Rabu, 01 Juni 2016

Revisi dan Power Point Kelompok 7 "Agama Tradisional Orang Samin (Wong Sikep)"



 Agama Tradisional Orang Samin (Wong Sikep)

   1. Profil Suku Samin
     A.    Letak Geografis dan Peta Wilayah Masyarakat Samin
Sumber: http://www.bing.com/images/search?q=peta+kabupaten+blora&view=detailv2&&id
Kabupaten Blora terletak di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Blora, sekitar 127 km sebelah timur Semarang. Berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) di sebelah timur, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta Kabupaten Grobongan di barat. Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora.[1]

B.     Pengertian Samin
Masyarakat Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki kepercayaan, adat istiadat dan norma-norma tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di Jawa pada umumnya. Mereka hidup berkelompok bersama di luar masyarakat umum, seakan-akan membentuk suatu komunitas.[2]
Ada dua pendapat menganai asal kata “Samin”. Pertama, nama Samin berasal dari arti kata Samin itu sendiri, yaitu kata yang ditasbihkan dari nama seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang berpengaruh dan membuat sebuah gerakan pemberontakan terhadap pemerintah.[3] Pendapat kedua, Samin berasal dari dari kata “sami-sami” yang berarti sama-sama. Kata ini merujuk pada konsep ajaran yang mengedepankan bahwa semua manusia itu sama, memiliki kedudukan yang sama, hak dan kewajiban yang sama karena semuanya beasal dari keturunan yang sama, yakni Nabi Adam.[4]
Konon pengikutnya sendiri tidak suka dengan sebutan nama Samin sendiri. Mereka lebih suka dengan sebutan “Wong Sikep” yang berarti orang yang mempunyai cara atau adat istiadat tersendiri. Sebagian orang menyebut pengikut Samin ini dengan nama “Wong Paiten”. Akan tetapi dari sekian nama tersebut, yang paling populer adalah Samin atau Sikep, pengikutnya sering dijuluki wong Samin atau wong Sikep.[5]

C.    Asal-Usul Masyarakat Samin
                  Gambar Samin Surosentiko

Samin Surosentiko dilahirkan pada tahun 1859 di Desa Ploso, Kediren, sebelah utara Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Samin Surosentiko kerabat keturunan Pangeran Kusumaningayu atau Kanjeng Pangeran Arya Kusumawinahyu. Pangeran Kusumaningayu adalah Raden Adipati Brotodiningrat yang memerintah di Kabupaten Sumoroto (sebelah baratkota Ponorogo). Samin Surosentiko seorang petani lugu yang memiliki tanah sawah seluas tiga bau atau lima are, satu bau ladang dan enam ekor sapi. Ia bukan tergolong petani miskin. Ayahnya bernama Raden Surowijoyo yang dikenal sebagai Samin sepuh dan bekerja menjadi bromocorah untuk kepentingan orang banyak yang miskin, di daerah Bojonegoro.
Kiai Samin memang bukan petani biasa. Ia adalah putra priyayi yang menyamar sebagai petani, tepat seperti yang dilakukan oleh Pangeran Handayaningrat, Pangeran Panggung, Ki Kebo Kanigara, dan Ki Kebo Kenanga yang menyamar sebagai ‘orang kecil’, demi suatu janji untuk membantu mereka memperoleh harga diri (Sastroatmodjo, 2003:34-35). Kiai Samin Anom (baca: Surosentiko) dalam kehidupan penyamarannya sebagai kawula-alit itu kemudian mempersiapkan Desa Ploso Kediren sebagai basis pemberontakan melawan pemerintah Hindia Belanda.
Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar, kemudian diubah menjadi Samin. Nama Samin dipilih karena lebih bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko anak kedua dari lima bersaudara, kesemuanya laki-laki. Di desanya Samin Surosentiko disamakan ‘dengan Bimasena (Werkudara), putra kedua dari lima bersaudara kesemuanya laki-laki, yakni Pandawa dalam mitologi wayang.
Gambar pengikut samin surosentiko

Ki Samin Surosentiko yang lahir tahun 1859 di Ploso, sebagai cucu Pangeran Kusumaningayu, Bupati Sumoroto, sebenarnya sejak kecil dijejali oleh pandangan-pandangan figuratif pewayangan yang mengagungkan tapa brata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Rupanya ia terpukul melihat realitas sekeliling, di mana rakyat yang terisap dan terjajah tak bisa menggeliat lagi karena menemui kebuntuan dan kebingungan. Dari ayahandanya, Raden Surowijoyo, pemuda Kohar yang kemudian hari menamakan diri Ki Samin Surosentiko) dan belajar tentang realisme politik anak jajahan,hal mana membuktikan jelas bahwa sang bapa tidak tertarik akan dunia kepangrehprajaan, dan lebih tertarik pada kehidupan bohemian dan mistik. Kekecewaan yang menumpuk serta bahu yang terlalu ringkih untuk memikul kegetiran membawa bapak itu ke gelanggang perjudian, madat, dan khabarnya sampai memasuki dunia hitam: bromocorah. Surowijoyo sering merampok keluarga kaya, dan hasilnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Sebagian dari perampokan ini digunakan untuk membiayai pembangunan unit terkecil masyarakat Utopia yang disebutnya ” Tiyang Sami AmirT”.
Sekitar tahun 1890, pada waktu itu berumur 31 tahun, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajarannya. Para pengikutnya orang-orang satu desa. Dengan laku tapabrata, ia memperoleh wahyu kitab Kalimasada. Sejak mendapat wahyu kitab Kalimasada itu pengikut Samin Surosentiko bertambah banyak. Pengikutnya tidak hanya terbatas dari desanya sendiri, tetapi juga orang-orang yang berasal dari desa-desa lain.
Kenyataan membuktikan bahwa rakyat Desa Tapelan, Ploso, dan Tanjungsari mengangkat Kiai Samin sebagai raja dengan gelar Prabu Panembahan Suryongalam (cahaya alam semesta), dan sebagai patih merangkap senapatinya, ia menunjuk Kamituwa Bapangan dengan gelar Suryongalogo (cahaya medan laga, artinya pahlawan yang selalu jaya), sekaligus membuktikan bahwa wadah aristokrasi feodal tetap diagulkan sebagai lambang kekuasaan pribumi Jawa yang sah dan berdaulat.
Pada hari-hari berikutnya pengikut Samin Surosentiko semakin berkembang, bertambah banyak. Pada bulan Januari 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa pengikut Samin (saminisi) berjumlah sekitar 772 orang di desa-desa Blora selatan, sebagian di wilayah Bojonegoro. Ada juga pengikut Samin yang berasal dari Ngawi dan Grobogan. Selanjutnya pada tahun 1906 pengikut Samin ada di wilayah Rembang. Penyebar ajar an Samin di wilayah ini dilakukan oleh menantu laki-laki Samin, yakni Surokidin dan Karsiyah.
Pada tahun berikutnya, pengikut Samin mencapai 3000 orang. Didengar kabar bahwa pada 1 Maret 1907 orang Samin akan mengadakan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena kabar itu, Kontrolir Belanda melakukan penangkapan terhadap sejumlah orang Samin yang pada waktu itu sedang mengadakan selamatan (slametan) salah satu keluarga di Kedungtuban. Slametan kerabat ini dianggap bahwa orang-orang Samin sedang mengadakan persiapan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Saat itu Samin Surosentiko tidak ada di tempat, karena sedang ada di Rembang. Selanjutnya Samin Surosentiko diinterogasi dan bersama dengan delapan pengikutnya ditangkap dan diasingkan ke Sumatera. Di pengasingan, Sawahlunto, Samin Surosentiko meninggal dalam status tahanan (1914).[6]
 Ajaran Samin atau Saminisme disebarkan oleh seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atau Surantiko Samin, disebut pula Surontiko Sami. Para pengikut yang mengkultuskannya mengatakan bahwa Surosentiko Samin adalah “Wong Tiban” atau orang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan kemana perginya. Bahkan di antara pengikutnya ada yang beranggapan hingga kini Surosentiko Samin masih hidup.[7] Sumber lain menyebutkan Surosentiko Samin adalah cucu Kyai Keti dari Rejekwesi, Kabupaten Bojonegoro. Mereka masih mempunyai hubungan darah dengan pangeran Kusumaningayu dari Kerajaan Pajang. Lahir kira-kira tahun 1859 di Desa Plosokediren sekitar 30 meter dari Blora.
Pendapat lain juga mengatakan Surosentiko Samin adalah keturunan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke daerah Blora karena dikejar-kejar Belanda. Ketika kolonial Belanda menangkap dan membuang Pangeran Diponegoro, Samin meneruskan perjuangan tersebut dengan hidup di hutan-hutan. Di hutan-hutan inilah dia banyak bertapa (tirakat). Pada suatu hari, ketika ia sedang bertapa, konon ia mendapat wangsit berupa suara gaib yang memerintahkan Samin menuju suatu tempat tertentu di mana ia akan mendapatkan buku yang berkhasiat, yaitu “Kalimosodo”. Buku ini merangkum ajaran-ajaran yang pada kemudian hari disebarkan kepada sanak famili dan masyarakat sekitarnya. Proses penyebaran ajarannya disampaikan dari mulut ke mulut dan pada peristiwa-peristiwa penting, misalnya Surosentiko Samin menikahkan anak perempuannya yang bernama Samiyah dengan Surokidin. Menurut cerita, ketika berlangsung pesta pernikahan anak Samin terjadi peristiwa hujan lebat hingga banjir, bagi mereka yang mempercayai ajaran Samin, terhindar dari genangan air, sedangkan bagi mereka yang tidak mempercayai ajarannya terkena air hujan dan basah kuyup. Dari peristiwa inilah orang-orang sekitarnya banyak yang berminat mengikuti ajarannya hingga berkembang ke luar daerah meliputi ajarannya hingga berkembang ke luar daerah meliputi daerah Bapangan, Kunduran, Meden, Bandul, Wirosari, Klopoduwur, Jijeruk, Ngawi dan lain-lain.
Salah satu faktor mengapa kepercayaan ini mudah diterima sebagian masyarakat adalah konsep ajarannya yang sederhana, seperti penekanan pada persamaan manusia, kerukunan, setiap gotong royong kejujuran dan hidup sederhana, ditambah lagi dengan hidup Surosentiko Samin yang jujur, bersahaja, dan suka menolong sesama merupakan model yang menarik bagi masyarakat untuk mengikuti dan mengaguminya. Surontiko Samin melihat nasib rakyat jelata sangat tertindas karena kerja paksa, upeti, perampasan hasil pertanian, tidak ada kesempatan mengeyam pendidikan, dan lebih terbelakang. Terpanggillah jiwanya untuk membela mereka dengan menempuh segala upaya. Kemudian ia terjerumus dalam perbuatan kejahatan, ia merampok orang-orang kaya yang menjadi kaki tangan Belanda dan membagikan hasil rampokannya kepada orang-orang miskin. Dalam kehidupannya ia sangat dipenuhi oleh kebencian terhadap penjajah Belanda.[8]
Ciri khas dari komunitas Samin pada zaman dahulu adalah pemberontakannya pada penguasa Belanda. Mereka menolak membayar pajak dam membangkang pada aparat keamanan. Terlebih ketika Surasentika Samin diproklamirkan sebagai Ratu Adil oleh Surowiryo, seorang Carik Desa Medalem yang kemudian diangkat menjadi Patih. Akibat pemberontakan terhadap penguasa Belanda itu, pendiri ajaran Samin dan beberapa orang pemuka masyarakat Samin ditangkap oleh para penguasa. Mereka diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan deklarasi adanya Ratu Adil dan Patih. Tetapi pengadilan itu macet dan tidak menghasilkan keputusan apa-apa. Tetapi penguasa Belanda tidak berhenti mengawasi Samin, mereka terus mencari-cari kesalahan Samin dan para pengikutnya, sehingga Samin dipenjarakan di Rembang selama 1 tahun, kemudian dikirim ke Jakarta. Setelah 8 tahun lamanya Sorosentiko Samin dalam pembuangan, ia pun meninggal dunia. Sepeninggal Samin, kemudian diteruskan anaknya Saman. Komunitas Samin tetap tidak mau berkompromi dengan Belanda, menolak menjalankan perintah-perintah pamong praja dan alat negara tidak mau membayar pajak, membantah bekerja rodi, sehingga di antara mereka banyak yang dikenakan hukum, dikenai denda dan dirampas hak miliknya. Keadaan demikian baru berubah setelah datangnya pemerintahan Jepang. Mereka menganggap pemerintah Jepang akan membawa keadilan. Oleh karena itu, mereka pun menaati peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh pemerintahan Jepang. Sikap seperti ini berlaku sampai diproklamasikannya kemerdekaan RI, ditambah gencarnya usaha-usaha pemerintahan RI agar masyarakat tidak terisolasi dengan masyarakat yang lain.[9]
Clifford Geertz membagi strata masyarakat Jawa menjadi tiga tingkatan: santri, priyai dan abangan. Kaum santri merupakan identitas seorang muslim yang sedang belajar ilmu agama, kaum priyai merupakan simbol dari kaum ningrat (elitis) bagi masyarakat Jawa, sementara kaum abangan yaitu masyarakat yang bebas, nasionalis atau pekerjaannya serabutan. Bahkan kaum abangan ini tergambar sebagai masyarakat yang awam dan masih mempercayai animisme. Masyarakat Samin termasuk dalam kategori abangan, yaitu masyarakat yang masih awam.[10]
Jika dilihat pada zaman sekarang ciri khas masyarakat Samin di antaranya ialah:
Ø  Tidak bersekolah, pada zaman dahulu masyarakat Samin menganggap kalau anak-anak mereka tidak perlu pendidikan formal melainkan mengajarkan pada anak-anak mereka bagaimana menanamkan sikap kejujuran, kebenaran, tanggung jawab dan pekerja keras agar dapat menghidupi dirinya dan keluarganya kelak. Namun pada zaman sekarang masyarakat Samin sudah banyak yang bersekolah.
Ø  Memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikat di kepala
Ø  Tidak berpoligami
Ø  Tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut
Ø  Tidak berdagang karena bagi mereka berdangang menimbulkan sikap ketidakjujuran dan tidak baik.

2. Pandangan Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin  

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, masalah agama dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan konsep dasar dalam kehidupan manusia.
Masyarakat Samin, generasi tua khususnya, cenderung masih sangat kuat memegang prinsip-prinsip ajaran Samin, sehingga dalam pemahaman keagamaan mereka tidak menganut agama tertentu. Mereka memandang agama sebagai arti kepercayaan dan keyakinan semua sama, yang berarti semua agama itu baik. Pemikiran ini bersumber pada suatu pendirian bahwa manusia adalah sama saja, tidak ada perbedaan, karena sama-sama makhluk hidup yang mempunyai tujuan yang sama pula.[11] Masyarakat Samin mengikuti ajaran Samin Surosentiko yang mempunyai kepercayaan sendiri, khususnya bagi generasi tua. Agama orang Samin disebut agama Adam. Penganut Saminisme mempercayai akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui segala bentuk kebaikan agama karena agama mengajarkan kebaikan kepada setiap umatnya.[12]
A.    Agama
Agama menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane wong lanang”. Mereka sering mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal hidup dan mati, dan segalanya bersumber pada Dia.[13]
Maka ketika kita bertanya tentang agama orang Samin, mereka akan menjawab agama mereka adalah agama Adam. Ini disebabkan oleh nabi yang mereka kenal adalah nabi Adam, yang merupakan manusia pertama. Dengan logika dan pemikiran demikian, menurut orang Samin, dalam diri seorang laki-laki tersimpan bibit manusia. Maka dari itu, pada waktu menikah seorang pengantin laki-laki mengucapkan: “Wit jeng nabi kula lanang damel kula rabi tata-tata jeng wedok pangeran... kukuh demen janji, buk pun kula lakini.” Masyarakat Samin juga memiliki perkataan: “Ing sajroning agama ana rasa. Rasa sejatine rasa dan rasa sejati awujud banyu.” yang berarti “dalam agama ada rasa, yaitu sebenar-benarnya rasa, dan rasa itu berwujud air.” Maksudnya ialah orang Samin menyimpulkan bahwa bibit pertama manusia itu adalah air, dan air yang mereka maksud itu adalah air mani, air yang merupakan rasa sejati.[14]
Adam ini sebagai bentuk kepercayaan masyarakat Samin sebagai manusia pertama yang Tuhan ciptakan dimuka bumi ini. Sedangkan kata agama itu sendiri bukan berarti tradisi agama, melaikan lebih pada makna ugeman yaitu sebuah pegangan atau senjata, yang mengandung ajaran etika hidup, yang menjadi kepercayaan yang dipegang erat-erat dengan cara mempertahankannya melalui proses pendidikan nonformal (dalam keluarga) secara turun-temurun. Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang (Agama adalah senjata atau pegangan hidup). Agama Adam ini merupakan suatu “ucapan (tandake neng pangucap, opo wae tukule soko pengucap) yang diwujudkan dengan sebuah aktivitas yang baik.”[15] Dari Adamlah asal hidup dan mati manusia. Dalam ajaran Saminisme, cara pengucapan memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
a)      Cilik atau masa kecil dengan perkataan: “aku iki wong, agamaku Adam, jenenganku lanang.”[16]
b)      Gede (dewasa, memasuki perkawinan, dan seterusnya). Bagi laki-laki “aku orang sikep, kekuatan wali Adam” (aku orang sikep, kekuatan wali Adam). Bagi perempuan “aku wong Adam, jenengku wedok” (saya keturunan Nabi Adam, namaku perempuan).[17]
Adam diciptakan oleh Sang Hyang Tunggal, yang perwujudannya dianggap dewa, kemudian dari diri Adam keluar seorang wanita sebagai pasangan, dari Adam dan pasangannya dengan “pengucapannya” timbul segala-galanya. Adam disebut juga dewa, tapi ia juga seorang manusia. Dia pun jadi Tuhan diri sendiri.[18]
Cara berpikir masyarakat Samin ini snagat bersahaja, mereka hanya mempercayai sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera. Hal-hal gaib seperti Tuhan, Malaikat, Jin dan Syetan tidak dipercayainya. Meskipun demikian tidak dapat dipastikan apakah mereka percaya Tuhan atau tidak. Sebab pada hakekatnya, jika mereka melangsungkan perkawinan, ikatan janji sebuah perkawinan akan dianggap syah bila menunjukkan jari ke tas dan ke bawah, ke langit (Naha Kuasa) dan ke bumi (bumi pertiwi). Yang dianggap Tuhan itu sebut “Yahi” atau “Sang Ngayahi” (yang melaksanakan) dan memberikan segala-galanya termasuk memberi hidup dan mati.[19]
Keberadaan Adam dinggap orang pertama di dunia agar dunia sejahtera (doyo rejo) dan sebagai penguasa tunggal yang disebut Yai . Adam dilahirkan karena sabdo tunggal Yai dan adanya Yai karena adanya Adam. Yai bermakna zat yang memenuhi hajat hidup makhluk. Makhluk pun memiliki kewaiban. Jika makhluk memohon, ia mengheningkan cipta (semedi).[20] Pengertian tentang Adam inilah yang dinamakan dengan kebatinan Saminisme yang sangat kental dengan kebudayaan Jawa.
Dalam hal ini, Benda dan Castle (1968:226) berpendapat bahwa orang Samin ini tidak mengenal adanya Tuhan, yang dianggap Tuhannya itu adalah mak-yung (ayah-ibu) dan dirinya sendiri (manunggaling kawula gusti). Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa orang-orang Samin tidak percaya akan adanya Tuhan. Masyarakat Samin mengucap doa saat pagi menjelang senja (Prasongko, 1981:37).[21] Konsep agama Adam ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama pewahyuan karena agama Adam ini mutlak dari pemikiran dan ide dasar orang tua terdahulu secara turun-temurun.
B.     Manusia dan Kehidupan Alam Dunia
Menurut ajaran Samin, dunia ini hanya satu, yaitu urip (hidup). Segala sesuatu yang menampakkan diri tidak lebih dari pewujudan hidup. Manusia pertama adalah Adam yang diciptakan oleh Bapak Kuasa (langit) dan Ibu Pertiwi (bumi) kemudian dengan kekuatan yang ada pada Adam lahirlah Ibu Hawa (hawaning pikir). Dalam penyatuan tubuh keduanya lahirlah seorang puteri. Puteri tersebut dilamar oleh empat orang yang bernama lor, kidul, wetan, lan kulon. Dalam “sikep laki rabi” (perkawinan penyatuan antar lawan jenis) terciptalah umat manusia dan kemudian berkembang dengan bermacam sifat dan karakternya. Di antara semua makhluk yang berada di muka bumi ini yang tertinggi dan Yang Maha Kuasa adalah manusia “wong”. Yang disebut wong (manusia) oleh ajaran Samin itu adalah manusia yang baik, yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau mereka yang menyebutnya “wong Jawa”. Wong Jawa di sini tidak diartikan secara harfiah suku Jawa, melainkan orang yang jujur, tidak jahat, tidak suka berdusta, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Agar seseorang menjadi manusia “wong”, maka orang tersebut harus melakukan praktek hidup dan tingkah laku yang dijalani dengan sepenuh hati. Seperti menjauhi perbuatan dusta (goroh), menghina (ngina sapa-pada), iri hati dan sebagainya. Orang yang sudah melaksanakan praktek hidup dan tingkah laku tersebut baru dianggap sempurna sebagai manusia “wong”.[22]

3. Upacara Keagamaan Masyarakat Samin

A.    Upacara Kelahiran
Kelahiran menurut masyarakat Samin adalah sesuatu hal yang dianggap biasa saja, dan mereka beranggapan bahwa seseorang yang baru lahir telah membawa jeneng (nama) sendiri-sendiri. Nama jeneng itu dibagi menjadi jeneng lanang (nama laki-laki) dan jeneng wedok (nama wanita). Anggapan orang Samin ketika bayi menangis dalam bayi itu berarti sang bayi sudah ada roh dan telah mendapatkan tempat ngenger (mengabdikan hidup). Sama seperti masyarakat Jawa, pada umumnya masyarakat Samin juga mengenal brokohan bancakanmbel-mbel[23] yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan mbrokohiturunan. Kemudian setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan mbel-mbel selapan.[24]
Ada ritual yang dinamakan penanaman tembuni yang dibedakan antara pria dan wanita. Penanaman tembuni bagi anak laki-laki ditanam di dalam rumah agar si anak laki-laki itu ketika dewasa bisa membantu sang ayah dalam mencari penghasilan. Sementara itu, anak perempuan tembuninya ditanam di luar rumah dengan harapan si anak cepat mendapat jodoh.
B.     Upacara Khitan atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari, seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi” atau seseorang yang sudah memasuki akil balig juga disunat sebagai laki-laki yang beragama Islam. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya si anak dibawa ke bong supit[25], yang disebut dengan istilah calak. Masyarakat Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung pengertian memperindah alat kelamin.[26]
C.    Upacara Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut ajaran Saminisme ialah bagian dari titik tolak ajaran masyarakat Samin dan merupakan ajaran yang sangat fundamental, karena perkawinan dari sepasang laki-laki dan perempuan inilah terjadinya dunia. Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada demen) dan tidak ada unsur paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka.[27]
Hal yang unik dari prosesi perkawinan masyarakat Samin ialah adanya masa magang, serta tidak melibatkan aparat pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup dihadiri orang tua atau wali dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah. Perkawinan menurut ajaran Saminisme, ialah alat untuk meraih keluhuran budi yang selanjutnya untuk menciptakan atmaja  (keutamaan) yaitu seorang anak yang mulai. Perkawinan bukan saja pertemuan antara seorang laki-laki dan perempuan saja, melainkan kedua pasangan ini nantinya harus menjadi satu, teman hidup, teman tidur, dan sebagainya sampai maut yang memisahkan mereka.[28]
Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan terlebih dahulu diadakan peminangan dari calon pengantin laki-laki ke calon pengantin perempuan. Setelah peminangan diterima, calon mempelai laki-laki diantarkan oleh orang tuanya ke rumah calon pengantin perempuan untuk bertempat tinggal (mbateh) dan hidup bersama dengan calon pengantin perempuan agar hidup “rukun” (malakukan hubungan seksual), inilah hal yang paling kontroversial dari tata cara perkawinan masyarakat Samin yaitu hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu). Bila keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai perempuan. Sebaliknya, jika pada masa tunggu ini laki-laki itu tidak berhasil “menggauli” si perempuan, apabila pihak perempuan menyatakan tidak suka atau ora demen maka perkawinan tidak bisa dilaksanakan. Setelah keduanya merasakan suka sama suka, orang tua kedua belah pihak mendatangi kepala Desa setempat untuk mengadakan ijab kabul dengan mendatangkan saksi-saksi.[29]
D.    Upacara Kematian
Masyarakat Samin mempunyai tata cara tersendiri  dalam hal kematian. Sama seperti halnya kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa yang biasa. Menurut orang Samin, orang yang mati itu disebut sebagai salin sandhang (berganti pakaian). Ini maksudnya apabila roh lepas dari raga (jasmani, tubuh), jiwa mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru. Manusia itu tidak pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja.[30]
Orang yang salin sandhang di kemudian hari akan melanjutkan hidup dengan mengenakan jasad yang lain. Jika dia orang baik, akan kembali hidup menjadi orang baik, sebaliknya kalau dia jahat, maka akan menjadi hewan atau yang lain. Nampak ada suatu kepercayaan reinkarnasi dalam konsep ajaran agama Hindu.[31] Selain itu merka percaya adanya hukum karma. Yaitu setiap perbuatan seseorang akan mendapatkan balasan yang setimpal, setimpal dengan tindakannya, jika baik mendapat balasan yang baik, begitupun buruk akan mendapatkan rekuitment.
Mayat yang akan dikubur dipelihara sedemikian rupa, seperti sebelum dikubur, kemudian dimandukan, di bungkus dengan kain kafan,  kemudian dikubur dengan menghadap ke arah Utara Selatan, menghadap ke Barat, kemudian diberi nisan.[32]
Beberapa tradisi lainnya yang biasa dilakukan oleh masyarakat Samin, antara lain:
·         Nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat.
·         Tradisi selamatan dipuconi yaitu ialah selamatan yang dilakukan pada saat seorang wanita baru pertama kali hamil dan usia kandungannya genap tujuh bulan dengan cara para ibu-ibu tetangga secara bersama-sama memasak di dapur.
·         Tradisi sepasaran bayi, merupakan selamatan atas kelahiran anak yang baru lahir sepekan dihadiri oleh sanak saudara dan kerabat dekat.
·         Tradisi Ngenger meruapakan tradisi yang wajib dilakukan oleh seorang laki-laki dewasa yang berniat menikahi seorang gadis. Dalam acara ini diadakan doa dan dihadapan mereka tersedia makanan lauk pauk sebagai ungkapan rasa syukur.
·         Tradisi pada malam selasa kliwon, pada bulan suro tujuh hari sebelum malam selasa masyarakat Samin berpuasa. Mengapa dipilih malam Kliwon, karena orang Samin mempercayai manusia diciptakan pertama ya malam Kliwon.

4. Etika dalam Masyarakat Samin

Masyarakat Samin hingga saat ini masih menjaga statusnya sebagai masyarakat yang masih mempertahankan ajaran “Saminisme”walau telah banyak pergeseran dan pengaruh dari masyarakat luar. Akan tetapi, masyarakat Samin akan selalu menjadi bagian dari kehidupan yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan keselarasan.[33]
Praktek pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak yang menonjol dari mereka adalah:
a)      Memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh janji”. Mereka pantang sekali mengingkari janji. Oleh karena itu, mereka jarang sekali berjanji  dan sangat berhati-hati jika mereka diperkirakan tidak mampu menepatinya.
b)      Jujur. Sikap seorang Samin sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang mengagumkan dan pantang berdusta. Mereka tidak suka berbicara berbelit-belit dan selalu mengusahakan sifat “satunya kata dengan perbuatan”.
c)      Sabar dan tidak suka kekerasan. Orang Samin memiliki kesabaran yang cukup kuat, bahkan saking sabarnya mereka tampak dingin dan tak acuh. Mereka tidak suka kekerasan. Pertentangan dan pertengkaran selalu mereka hindari. Jika ada masalah diselesaikan dengan jalan musyawarah dengan pendekatan damai.
d)     Ikhlas atau “nerimo”. Mereka orang yang ikhlas dan menerima.
e)      Santun dalam menerima tamu. Dalam penghormatan kepada tamu, ada usaha untuk menjamu yang disajikan dengan senang hati. Tamu yang baik menurut mereka adalah yang bersikap kekeluargaan, tanpa menunggu dipersilahkan, baik ketika masuk maupun menikmati hidangan tamu yang demikian mereka anggap sebagai saudara (sedulur).[34]
Perbuatan baik selalu dianjurkan oleh masyarakat Samin kepada para keturunannya sebab masyarakat Samin mempercayai hukum sebab-akibat, yaitu ketika suatu perbuatan akan mendatangkan akibat karena hasil perbuatannya itu. Ajaran budi pekerti yang telah dipegang oleh masyarakat Samin ini tidak berbentuk buku, melainkan turun-temurun oleh para sesepuh dan nenek moyang mereka sebagai tindakan batin.
Masyarakat Samin merupakan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi sikap gotong royong dan kerukunan. Sikap gotong royong ini mereka lakukan dalam berbagai hal, seperti: dalam menggarap pertanian, dalam pendirian rumah, upacara selamatan seperti khitanan, perkawinan dan lain-lain, tolong-menolong bagi mereka yang tidak mampu seperti jika seseorang atau di antara tetangga mereka belum memiliki rumah, mereka akan mengusahakannya secara gotong royong.[35]
Bahasa yang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Samin adalah bahasa Jawa yang memiliki arti dan terminologi sendiri, mereka memberi makna tersenriri yang orang Jawa lain tidak memahaminya, misalnya kata “jeneng” tidak diartikan nama, tetapi jenis kelamin. Kata “ruku” tidak diartikan damai atau kompak, tetapi hubungan seksual. Karena ajaran mereka yang sangat kuat menekankan pada konsep kesetaraan manusia, jika mereka berkomunikasi dengan orang lain, orang Samin akan menjawab percakapan dengan bahasa yang sama.[36]

5. Interaksi Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain

Masa kehidupan sejarah Indonesia Kuno ditandai oleh pengaruh kuat kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak Abad I. Hingga abad ke-16, Bojonegoro termasuk wilayah kekuasaan Majapahit. Seiring dengan berdirinya Kesultanan Demak pada abad ke-16, Bojonegoro menjadi wilayah Kerajaan Demak. Dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam dengan disertai perang dalam upaya merebut kekuasaan Majapahit (wilwatikta). Peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah Kerajaan Pajang (1586), dan kemudian Mataram (1587).[37] Tetapi masuknya Islam ke dalam masyarakat Samin hanya berhenti sampai pada simbol-simbol saja. Oleh karena itu masyarakat Samin disebut dengan masyarakat eksoterik, yang keislamannya hanya sampai pada simbol-simbol saja seperti makkah, tauhid yang dikenalnya dengan sebutan manunggaling kawla gusti, istilah sholat yang dimaknai lain oleh masyarakat Samin. Menurut orang Samin sholat adalah solah’é ilat ’gerakan lidah’. Ungkapan ini mengacu pada pandangan hidup masyarakat Samin yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Orang Samin berpendapat bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bisa menjaga lidahnya dari segala perkataan tidak jujur. Salah satu contoh sikap ini terlihat jelas dalam jawaban yang diberikan ketika ditanya mengenai umur seseorang. Dalam masyarakat Samin, apabila seseorang bertanya “Pira umuré?”, maka akan dijawab “jaré yungé, 32” yang berarti ‘kata ibu, 32 tahun’. Penggunaan ungkapanjaré yungé dipakai oleh masyarakat Samin untuk mengantisipasi kemungkinan pemberian jawaban yang salah karena mereka berpendapat seseorang tidak mungkin tahu pasti kapan dirinya dilahirkan, yang tahu pasti kejadian itu adalah ibunya.[38]
Interaksi kepercayaan orang Samin dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap agama lain  dan masyarakat lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Bahkan dikatakan sertiap manusia derajatnya sama, tidak boleh menilai orang lain tetapi menilailah diri sendiri, mereka tidak mengganggu agama lain sehingga orang lain juga tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol adalah tentng budi pekerti dan menciptakan suatu kerukunan.[39]
Masyarakat luar memandang masyarakat Samin baik-baik saja, dan mereka bukan agama melainkan sebuah kepercayaan. Karna mereka merupakan suatu kepercayaan, sehingga para tokoh agama Islam tidak memberikan pembinaan terhadap agamanya. Keberadaan mereka tidak meresahkan masyarakat sekitar karena mereka tidak pernah mencela dan tidak mengganggu agama lain. Masyarakat samin pengikutnya semakin lama semakin berkurang, hal tersebut dikarenakan tokoh dan para pengikutnya sudah tua, sedangkan anak-anaknya sudah banyak yang bersekolah. Karena pada zaman dahulu ciri khas dari masyarakat samin salah satunya tidak bersekolah. Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat samin sudah mulai bersekolah. Pemerintah setempat (Dirjen Pariwisata dan Kebudayaan) mengatakan bahwa masyarakat Samin adalah baik, karena ajaran yang ditonjolkan pertama kali adalah tentang budi pekerti, kejujuran, tolong menolong dan kerukunan. Di samping itu keberadaan mereka tidak meresahkan masyarakat oleh karena itu adat dan kebudayaannya perlu dilestarikan dan bahkan pemerintah pusat memberikan bantuan berupa sebuah gedung Balai “Padepokan Karang Pace” yang dibangun pada tahun 2010.[40] Masyarakat Samin dalam berinteraksi dengan sesama Samin maupun non-Samin menggunakan bahasa Jawa Ngoko[41]. Penggunaan bahasa tersebut sebagai pertanda bahwa masyarakat Samin termasuk ke dalam kategori kelas sosial tingkat bawah.[42] Masyarakat Samin tidak menutup diri mereka dengan masyarakat luar. Dalam interaksi ditandai dengan kontak dan komunikasi yang dapat saling mempengaruhi antara masyarakat yang berinteraksi tersebut. Saling mempengaruhi ini dapat dilihat dalam budaya masyarakat Samin dengan adanya akomodasi dan akulturasi maupun kerjasa sama yang terjadi dalam masyarakat Samin seperti masuknya ajaran-ajaran maupun masuknya budaya-budaya luar sehingga terbentuklah budaya baru maupun perpaduan budaya contohnya adat selametan, dipuconi, brokohi, serta konsep reinkarnasi atau terlahirnya kembali.[43] 





[2] Dra. Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h. 29.
[3] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, (Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), h. 20.
[4] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 30.
[5] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 30.
[7] Nurudin dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 50.
[8] Tashadi dkk., Kehidupan Masyarakat Samin dalam Era Globalisasi di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, Jawa Tengah, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000), h. 45.
[9] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 33.
[10] Nurudin dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, h. 51.
[11] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, h. 67.
[12] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, h. 67.
[13] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 33.
[14] Tashadi dkk., Kehidupan Masyarakat Samin dalam Era Globalisasi di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, Jawa Tengah, h. 46.
[15] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, h. 67.
[16] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 34.
[17] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 34.
[18] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 34.
[19] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 34.
[20] Moh. Rosyid, Kodifikasi Ajaran Samin, (Yogyakarta: Kepel Press, 2010), h.70.
[21] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, h. 46.
[22] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 36.
[23] brokohan bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan
mbrokohiturunan, Brokohan ini merupakan acara minta doa dan keberkahan. Brokohan dilaksanakan 1 hari setelah kelahiran bayi). Kemudian setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan mbel-mbel selapan (hidangan yang biasanya dimasak adalah mbel-mbel, botok pelas, krawu, telur atau daging ayam.
[24] Tashadi dkk., Kehidupan Masyarakat Samin dalam Era Globalisasi di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, Jawa Tengah, h. 107.
[25] Bong Supit atau calak merupakan alat sunat tradisional menggunakan alat tradisional pula. Sunat atau toreh menggunakan gunting potong sebelum digunting alat kelamin dioleskan minyak kelapa terlebih dahulu.
[26] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 37.
[27] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 37.
[28] Ratrie Devi Aprilianti, Sejarah Tata Cara Pernikahan Masyarakat Samin Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora Tahun 1970-2009, Journal Of Indonesia Historis (Februari 2012)
[29] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 38.
[30] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, h. 31.
[31] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 39.
[32] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 39.
[33] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, h. 46.
[34] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 40.
[35] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 41.
[36] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 42.
[39] Ratrie Devi Aprilianti, Sejarah Tata Cara Pernikahan Masyarakat Samin Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora Tahun 1970-2009, Journal Of Indonesia Historis (Februari 2012)
[40] Ratrie Devi Aprilianti, Sejarah Tata Cara Pernikahan Masyarakat Samin Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora Tahun 1970-2009, Journal Of Indonesia Historis (Februari 2012)
[41] Bahasa Ngoko adalah bahasa jawa kasar.
[42] Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, h. 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar