di Watu Balang orang mengambil batu sebesar genggaman tangan dan berkeliling tiga kali. Cara berkelilingnya seperti arah putaran jarum jam. Setelah itu kemudian naik keatas batu, dengan menyampaikan niat yang diinginkannya melempar batu ikut ke laut pasir. Di Watu Wungkuk caranya lain yakni, dengan membakar kemenyan di bawah batu itu, disampaikan niatnya sambil memberikan sesaji. Bila niatnya terkabul, ia harus menyampaikan kurbanya ke gunung Bromo.
d.      Entas-entas
Adalah acara untuk mensucikan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
e.       Unang-unang
Upacara Unang-unang dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna setelah kematian fisiknya.
f.       Pujaan Mubeng
upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dan dilakukan dengan memberikan sesajin-sesajin.
g.      Sesayut
Upacara yang dilakukan seseorang perempuan atau ibu hamil tujuh bulan.
D.    Upacara Kelahiran, Perkawinan dan Kematian dalam Suku Tengger
Upacara Kelahiran
Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar. Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Upacara ini dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih. Maksud dari upacara ini juga untuk memoho keselamtan. Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Maksud dari upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai berbicara. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat.
Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Hari perkawinan harus menghindari lara dan pati. Jika terpaksa jatuh pada lara dan pati, harus dan di adakan upacara ngepras, yaitu membuat sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian dikurbankan. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada 10 tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
Upacara Kematian
Diselenggarakan secara gotong royong. Para tetangga memberi bantuan perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan. Bantuan spontanitas tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan lain-lain yang disebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan.
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-agama Lain
Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta. Inovasi ini disambut meriah oleh warga desa. Parisada Hindu didirikan untuk menyelia agama, mengurus pernikahan dan kematian, serta melaksanakan kebijakan yang dikembangkan oleh parisada yang lebih tinggi yang berkedudukan di Surabaya.

Agama Tradisional Suku Waktu-Telu


A.    Sejarah Perkembangan Kepercayaan Waktu-Telu

Aliran Waktu-Telu adalah salah satu bentuk faham dalam Islam yang Khas dan hanya terdapat di Lombok. Di beberapa wilayah di Indonesia ada pula yang menjalankan praktek ajaran Islam sebagaimana di lakukan di Lombok itu, tapi tidak pernah disebut sebagai Waktu-Telu.

Waktu-Telu seringkali di sebut sebagai Wetu-Telu dan Metu-Telu yang berarti keluar. Waktu-Telu didefinisikan secara berbeda-beda, sesuai dengan penafsiran masing-masing kelompok. Diantaranya sebagai berikut:

1.      kelompok Islam Waktu-Telu sendiri member batasan sebagai “proses kejadian makhluk di alam semesta”.

2.      seorang pakar dari belanda menyebut Waktu-Telu sebagai bentuk kepercayaan zaman majapahit yang terkena pengaruh ajaran Islam.
3.      menurut kenyataanya, Waktu-Telu adalah sekelompok masyarakat Islam yang belum menyempurnakan syariat atau ajaran agamanya.

Mereka di sebut penganut Waktu-Telu karena ajarannya yang menyebutkan sumber segala sesuatu yang mereka perbuat berasal dari tiga pokok, yaitu usul, tasawuf dan fiqh, meskipun dalam prakteknya mereka kurang sekali mempraktekan fiqh. Seorang tokoh adat di Sembalun, Lombok Timur, bernama Pe Rumedi mengatakan, disebut Waktu-Telu karena ajaran yang mengemukakan segala sesuatu yang ada di atas dunia terdiri dari tiga unsure yaitu: (1) Unsur adat manusia. Dalam hidup dan kehidupan manusia di muka bumi ini tidak terlepas dari adat dan kebiasaan manusia itu sendiri, yang meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian. (2) Unsur Pade (padi). Unsur ini harus ada dalam hidup manusia, karena padi atau beras merupakan kebutuhan pokok yang harus dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, cara penanaman padi tidak boleh menyimpang dari cara dan adat istiadat yang sudah di tentukan oleh nenek moyang. Adat bertanam padi itu di atur oleh seorang pemimpin yang disebut “penutup”. (3) Unsur adat Agama. Ini menyangkut keyakinan terhadap keyakinan pemahaman agama Islam yang mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi.
B.     Pokok-pokok Kepercayaan dan Upacara Keagamaan
Pada prinsipnya bentuk ritual Wetu Telu dapat disederhanakan ke dalam dua bentuk perwujudan yaitu:
a.       Penghormatan Terhadap Roh
Keyakinan komunitas Islam Wetu Telu adalah percaya kepada makhluk halus yang bersemayam pada benda mati atau benda tertentu atau memiliki kekuatan tetapi tunduk di hadapkan kekuatan Tuhan. Menyangkut Roh leluhur, mereka percaya bahwa Adam dan Hawa merupakan asal usul nenek moyang kita.
b.      Penyelenggaraan Upacara Tertentu
Banyak bentuk ritual yang dihayati dan dijalankan oleh komunitas Islam Wetu Telu, antara lain:
1.      Perayaan Hari Besar Islam
Perayaan Hari Besar Islam bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah, akan tetapi Perayaan Hari Besar Islam dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat Islam Wetu Telu. Perayaan-perayaan tersebut dilakukan untuk mengenang kembali dan mengambil nilai-nilai yang positif.
2.      Upacara Peralihan Individu
Upacara Peralihan Individual dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur dan berharap akan menemukan perjalanan hidup yang lebih baik. Perjalanan hidup yang dimaksudkan adalah perjalanan ketika masih hidup di dunia maupun kehidupan di hari kemudian. Upacara yang terkait dengan seseorang atau individu yang dilaksanakan pada waktu masih hidup disebut gawe urip sedangkan upacara ritual yang dilaksanakan setelah orang tersebut meninggal dunia disebut gawe pati.
3.      Upacara Siklus Tanam
Banyak ritual yang dilakukan pada waktu melangsungkan proses menanam suatu jenis tumbuhan yang disebut adat bonga padi. Upacara ini dilakukan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan berharap agar segala sesuatu jerih payah pada waktu menanam dapat lebih bermanfaat. Prosesi atau ritual ini merupakan salah satu bentuk aplikasi masyarakat Islam Wektu Telu dalam Pengelolaan sumber daya alam.
C.     Waktu Tempat Berdiri dan Perkembangannya
Jika ada anggapan bahwa pengikut waktu telu ini adalah pemeluk Islam yang belum menyempurnakan praktek ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran Islam yang sesuai dengan al-Quran dan sunah Nabi tergambar pada campur aduknya berbagai kepercayan lama dengan ajaran Islam.
Sebelum Islam masuk ke Lombok, mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu dan Buddha yang bercampur dengan kepercayaan animisme. Mereka percaya bahwa roh orang yang meninggal pergi ke gunung Rinjani. Roh itu bisa kembali pada waktu-waktu tertentu atau bila diperukan kerumah anak cucu atau keluarganya yang lain. Dalam suasana pemahaman seperti itulah Islam masuk pertama kali ke Lombok.
v  Pendiri dan Tokoh-tokoh Waktu-Telu
Menurut penejelasan pendiri pengurus persatuan Islam Waktu-Telu di kejaksaan tinggi Nusa Tenggara Barat di mataram. Pada waktu yang tidak diketahui, datang seorang utusan bernama  pangeran Gusti Ngurah dari Jawa Tengah. Pangeran Gusti Ngurah ini datang dari Lombok dengan membawa dua buah Al-Qur’an yang dipikul dengan kayu jarak. Sampai sekarang Al-Qur’an itu di baca harus menggunakan lampu dari buah jeruk kedua Al-Qur’an ini ditinggalkan di Lombok ketika sang pangeran melanjutkan perjalannannya ke Sumbawa. Beberapa tahun kemudian datang  lagi seorang utusan lain bernama Gempa Agung. Kedatangan Gempa Agung di Lombok, untuk mencari pangeran Gusti Ngurai.  Akan tetapi Gusti Ngurah tidak ada, maka Gempa Agung tinggal di Lombok  dan mengajarkan Islam kepada para penduduk.  Selama Gempa Agung menetap di Lombok, ia hanya mengajarkan pegangan pokok saja.
D.    Konsepsi Kepercayaan Islam Waktu-Telu
Cara berfikir penganut islam waktu telu itu masih sangat sederhana, barangkali karena struktur masyarakatnya yang terisolir dan tidak mudah menerima pengaruh dari luar, apabila jika menyangkut adatistiadat dan agama yang mereka terima dari nenek moyangnya. Sifat gotong royong dan sifat social masih melekat kuat pada diri mereka.Ini terlihat pada beberapa praktek kehidupan mereka seperti:
Ø  Melakukan perbaikan rumah atau membangun rumah baru, harus dikerjaka nsecara gotong royong.
Ø  Aneka bercocok tanam di sawah dan lading dikerjakan secara gotong royong.
Ø  Pemberian makanan kepada pengemis atau salah seseorang tetangga yang kelaparan didasarkan bukan karna kelebihan makanan, tetapi membagi makanan yang ada meskipun makanan tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
Ø  Segala sesuatu yang mereka miliki merupakan titipan tuhan semata yang tidak boleh mereka sayangi dan cintai melebihi sayang dan cinta mereka kepada tuhan.
Ø  Semua harta benda yang mereka miliki seakan-akan merupakan milik bersama.
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Lombok dengan Agama-agama Lain
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Masyarakat terdiri atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi budaya bersama. Masyarakat mutlak harus ada bagi tiap individu sebab ia merupakan pusaran tempat nilai-nilai, barang-barang. Atau pun peralatan untuk hidup diperoleh. Juga individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab lewat aktivitas dan kreasi individu lah seluruh nilai material suatu peradapan diperolehA.    Sejarah Perkembangan Kepercayaan Waktu-Telu

Aliran Waktu-Telu adalah salah satu bentuk faham dalam Islam yang Khas dan hanya terdapat di Lombok. Di beberapa wilayah di Indonesia ada pula yang menjalankan praktek ajaran Islam sebagaimana di lakukan di Lombok itu, tapi tidak pernah disebut sebagai Waktu-Telu.
Waktu-Telu seringkali di sebut sebagai Wetu-Telu dan Metu-Telu yang berarti keluar. Waktu-Telu didefinisikan secara berbeda-beda, sesuai dengan penafsiran masing-masing kelompok. Diantaranya sebagai berikut:
1.      kelompok Islam Waktu-Telu sendiri member batasan sebagai “proses kejadian makhluk di alam semesta”.
2.      seorang pakar dari belanda menyebut Waktu-Telu sebagai bentuk kepercayaan zaman majapahit yang terkena pengaruh ajaran Islam.
3.      menurut kenyataanya, Waktu-Telu adalah sekelompok masyarakat Islam yang belum menyempurnakan syariat atau ajaran agamanya.

Mereka di sebut penganut Waktu-Telu karena ajarannya yang menyebutkan sumber segala sesuatu yang mereka perbuat berasal dari tiga pokok, yaitu usul, tasawuf dan fiqh, meskipun dalam prakteknya mereka kurang sekali mempraktekan fiqh. Seorang tokoh adat di Sembalun, Lombok Timur, bernama Pe Rumedi mengatakan, disebut Waktu-Telu karena ajaran yang mengemukakan segala sesuatu yang ada di atas dunia terdiri dari tiga unsure yaitu: (1) Unsur adat manusia. Dalam hidup dan kehidupan manusia di muka bumi ini tidak terlepas dari adat dan kebiasaan manusia itu sendiri, yang meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian. (2) Unsur Pade (padi). Unsur ini harus ada dalam hidup manusia, karena padi atau beras merupakan kebutuhan pokok yang harus dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, cara penanaman padi tidak boleh menyimpang dari cara dan adat istiadat yang sudah di tentukan oleh nenek moyang. Adat bertanam padi itu di atur oleh seorang pemimpin yang disebut “penutup”. (3) Unsur adat Agama. Ini menyangkut keyakinan terhadap keyakinan pemahaman agama Islam yang mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi.
B.     Pokok-pokok Kepercayaan dan Upacara Keagamaan
Pada prinsipnya bentuk ritual Wetu Telu dapat disederhanakan ke dalam dua bentuk perwujudan yaitu:
a.       Penghormatan Terhadap Roh
Keyakinan komunitas Islam Wetu Telu adalah percaya kepada makhluk halus yang bersemayam pada benda mati atau benda tertentu atau memiliki kekuatan tetapi tunduk di hadapkan kekuatan Tuhan. Menyangkut Roh leluhur, mereka percaya bahwa Adam dan Hawa merupakan asal usul nenek moyang kita.
b.      Penyelenggaraan Upacara Tertentu
Banyak bentuk ritual yang dihayati dan dijalankan oleh komunitas Islam Wetu Telu, antara lain:
1.      Perayaan Hari Besar Islam
Perayaan Hari Besar Islam bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah, akan tetapi Perayaan Hari Besar Islam dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat Islam Wetu Telu. Perayaan-perayaan tersebut dilakukan untuk mengenang kembali dan mengambil nilai-nilai yang positif.
2.      Upacara Peralihan Individu
Upacara Peralihan Individual dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur dan berharap akan menemukan perjalanan hidup yang lebih baik. Perjalanan hidup yang dimaksudkan adalah perjalanan ketika masih hidup di dunia maupun kehidupan di hari kemudian. Upacara yang terkait dengan seseorang atau individu yang dilaksanakan pada waktu masih hidup disebut gawe urip sedangkan upacara ritual yang dilaksanakan setelah orang tersebut meninggal dunia disebut gawe pati.
3.      Upacara Siklus Tanam
Banyak ritual yang dilakukan pada waktu melangsungkan proses menanam suatu jenis tumbuhan yang disebut adat bonga padi. Upacara ini dilakukan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan berharap agar segala sesuatu jerih payah pada waktu menanam dapat lebih bermanfaat. Prosesi atau ritual ini merupakan salah satu bentuk aplikasi masyarakat Islam Wektu Telu dalam Pengelolaan sumber daya alam.
C.     Waktu Tempat Berdiri dan Perkembangannya
Jika ada anggapan bahwa pengikut waktu telu ini adalah pemeluk Islam yang belum menyempurnakan praktek ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran Islam yang sesuai dengan al-Quran dan sunah Nabi tergambar pada campur aduknya berbagai kepercayan lama dengan ajaran Islam.
Sebelum Islam masuk ke Lombok, mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu dan Buddha yang bercampur dengan kepercayaan animisme. Mereka percaya bahwa roh orang yang meninggal pergi ke gunung Rinjani. Roh itu bisa kembali pada waktu-waktu tertentu atau bila diperukan kerumah anak cucu atau keluarganya yang lain. Dalam suasana pemahaman seperti itulah Islam masuk pertama kali ke Lombok.
v  Pendiri dan Tokoh-tokoh Waktu-Telu
Menurut penejelasan pendiri pengurus persatuan Islam Waktu-Telu di kejaksaan tinggi Nusa Tenggara Barat di mataram. Pada waktu yang tidak diketahui, datang seorang utusan bernama  pangeran Gusti Ngurah dari Jawa Tengah. Pangeran Gusti Ngurah ini datang dari Lombok dengan membawa dua buah Al-Qur’an yang dipikul dengan kayu jarak. Sampai sekarang Al-Qur’an itu di baca harus menggunakan lampu dari buah jeruk kedua Al-Qur’an ini ditinggalkan di Lombok ketika sang pangeran melanjutkan perjalannannya ke Sumbawa. Beberapa tahun kemudian datang  lagi seorang utusan lain bernama Gempa Agung. Kedatangan Gempa Agung di Lombok, untuk mencari pangeran Gusti Ngurai.  Akan tetapi Gusti Ngurah tidak ada, maka Gempa Agung tinggal di Lombok  dan mengajarkan Islam kepada para penduduk.  Selama Gempa Agung menetap di Lombok, ia hanya mengajarkan pegangan pokok saja.
D.    Konsepsi Kepercayaan Islam Waktu-Telu
Cara berfikir penganut islam waktu telu itu masih sangat sederhana, barangkali karena struktur masyarakatnya yang terisolir dan tidak mudah menerima pengaruh dari luar, apabila jika menyangkut adatistiadat dan agama yang mereka terima dari nenek moyangnya. Sifat gotong royong dan sifat social masih melekat kuat pada diri mereka.Ini terlihat pada beberapa praktek kehidupan mereka seperti:
Ø  Melakukan perbaikan rumah atau membangun rumah baru, harus dikerjaka nsecara gotong royong.
Ø  Aneka bercocok tanam di sawah dan lading dikerjakan secara gotong royong.
Ø  Pemberian makanan kepada pengemis atau salah seseorang tetangga yang kelaparan didasarkan bukan karna kelebihan makanan, tetapi membagi makanan yang ada meskipun makanan tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
Ø  Segala sesuatu yang mereka miliki merupakan titipan tuhan semata yang tidak boleh mereka sayangi dan cintai melebihi sayang dan cinta mereka kepada tuhan.
Ø  Semua harta benda yang mereka miliki seakan-akan merupakan milik bersama.
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Lombok dengan Agama-agama Lain
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Masyarakat terdiri atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi budaya bersama. Masyarakat mutlak harus ada bagi tiap individu sebab ia merupakan pusaran tempat nilai-nilai, barang-barang. Atau pun peralatan untuk hidup diperoleh. Juga individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab lewat aktivitas dan kreasi individu lah seluruh nilai material suatu peradapan diperoleh

Agama Tradisional Sunda Wiwitan

A.    Asal Usul Sunda Wiwitan
Tokoh atau pendiri dari agama sunda wiwitan adalah pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat atau lebih dikenal sebagai Kyai Madrais. Sejarah mencatat Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, lahir pada tahun 1822 sampai 1939. Beliau tidak dilahirkan di Gebang, tetapi di susukan Ciawigebang yang kemudian dititipkan kepada ki Sastrawadana di cigugur dengan pesan kelak dapat meneruskan perjuangan leluhurnya dalam usaha menentang penjajahan, selain itu, untuk mengelabui kompeni dipesankan pula agar anak tersebut diakui sebagai anak Ki Sastrawardana, tetapi karena akhirnya diketahui bukan anak ki sastrawardana, maka disebut pula bahwa anak tersebut dinyatakan sebagai anak titipan R. Kastewi dari Sususkan Ciawigebang.
Sekitar tahun 1840 pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur dan mendirikan peguoran/pesantren dengan mengajarkan Agama Islam yang kemudian dikena sebagai Kyai Madrais. Kyai Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah.
Namun disisi lain Pemerintahan Belanda berupaya buruk kepada kyai madrais yaitu dengan tuduhan bahwa kyai madrais melakukan pemerasan kepada rakyatnya, penipuan kepada rakyatnya. Pemerintahan Belanda memasukan Kyai Madrais ke tahanan dan mengasingkannya ke Merauke. Setalah kembali ke marauke tahun 1908, rumah Kyai Madrais tetap diawasi, bahkan diadakan pejagaan dan para pengikutnya dilarang mendatangi lagi rumah Kyai Madrais.
B.     Pendiri dan Tokoh-tokohnya
Berikut adalah tokoh-tokoh yang dimiliki oleh agama sunda wiwitan, diantara tokoh-tokohnya adalah:
a)      Madrais (1833-1939), selaku pendiri dan sebagai “Rama Pencipta”.
b)      Tejabuana, anak Madrais sebagai “Rama Pangwedar” atau “Rama Penerus”.
c)      Jatikusuma, menantu tejabuana sebagai “Rama Penyusun”.
Subagyaharja, sebagai “Rama Penyalur”
C.     Pokok-pokok Ajaran Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
Pokok-pokok ajaran kepercayaan agama sunda wiwitan terekspresikan pada pemikiran Ki Madrais sebagai berikut:
a)      Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).
b)      Ngaji Badan (intropeksi/retropeksi diri).
c)      Akur Rukun Jeng Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama).
d)     Hirup ulah misah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat).
Hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong menolong).

v  Konsep Ketuhanan
Dalam kepercayaan Agama Sunda Wiwitan atau adat acara Karuhun Urang, Hakekat Tuhan ada di Atas Segala-Galanya, Maha Tunggal. Tuhan adalah esa tapi dzanya ada di mana-mana, maha kuasa, maha adil, maha asih, maha, murah, maha bijaksana. Pencipta alam semesta beserta maha isinya, ia immaterial (abadi), tuhan tidak jauh dan tidak dapat dipisahkan dengan ciptaanya, terutamamanusia sebagai mahluk tuhan yang paling sempurna yang memiliki rasa dan piker yang melahirkan akal budi pekerti di mana dengan kehalusan budi pekerti itulah manusia memiliki nilai-nilai moral serta nilai-nilai religious.
v  Pandangan Tentang Manusia
Sebutan manusia dibedakan menjadi “jalma” atau “manusa”. Disebut jalma karena ngajalma (menjelma) atau mewujud menjadi mahluk yang disebut manusia dengan kodrat dan cirinya yang haus melaksanakan cara hidup dan cara kemanusiaan. Manusia harus menyadari kemanusiaannya di samping hidup sesuai dengan nalurinya, juga memiliki akal dan budi manusia tidak hanya merasa hanya hidup, melainkan juga dapat merasakan sedalam-dalamnya arti hidup dalam kehidupan, merasa bahwa wujud keagungan alam semesta hanyalah berasal dari cipta  dan Karsa Tuhan Yang Maha Esa.
v  Pandangan Tentang Alam Semesta
Penciptaan alam semesta dimulai dari cahaya. Cahaya dibagi menjadi empat yaitu cahaya putih, kuning, merah dan hitam. Cahaya putih melambangkan air, cahaya kuning melambangkan air, cahaya merah melambangkan api, dan cahaya hitam  melambangkan tanah. Untuk itu alam semesta ini terbentuk dalam unsur air, angin, api, dan tanah.
D.    Upacara Keagamaan Sunda Wiwitan
Dalam agama sunda wiwitan terekspresikan dalam 5 kegiatan upacara khas agama sunda wiwitan, diantaranya yaitu:
a.       Sembahyang dalam Agama Sunda Wiwitan.
b.      Sikap dalam Sembahyang.
c.       Etika dalam Agama Sunda Wiwitan.
d.      Upacara Keagamaan dalam Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan.
e.       Upacara Kematian.

Agama Tradisional Suku Nias


A.    Asal Usul Suku Nias

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Namun menurut Penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga  diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

B.     Ajaran-ajaran Suku Nias

1.      Keyakinan Terhadap Dewa
Dalam kepercayaan kepada dewa-dewa tersebut ada dua dewa yang dianggap penting, yang pertama adalah Lowalangi. Lowalangi ini merupakan dewa alam atas, sumber dari segala yang baik. Sedangkan yang kedua adalah Lature Dano yaitu dewa alam bawah, yang pada umumnya lebih menampakkan aspek-aspek yang negatif. Lowalangi dipandang sebagai dewa yang terpenting karena ada banyak do’a, mantra, sumpah dan kutukan yang disandarkan kepada Lowalangi dan kekuasaannya. Lowalangi menentukan hidup dan mati manusia, memberikan berkat dan kutukan, kekayaan serta kemiskinnan. Dialah yang dipecaya selalu ada dimana-mana dan mengetahui segala sesuatu, serta menghukum yang jahat. Sedangkan Lature dano dipercaya menyebabkan adanya penyakit, kematian, gempa bumi, angin rebut, dan lain sebagainya. Akan tetapi semua itu tidak berarti banyak dalam kehidupan religious suku nias.
2.      Keyakinan Tentang Jiwa
Dalam suku Nias terdapat beberapa ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk mengungkapkan pengeretian jiwa yaitu, noso dan bekhu. Noso dipandang datang dari dewa Lowalangi atau dari salah satu bentuk penampakan dewa itu.
3.      Keyakinan Tentang Kekuatan Gaib
Suku Nias mengenal adanya eheha. Eheha adalah kekuatan yang berjiwa dan menjiwai, yang dapat diwariskan dari ayah kepada keturunannya atau kepada anak laki-lakinya.
4.      Mite Penjadian
Mite merupakan suatu cerita yang mempunyai latarbelakang sejarah yang dipercayai masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi dan dianggap suci serta mengandung hal-hal gaib.
C.     Upacara-upacara Suku Nias
1.      Upacara Pesta Jasa atau Pesta Kedukaan (owasa)
Tujuan pesta religius ini ialah untuk memperoleh kehormatan, nama, kedukaan, dan gelar. Jika perayaan ini diselenggarakan oleh bangsawan, pada kesempatannya mereka mengadakan korban manusia dan juga mendirikan suatu momen megalitikum. Oleh karena itu, upacara ini biasanya  diadakan di luar desa. Dalam suku Nias terdapat suatu aturan yang berlaku bahwa orang boleh mengadakan owasa setelah ia kawin, ia harus berusaha mengumpulkan emas dan babi yang cukup untuk pelaksanaan owasa yang pertama.
2.      Upacara Boro Nadu
Upacara boro nadu ini adalah puncak hidup kultus suku Nias, sebab secara langsung pesta ini dihubungkan dengan penciptaan dan terjadinya suku Nias. Biasanya upacara ini diselenggarakan ditempat-tempat yang dipandang sebagai tempat nenek moyang dahulu turun dari alam atas dan sekaligus dianggap sebagai kediaman pertama nenek moyang masing-masing kelompok.
D.    Interaksi Kepercayaan Orang Nias dengan Agama-agama Lain
Pada masa sekarang sebagian besar orang Nias sudah memeluk agama Kristen dan sedikit Islam. Agama asli mereka disebut malohe adu (penyembah roh) yang di dalamnya dikenal banyak dewa, di antaranya yang paling tinggi adalah Lowalangi. Mereka memuja roh dengan mendirikan patung-patung dari batu dan kayu, rumah tempat pemujaan roh disebut osali. Pemimpin agama asli disebut ere. Pada masa sekarang nama Lowalangi diambil untuk menyebut Tuhan Allah dan osali menjadi nama gereka dalam konsep Kristen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar