Dosen: Siti Nadroh, MA
Profil Blogger
Nama: 1. Windi Anisa Dhiya 11140321000058
2. Afida Maulia Sabarini 11140321000052
3. Nur Shabrina 11140321000083
1. Abui, kabupaten Alor
1.1 Profil
Suku Abui di Kabupaten Alor
A. Letak
Geografis
Sumber
: Emergency and Humanitarian Action South East Asia Region : World Health
Organization, Earthquake Situation Report 18 November 2004, www.
Updates_on_Earthquake_18nov04 earthquake_sit_rep-Alor[1].
Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di
Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9
pulau yang telah dihuni dan 6 pulau lainnya belum atau tidak berpenghuni. Luas
wilayah daratan 2.864,64 km², luas wilayah perairan 10.773,62 km² dan panjang
garis pantai 287,1 km1. Secara geografis daerah ini terletak di bagian utara
dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 8º6’LS - 8º36’
LS dan 123º48’ BT - 125º48’ BT. Batas alam Kabupaten Alor disebelah utara
dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombay, sebelah timur dengan
Selat Wetar dan perairan Republik Demokratik Timor Leste dan sebelah barat
dengan Selat Alor (Kabupaten Lembata).
Pulau Alor merupakan bagian dari Kabupaten Alor, Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) sekitar 260 km dari Kupang (Ibu Kota Provinsi NTT),
360 km dari Ende (Flores), dan 1600 km sebelah Timur Ibu Kota Jakarta. Lokasi
ini bisa dicapai dengan menggunakan kapal boat dari Kupang selama
sekitar 8 jam atau 55 menit dengan menggunakan pesawat udara melalui Bandara
Mali.
Suku Abui, mendiami wilayah
Likuwatang, Malaikawata, Kelaisi, Tafuikadeli, Atimelangdan Motang. Suku
Abui mereka merupakan penduduk asli wilayah ini. Pemukiman utama suku Abui
adalah di desa Takpala.
B.
Asal-Usul
Suku Abui
Kampung tradisional Takpala adalah sebuah pemukiman adat yang
berlokasi di Desa Lembur Barat kecamatan Alor Barat Laut, kabupaten Alor, Nusa
Tenggara Timur (NTT). Masyarakat Alor pada awalnya di bentuk berdasarkan
keluarga inti yang menetap berpisah-pisah namun ada pula yang menetap di suatu
tempat bersama dan membentuk klan yang tidak lain merupakan perluasan dari
keluarga inti. Klan adalah kesatuan geneologis yang menetap di suatu tempat
tinggal dan menunjukkan adanya integrasi sosial serta merupakan kelompok
kekerabatan yang besar. Dalam tradisi masyarakat Alor, pembentukkan klan di
dasarkan dari garis keturunan ayah dan masing-masing menetap di suatu rumah
adat panggung yang berbentuk seperti piramida.
Sumber: www.alorkab.co.id
Sumber:
www.alorkab.co.id
Menurut kepercayaan lokal, suku Abui adalah suatu
pendiri kerajaan tertua di Alor yang dibangun di pedalaman pegunungan Alor
yaitu kerajaan Abui. Masyarakat suku Abui dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
suku kapitang atau suku perang dan suku aweni yang terdiri dari kaun
raja/bangsawan, dan suku marang. Dalam cerita rakyat masyarakat suku
Abui, menceritakan dahulunya terdapat 2 buah kerajaan yang merupakan kerajaan
tertua di kabupaten Alor, yaitu Kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan
Kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini
terlibat dalam sebuah Perang Magic.
Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling
menghancurkan. Kerajaan Munaseli mengirim lebah ke Kerajaan Abui, sebaliknya
Kerajaan Abui mengirim angin topan dan api ke Kerajaan Munaseli. Perang ini akhirnya
dimenangkan oleh Kerajaan Abui. Kerajaan berikutnya yang berdiri adalah
Kerajaan Pandai yang terletak dekat Kerajaan Munaseli, dan Kerajaan Bunga Bali
yang berpusat di Alor Besar. Kerajaan Munaseli dan Kerajaan Pandai yang
bertetangga, akhirnya juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan
Munaseli meminta bantuan kepada raja Kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya
mereka pun telah kalah perang melawan Abui. Menurut penuturan rakyat setempat,
tengkorak Raja Abui, saat ini masih tersimpan di dalam sebuah goa di
Mataru.
Suku Abui sendiri yang menghuni desa Takpala adalah suku terbesar yang
mendiami pulau Alor. Terkadang mereka biasa disebut juga sebagai "Tak
Abui", yang berarti "gunung besar". Meski warga penduduk yang
mendiami desa Takpala ini hanya puluhan orang, tapi sebenarnya penduduk Abui
telah tersebar dalam jumlah ribuan orang. Masyarakat suku Abui dikenal begitu
bersahaja dan sangat ramah terhadap pendatang. Orang Abui berbicara dalam
bahasa Abui. Bahasa Abui merupakan bahasa utama di pulau Alor.
1.2 Mitologi
Suku Abui
Pada umumnya, religi suku Alor ada yang memuja Upolero (Kakek-Matahari) dan Upunusa (Nenek-Bumi) sebagi tokoh-tokoh
illahi yang tertinggi. Keduanya dianggap sebagai penjelmaan asas laki-laki dan
perempuan. Ada pula yang menggap bahwa di atas Upolero dan Upunusa masih ada tokoh yang lebih tinggi, yaitu It Matroomi (Tuhan kita). Dia adalah sumber
dari segala yang ada di dunia ini. Ia memerintah atas manusia, binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Dialah yang mengemudikan segala sesuatu sejak kekal.
Perwujudan tokoh ini ialah tidak di kenal orang. Ia berdiam di langit yang
tinggi. Oleh karenanya ia melihat segala sesuatu. Upolero (dewa matahari) adalah pembantunya yang melaksanakan segala
perintahnya. Upolero ini bergantung
secara mutlak kepadanya, dan berfungsi sebagai perantara antara manusia dan It Matroomi. Segala doa ditunjukkan
kepada Upolero sebab orang tak
berani mengganggu dewa tertinggi itu
dengan doa-doa.
Di banyak tempat, matahari atau dewa matahari
dianggap sebagai asas laki-laki, sedangkan bumi atau dewi bumi dianggap sebagai
asas perempuan. Keduanya saling berhubungan sebagai suami isteri. Perkawinan
keduanya menghasilkan hujan, yang dianggap sebagai benih yang dibuahi dan yang
menyebabkan segala sesuatu dilahirkan.
1.3 Ritual dan Upacara Keagamaan Suku Abui
A. Pesta Porka
Oleh beberapa suku,
pesta ini diadakan setahun sekali pada waktu musim kemarau, tetapi oleh suku
yang lain pesta ini diadakan sekali dalam tujuh tahun. Biasanya pesta ini
berjalan selama sebulan. Di tempat perayaan, biasanya di bawah pohon beringin,
didirikan sebuah kuil porka dengan
sebuah bendera porka yang panjangnya
kira-kira 1,5 meter dalam bentuk kelamin laki-laki yang tegang, atau pada
bendera itu dilukiskan kelamin laki-laki yang besar.
Pada waktu yang sudah ditentukan, semua laki-laki
dan perempuan dari desa itu menuju tempat perayaan. Dengan mempersembahkan
banyak korban dan dengan melakukan banyak upacara, para imam memanjatkan kepada
Upolero untuk menyuburkan manusia,
binatang, dan bumi. Ada banyak binatang yang di korbankan, umpamanya kerbau,
kambing, domba dan babi. Dahulu juga ada banyak budak-budak yang di korbankan,
tetapi kemudian diganti dengan buah kelapa.
Laki-laki dan perempuan menggambarkan pesta itu
dengan menari dan bermain, yaitu pesta kesuburan. Umpamanya sebuah rotan yang
panjang ditarik sekelompok laki-laki pada ujung yang satu sedangkan ujung yang
lain ditarik sekelompok perempuan. Sambil tarik menarik mereka menirukan
gerakan bersetubuh. Mereka yakin bahwa Upolero
akan turun pada pohon beringin itu untuk membuahi Upunusa. Orang-orang menantikan saat-saat itu dan ikut ambil bagian
dari kenikmatan persetubuhan di alam terbuka, tempat yang bebas bagi mereka
untuk bersetubuh dengan siapa saja yang dikehendaki.
B. Upacara
Perkawinan
Prinsip hubungan
keturunan suku Alor biasanya bersifat patrilineal. Keluarga ini disebut kukkus.
Gabungan dari beberapa kukkus menjadi klen kecil yang disebut bala. Gabungan
dari beberapa bala menjadi klen besar yang disebut laing. Dalam perkawinannya
orang Alor menganut adat eksogami klen. Pihak laki-laki wajib membayar sejumlah
belis (maskawin) secara kontan kepada pihak pemberi wanita. Belis tersebut
dapat terdiri atas sejumlah uang, gong, selimut (sejenis ikat pinggang) dan
moko (sejenis genderang untuk mengiringi upacara).
Selain itu perkawinan dapat pula terjadi tanpa
harus membayar belis secara kontan, untuk itu si suami harus mengabdi beberapa
lama untuk lingkungan asal isterinya. Ada pula yang disebut perkawinan tukar
gadis, dimana laki-laki yang tidak mampu membayar belis menyerahkan saudara
perempuannya untuk dikawini pula oleh laki-laki pihak keluarga asal isterinya.
Jalan pintas yang ditempuh seorang laki-laki untuk menghindari semua kewajiban
belis tersebut biasanya dengan melarikan si gadis. Namun tetap ada sanksinya.
C. Tarian
Lego-Lego
Ritual dan dukungan sosial tersebut
tertampak dalam tarian Lego-lego yang wajib dilakukan, selama, sebelum dan
pembangunan rumah adat. Bagi orang-orang suku Abui, tari Lego-lego
merupakan lambang kekuatan dan persaudaraan. Para penari Lego-lego terdiri dari
pria dan wanita mulai mengumandangkan lagu dan pantun dalam bahasa Abui.
Tabuhan gong dan gemerincing gelang-gelang kaki yang dipakai ibu-ibu menambah
atmosfer ritual semakin semarak. Rumah adat suku Abui harus menghadap ke
ruang umum, di tengah-tengah ruang publik tersebut telah ditempatkan batu Mesbah
yang menjadi sentra kehidupan suku Abui.
Setiap pintu rumah harus
menghadap Mesbah atau Mesang sehingga tata letak rumah-rumah di pemukiman
masyarakat Takpala terlihat berjajar melingkar. Dalam hal ini, Mesang
berfungsi sebagai sarana komunikasi atau kontak sosial dalam bermasyarakat di
suku Abui. Pelataran Mesang berbentuk oval dengan diameter memanjang sejauh 12
meter. Di tengah-tengah Mesang inilah ditempatkan Mesbah yang berupa tumpukan
batu yang berfungsi sebagai pusat. Antara Mesang dan Mesbah memang memiliki
hubungan yang kuat bagi masyarakat suku Abui. Dua perangkat budaya ini menjadi
sebuah simbol persekutuan serta pusat pembentukan mental dan spiritualitas yang
beradab. Ukuran Mesbah bervariasi, seperti di Takpala memiliki ukuran tinggi 70
cm dan berdiameter 185cm. Tradisi mengeramatkan Mesbah sebenarnya tidak
hanya berlaku di Takpala saja, melainkan dikenal juga di beberapa tempat atau
suku lain yang ada di Kabupaten Alor. Meskipun penduduk Alor sudah banyak yang
memeluk agama Islam, namun peran Mesbah seolah-olah tidak tergantikan dan masih
disucikan sebagai sarana mediasi antara manusia dengan arwah nenek moyang.
Sumber: www.alorkab.co.id
D. Rumah Adat
Rumah adat suku Abui, berupa rumah panggung dan berbentuk seperti piramida.
Rumah adat suku Abui di Takpala bernama Lopo, yang terdiri 2, yaitu:
·
Kolwat, yang mempunyai arti perempuan,
·
Kanuarwat, yang mempunyai arti laki-laki.
Rumah adat suku Abui yang bernama Lopo ini sangat unik, karena merupakan
satu-satunya rumah adat di dunia ini yang bertingkat 4. Dimana setiap tingkat memiliki
fungsi yang berbeda, yaitu:
·
lantai 1, adalah tempat rapat,
·
lantai 2, tempat tidur dan masak,
·
lantai 3 tempat menyimpan makanan,
·
lantai 4 untuk menyimpan barang-barang pusaka yang
akan dipakai jika ada kegiataan adat.
Lopo, atau Rumah Adat suku Abui, berbentuk limas,
bangunan kayu beratap ilalang berdinding bambu. Lopo terdiri dari 4 tingkat,
biasanya dihuni oleh 13 kepala keluarga. Ada dua jenis rumah Lopo, yakni Kolwat
dan Kanuarwat. Rumah Kolwat terbuka untuk umum, siapapun boleh masuk termasuk anak-anak
dan perempuan. Sedangkan Rumah Kanuarwat hanya boleh dimasuki kalangan
tertentu. Anak-anak dan perempuan dilarang keras memasuki rumah Kanuruat, jika
dilanggar akan menimbulkan penyakit di mana proses penyembuhannya harus
dilakukan dengan upacara adat. Selain Rumah Lopo, ada 2 lagi bangunan
tradisional suku Abui, yaitu:
·
Polapoka, rumah yang dijadikan sebagai gudang
penyimpanan bahan makanan,
·
Tofa, yang digunakan untuk beristirahat setelah pulang
dari kebun atau berburu, yang berbentuk rumah panggung, namun di bagian
bawahnya ada tempat tambahan. Di rumah Tofa in laki-laki dan perempuan tidur
secara terpisah. Perempuan di bagian atas dan laki-laki di bagian bawah.
1.4 Kondisi Sosial dan Budaya
Di kabupaten Alor terdapat aneka ragam
bahasa lokal (19 etnolinguistik) dan kesenian tradisional, upacara adat dan
kearifan lokal. Secara linguistik Alor memang bermacam-macam. Sebuah survay
terkini yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Universitas Leiden –
Belanda, menunjukan bahwa di Kepulauan Alor terdapat kira-kira 14 bahasa
daerah. Kebanyakan dari bahasa-bahasa tersebut berhubungan dengan bahasa-bahasa
Papua, kecuali bahasa yang dipakai oleh beberapa komunitas nelayan di daerah
pesisir yang umumnya diakui sebagai bahasa Alor, bahasa yang memiliki hubungan
dengan bahasa Lamaholot, salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang
dipakai di Flores timur.
1.5 Kondisi
Ekonomi
Sebagian
besar mata pencaharian masyarakat Alor ialah dari pertanian dan perikanan skala
kecil. Selain itu masih ada penduduk yang hidup dari ladang atau kebun secara
berpindah-pindah (nomaden) namun dengan cara membabat hutan belukar. Dengan
jumlah populasi pensusuk sekitar 168.965 orang. Penduduk Alor sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Konfigurasi wilayah daratan
Kabupaten Alor yang bergunung dan berbukit memberikan iklim yang variatif bagi
pengembangan aneka komiditi pertanan. Tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,
dan peternakan. Sedangkan sebagai wilayah kepulauan dengan perairan yang luas
dan kaya berbagai jenis ikan dan hasil laut non ikan serta taman laut yang
indah. Adapun potensi wilayah dan keanekaan komoditi adalah sebagai berikut:
a.
Kehutanan dan perkebunan: seedlack asam, kenari,
sirih hutan, kayu manis, mahoni, cendana, kemiri, kelapa, cengkeh, vanili,
kopi, kakao dan lada. Perikanan dan Kelautan: berbagai jenis ikan seperti kerapu,
cucut, kakap, teri, tenggiri, tuna, tongkol dll. serta non ikan antara lain
mutiara, rumput laut, teripang, ubur-ubur serta berbagai jenis kerang dan taman
laut.
b.
Pertanian dan Perternakan : padi ladang, jagung, palawija,
mangga, jeruk, pisang. Peternakan sapi, kambing, babi, rusa. Saat ini sedang
dikembangkan penangkaran rusa yang didukung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten.
c.
Industri
dan kerajinan rakyat: kerajinan tenun ikat, tenun songket, meubel bambu,
anyaman bambu dan daun lontar, batu bata dan gerabah. Pertambangan dan energi:
batu berwarna, pasir besi, emas, timah, intan, gips dll. Sektor pertanian masih
mendominasi struktur perekonomian Kabupaten Alor. Meskipun demikian, kontribusi
dari sektor pertanian untuk perekonomian daerah ini masih relatif kecil. Banyak
pola pertanian yang merupakan pertanian tradisional di mana hasil pertanian
lebih banyak dipakai sendiri. Aspek-aspek lainnya adalah harga-harga pasar yang
sangat rendah, kurangnya infrastruktur dan kurangnya pengetahuan tentang teknik
pertanian. Tetapi pemerintah daerah sedang mencoba meningkatkan infrastruktur
dan pemakaian alat-alat pertanian guna meningkatkan perekonomian daerah dengan
LSM-LSM asing sebagai mitranya. Komoditas perdagangan yang baru dan
teknik-teknik pertanian sedang diperkenalkan dan beberapa di antaranya telah
berhasil dengan baik, contohnya Desa Apui terkenal sebagai penghasil vanili
berkualitas tinggi. Lambat tapi pasti Alor mendapat tempat di pasar regional
dan internasional. Hasil-hasil seperti kunyit, ganggang laut, asam, kemiri,
pinang, kopi, cendana dibawa ke pelabuhan-pelabuhan di seluruh Indonesia.
Contoh-contoh hasil alam Alor yang ada di pasar internasional adalah kerikil
berwarna, vanili, mutiara dan seedlack.
1.6 Kondisi
Pendidikan
Sampai dengan saat ini pendidikan di Kabupaten Alor belum
cukup baik antara lain di tunjukkan oleh pencapaian indikator kinerja yang
masih rendah. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun
2002 mencapai 7,0 tahun6. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas pada
tahun 2004 mencapai 93,41 persen. Namun demikian angka melek aksara penduduk
usia muda (15-24 tahun) sudah mencapai 98,15 persen. Angka partisipasi sekolah
untuk kelompok usia 7-12 tahun mencapai 92,71 persen dan untuk kelompok usia
13-15 tahun mencapai 79,17 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan dari 100
anak usia 7-12 tahun masih ada 7-8 anak yang tidak sekolah dan dari 100 anak
usia 13-15 tahun masih terdapat 21 anak yang tidak sekolah.
Video ini diambil dari https://www.youtube.com dalam video ini diceritakan tentang asal-usul suku Abui, tarian lego-lego, alat musik moko yang terbuat dari perunggu yang biasa dipakai sebagai belis (mas kawin).
2. Suku di Tana Ai, Flores
1. Profil
Suku-Suku di Tana Ai, Flores
Secara administratif Tana Ai saat ini berada di
wilayah timur kabupaten
Sikka di Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.Namun,beberapa
abad yang lalu, Tana Ai mencakup wilayah tengah dantimur pulau Flores. Sikka Tengah
lalu dikuasai oleh seorang sultan setempat (raja),
sedangkan bagian timur masih tetap merupakan kesatuan wilayah adat yang cukup
longgar. Masing-masing memiliki situs upacara penting (mahe)[1] . Ratusan
komunitas (natar) yang tinggal di daerah itu masih memiliki ikatan
budaya dan sejarah yang kuat, termasuk ikatan dengan ibu pertiwi, yang merupakan
salah satu arti dari kata Tana Ai.[2]
Kampung-kampung adat tetangganya adalah Utang Wair
dan Likong Gete berjarak sekitar 34 km di timur Maumere, ibukota kabupaten
Sikka. Secara resmi keduanya kini menjadi bagian kampung Nangahale di kecamatan
Talibura4. Wilayah ini dianggap sebagai kawasan pantai, akan tetapi tanah adat
masyarakat – yang secara total mencakup wilayah 2000 hektare – mencakup wilayah
pegunungan yang luas. Wilayah adat Utang Wair dibatasi oleh Le Watu Bain Wair
Kolon (di kampung Talibura) di sebelah timur; Wawa Wair Hekang (di kampung Wair Terang) di sebelah
barat; Laut Flores di sebelah utara; dan Reta Gele Bihat di sebelah selatan. Wilayah adat
Likong
Gete dibatasi oleh sungai Waer Hek
(di kampung Natar) di sebelah timur; sungai Patiahu (di kampung Runut) di sebelah barat;
Laut
Flores di sebelah utara; dan Tana
Beta Beegawan (kampung Runut)di sebelah selatan.[3]
Jumlah
total penduduk Utang Wair dan Likong Gede adalah sekitar
800 keluarga atau 3000 orang.
Sekitar 80% anggota masyarakat adat mampu melacak asal-usul mereka hingga ke asal muasal
kampung. Mereka bertahan hidup dari
bercocok tanam. Kaum pendatang (20 persen dari anggota komunitas yang disebut Pahar)
sebagian besar berasal dari Buton
dan Bugis yang mengandalkan kehidupan sebagai nelayan. Tanaman pangan masyarakat adalah
padi, jagung, singkong, kacang-kacangan termasuk kacang tanah, tebu dan nanas.
Komoditas wanatani lainnya adalah
pisang, mangga, nangka, coklat, jambu monyet (kacang mede), kemiri, mahoni, kayu
jati,
pohon lontar dan bambu.[4]
B.
Asal
Usul
Walaupun
masyarakat adat Utang Wair dan Likong Gete tinggal berdekatan dan banyak
berasal dari suku yang sama, legenda asal-usul tentang sejarah tanah adat
mereka berbeda.[5] Namun,
sebagaimana dijelaskan berikut ini, mereka memiliki kemiripan kelembagaan dan
kearifan tradisional serta kesamaan dalam sistem tata ruang
dan pengelolaan sumber daya alam. Kedua kampung adat ini merupakan bagian dari
komunitas besar Natar
Mage
di dalam wilayah Tana Ai.[6]
Ø Utang Wair
Menurut cerita rakyat, orang yang pertama menempati wilayah
Natar Mage adalah Moang Sugi dan Dua Sao bersama-sama dengan rombongan 15 suku,
yaitu : Soge, Liwu Jawa, Liwu Urung, Liwu Anak, Liwu Tana, Liwu, Liwu Kubang
Bura, Watu, Lewar, Lewuk, Ipir, Dewa, Dewa Lewuk, Mage, dan Mau. Moang Sugi dan
Dua Sao ini menurut hikayat berasal dari tanah Malaka. Dalam pelayaran ke timur
dari tanah Malaka terdampar di pantai Talibura.[7]
Keduanya beristirahat di Talibura karena merasa lapar dan haus. Mereka kemudian
mengeringkan air laut dan menggali di sekitar pantai itu untuk mendapatkan air
tawar.
Daerah itu dikenal dengan nama Wair Kolong. Lalu
Moang Sugi dan Dua Sao melanjutkan perjalanannya ke Pedan. Di tempat itu mereka
mendapatkan lokasi tanah untuk bercocok tanam dan langsung memberikan tanda dengan
menggunakan parang kelewang (pedan) yang ditancapkan di kali.[8]
Dari Pedan mereka meneruskan perjalanan ke Sao Wair, yang dinamakan demikian
karena mereka menggali-gali pasir di pantai sampai mendapatkan air untuk
menghapus dahaga. Di sini mereka tidak bertahan lama dan meneruskan perjalanannya
sampai ke Nanga Hale di mana mereka membuat tempat ritual adat.[9] Hingga
sekarang tempat ini masih menjadi tempat untuk melakukan upacara mendatangkan
hujan (uran wair) dan untuk membuat ritual adat lainnya. Ritual-ritual
ini disebut dengan upacara Pat Ea. Menurut kisah, karena kedua tokoh ini tertarik
dengan air sungai yang berkilat, maka mereka kemudian menamakan Sungai Nanga
Hale dengan Hulu Hilek.[10] Setelah
itu mereka lanjutkan perjalanan ke Wair Hek Krada Wara, yang dinamakan demikian
karena permukaan air yang selalu berubah. Tidak lama di sana Moang Sugi dan Dua
Sao kembali ke Likong Gete, yang dalam legenda diceritakan sebagai tempat yang
indah laut dan gunungnya. Tempat tersebut diberi nama Likong Gete Wan Rua yang
artinya di Likong Gete terdapat pertemuan dua buah mulut sungai yang besar,
yaitu Nanga Tahi dan Nanga Wair. Tempat lain dengan nama yang mengingatkan pada
legenda nenek moyang adalah Mage Layar atau Layar Sewa Lian, artinya layar yang
terdampar di darat dari perahu yang hancur terhempas di karang. Moang Sugi dan
Dua Sao mulai berkebun dan membangun rumah di Lirih Watu. Dinamakan Lirih Watu
karena mereka membangun rumah dengan menggunakan tiang-tiang dari batu.[11]
Di tempat ini pula Moang Sugi dan Dua Sao mulai membagi-bagi
tanah dan memberikan hak untuk mengelola wilayah-wilayah kekuasaan kepada
kelima belas suku yang ikut dengan mereka. Suku Soge mendapat hak untuk mengurus
wilayah Nuba Nanga dan mendapat tanggung jawab untuk menjaga tempat-tempat suci.[12]
Sejak saat itu juga kelima belas suku tersebut mulai menyebar ke mana-mana. Setelah
selesai membagi dan memberikan kuasa untuk mengelola dan mengawasi tanah di
tempat itu, Moang Sugi dan Dua Sao melanjutkan perjalanann ke Ledu Labang, daerah
yang terletak di bagian barat Natar Mage. Di tempat baru ini mereka mulai
menetap.
Mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian
dan pemukiman. Ketika hasil pertanian mulai berkurang mereka kemudian berpindah
ke arah timur, yang sekarang merupakan kampung Natar Mage. Di sini mereka membuka
lahan pertanian baru dan memperoleh hasil yang berlimpah. Di tempat sakral
mereka melukiskannya dengan kata-kata: Sugi Sao Saro Welin Wai Duu
Welin Inan, Ua Uma Di Hiin, Kare Tua Di Dolo, Mula Wua Plehok Mahe,
Litin Gi’it, Ler Mangan.[13] Semboyan
ini menunjukan bahwa Moang Sugi dan Dua Sao adalah orang-orang pertama yang
berhasil membuka hutan menjadikannya sebagai lahan pertanian dengan hasil yang berlimpah.
Itulah sebabnya seluruh masyarakat adat Natar Mage, termasuk orang Utang Wair,
menghormati Moang Sugi dan Dua Sao sebagai leluhur mereka. Hal ini juga menjelaskan
makna khusus Nuba Nanga bagi masyarakat adat dan tanah leluhur mereka serta
peran Utang Wair dalam menjaganya dan daerah-daerah sakral lainnya. Setelah
berkembang menjadi satu perkampungan, Moang Sugi dan Dua Sao memberi nama
kampung itu Natar Mage, yang berarti Kampung Asam karena ada sebuah pohon asam yang
sangat rendah di bagian utara kampung Natar Mage. Sampai sekarang pohon itu
masih ada dan dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Ø Likong Gete
Ada dua versi legenda penguasaan wilayah oleh
masyarakat adat Likong Gete. Menurut versi pertama, manusia penghuni pertama
adalah Moang Krai Soge dan Moang Sugi Sao yang berasal dari ‘Tana Malaka’. Perahu
layar yang mereka gunakan merantau terdampar di pantai Nanga Hale. Di sana
mereka tinggal untuk
sementara
waktu. Di Nanga Hale ini mereka membuat suatu tempat upacara adat dengan cara
menanam.[14]
Hal ini juga menandakan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. Sesudah itu
Moang Krai Soge dan Moang Sugi Sao melanjutkan perjalanan ke Wair Hek. Mereka
juga membuattempat ritual adat di sana yang disebut Mula Nuba Wair Hek. Nama
tersebut berkaitan dengan kisah seorang bapak yang jatuh dan tewas tenggelam di
kali. Kedua leluhur tersebut lalu melanjutkan perjalanan ke Ledu Labang, di sebelah
barat Natar Mage.
Mereka membuka hutan untuk dijadikan kebun dan
membangun rumah untuk menetap. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Moang Krai
Soge dan Moang Sugi Sao mulai merencanakan untuk menguasai tanah secara sendiri-sendiri
dan akhirnya mereka bersepakat untuk membagi wilayah kekuasaan. Kesepakatan yang
diambil adalah Moang Sugi Sao tetap menguasai wilayah adat Natar Mage mulai
dari gunung sampai di laut, sedangkan wilayah bagian barat (Tanah Runut)
dikuasai oleh Moang Krai Soge dari gunung sampai di pantai, termasuk wilayah
Likong Gete sekarang. Moang Krai Soge kemudian pergi ke barat dan menetap di Mage
Heni. Pada masa kerajaan-kerajaan kecil berkuasa di Sikka, penguasa pernah
membakar kampung Mage Heni sampai habis.
Masyarakat kemudian memberi nama baru, yaitu Natar
Holon, bagi kampung yang dibangun kembali di tempat yang sama itu. Moang Krai
Soge kemudian beranak pinak dan menurunkan Suku Soge. Dalam perkembangan selanjutnya,
di sana masuk lagi beberapa suku yang lain yaitu Liwu Urung, Liwu Jawa, Liwu
Anak dan Lewar. Versi kedua kisah leluhur ini menyebutkan bahwa orang pertama
yang menetap di Tanah Runut bagian barat adalah suku Goban. Mereka berasal dari
Tana Malaka yang berlayar dan terdampar di Dobo. Dalam sastra lisan dilukiskan dengan
Dobo Dorak Nata Hulu Watu Woga Tele Goleng, yang artinya perahu suku
Goban terdampar di tempat tinggi. Dari ketinggian itu mereka bisa melihat
sekeliling lalu mereka memilih melanjutkan perjalanan ke timur. Mereka berjalan
kaki dan tiba di pantai Hito Halok, tempat menetap untuk sementara dan membuat
rumah di sana, sebelum mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga
tiba di Watu Gete. Tempat ini kemudian menjadi kampung pertama di Runut. Di
tempat inilah orang Goban membuka hutan dan berkebun serta membangun rumah. Beberapa
suku lain kemudian bergabung, seperti orang Watu, Liwu Jawa, Liwu Urung, Liwu
Anak, Soge Laka, Soge Rutak dan Kali Raga. Suku Goban kemudian memberi mandat
kepada orang Watu untuk membangun tempat upacara yang disebut Gren Mahe. Sejak
itu orang-orang Goban menyebar sampai ke Likong Gete.
2.
Mitologi
Suku di Tana Ai, Flores
Di Flores Barat suku riung memiliki mite penjadian yang lebih sederhana.
Diceritakan bahwa mula-mula ada seorang perempuan yang bernama Te’ze. Ia ada dengan sendirinya tanpa
ada yang menjadikannya. Ia juga berkuasa dari dirinya sendiri. Ia menyebabkan
segala sesuatu itu ada. Te’ze berdiam
diatas batu kara, diatas batu itu tumbuhlah sebatang pohon yang berkuasa.
Ketika Te’ze sedang tidur dibawah pohon
itu sekuntum bunga yang dihembus angin jatuh diatasnya dan membuahinya. Te’ze mengandung dan kemudian melahirkan
seorang anak laki-laki yang diberi nama Lena.
Ketika anak itu sudah dewasa kawinlah ia dengan ibunya. Dari perkawinan itu
lahirlah banyak keturunan. Mula-mula langit dan bumi masih terikat satu sama
lain oleh tumbuh-tumbuhan yang menjalar. Tetapi kemudian tumbuh-tumbuhan yang
menjalar itu digigit oleh seekor anjing hingga putus. Akibatnya langit menjauh
dari bumi.
Lena dan
Te’ze membuka ladang dengan memotong
pohon-pohonan dan membakar semak serta duri. Akan tetapi ladang itu tak
menghasilkan apa-apa. Pada suatu hari Lena
mengajak dua orang anaknya yaitu Rakau
dan Ruat keladang. Setibanya di
ladang kedua anak itu dibunuh. Darah mereka dipercikkan ke seluruh ladang
sedangkan daging dan tulang mereka dihancurkan dan disebarkan diladang itu.
Karena perbuatan ini ladang itu menghasilkan palawija.
Mite
penjadian suku manggarai diceritakan bahwa sesudah Mori Keraeng mejadikan dunia
ini, iapun menjadikan matahari, bulan dan langit. Langit dan bumi diikat oleh
sejenis pohon rotan. Sesuda beberapa lama tumbuhlah serumun bambu yang
mengandung laki-laki dan perempuan. Kemudian bambu itu pecah dan keluarlah
kedua manusia tadi. Rumpun bambu itu dipotong-potong untuk dijadikan rumah
sebagai tempat tinggal. Dari perkawinaan kedua orang itu lahirlah kedua orang
anak laki-laki dan perempuan demikian manusia berkembang biak karena sinar
matahari terlalu panas orang-orang belum berani keluar dari rumah.
Di
Flores Tengah ada juga mite penjadian yang menceritakan bahwa mula-mula
tana-ekan (Bumi) penuh dengan air. Kemudian Lera-Wulan memerintahkan air supaya
surut. Dengan demikian tanah ekan muncul dari perumahan air. Dibumi inilah
manusia pertama dijadikan, yaitu Sem dan
Ma. Kedua orang ini menurunkan semua
umat manusia.
3.
Keyakinan
Terhadap Dewa
Bagi
suku manggarai, tokoh dewa yang tinggi disebut Mori Karaeng. Agaknya sebutan
ini bukan sebutan yang asli, melainkan sebutan yang dijabarkan dari bahasa
bugis ( Mori berarti tuhan, da Kareng berarti raja atau tuhan, sehingga
Mori Karaeng berarti Tuhan segala Raja atau tuhan segala tuhan).
Tokoh Dewa ini
dipandang sebagai pencipta yang menjadikan segala sesuatu. Ia maha kuasa dan
berada dimana-mana. Mori karaeng juga dipandang sebagai pelindung dan
pemelihara manusia dengan penuh kasih sayang. Demikianlah dewa ini adalah atas
hidup dan mati.
Sebutan
Mori Karaeng adalah sebutan sehari-hari bagi tokoh dewa tertinggi ini. Orang
sama sekali tidak takut untuk menyebut nama ini. Setiap saat nama ini dapat
didengar. Kadang-kadang orang takut menyebunya, yaitu jika ada penyakit dan
sebagainya. Anehnya, nama ini tidak terdapat dalam doa-doa sajian yang bersifat
umum, yang diucapkan para imam. Baik saat-saat ada penyakit maupun doa-doa
sajian, tokoh dewa tertinggi ini disebut dengan sebutan lain, umpamanya Bapak atas-Ibu bawah, atau Bapa-Ibu, atau Lelaki atas-Perempuan bawah, atau Langit atas-Bumi bawah, atau Matahari-Bulan.
Karena sebutan ini juga terdapat di flores tengah dan flores timur, dan juga
dipulau-pulau yang lain, maka tidak salah jika dikatakan bahwa sebutan-sebutan
inilah yang sebenarnya mewujudkan sebutan yang asli jika demikian dapat
dikatakan, bahwa penduduk flores mula-mula percaya pada langit dan bumi atau
matahari dan bulan sebagai tokoh dewa yg tertinggi. Kecuali kepada Mori
Keraeng, suku manggarai juga percaya akan adanya roh-roh atau tokoh-tokoh yang
menguasai segi rohani dunia ini.biasanya tooh-tokoh ini disebut tokoh-tokoh yang di sebrang sana. Mereka
dipandang sebagai penguasa alam yang belum dikuasai atau diusahakan oleh
manusia pada umumnya roh ini dipandang baik, asal dihormatin oleh manusia.
Mereka lebih berkuasa dan lebih bijaksana ketimbang manusia. Mereka memiliki
mata yang bersinar-sinar sehingga mereka dapat melihat di dalam gelap. Roh-roh
ini di antaranya:
1. Naga Golo,
yaitu roh yang dihubungkan dengan rumah dan desa. Ia dapat melindungi manusia
tetapi juga merugikannya kadang-kadang roh ini menampakkan diri kepad para imam
sebagai binatang kucing, buaya dan lain-lainnya. Sajian untuk naga-naga ini diletakkan dibawah tangga
rumah atau ditanah. Naga yang dihubungkan dengan desa dipuja melalui
perantaraan imam-imam dan orang-orang tua. Sajiannya ditempatkan dilaangan desa
(alun-alun).
2. Darat, yaitu
roh yang dihubungkan dengan bumi dan bermukim didaerah-daerah yang belum diusahakan
manusia, umpamanya di hutan, di pohon-pohon besar, di puncak ukit, di batu-batu
dan sebagainya. Selain itu, darat juga
dihubungkan dengan air, sebab dipandang sebagai yang memiliki sungai, sumber,
telaga, rawa, dan sebagainya. Akhirnya, binatang-binatang buas juga dihubungkan
dengan darat. Pada umumnya darat tidak dipandang sebagai roh jahat,
kecuali jika orang mengganggunya. Manusia memang dengan sangat mudah dapat
melanggar hak-hak roh ini.
Sajian untuk darat sering diletakkan di dekat sumber-sumber mata air, agar ia
bisa memberi air minum ( terlebih jika terjadi musim kemarau panjang), didekat
sungai ketika orang menangkap ikan, di dekat hutan ketika orang hendak berburu,
diladang ketika orang hendak bertani dan sebagainya. Darat dapat menampakkan diri pada manusia dalam wujud binatang dan
makhluk lainnya.
Disamping roh-roh baik
ada roh jahat. Dari roh-roh jahat itu manusia tidak dapat mengharapkan hal-hal
yang baik. Biasanya sajian kepada mereka tidak dipersembahkan. Mungkin hal itu
dilakukan oleh para imam. Roh jahat yang paling ditakuti adalah poti roh ini sering mengganggu manusia. Biasanya
roh ini dianggap berasal dari orang-orang yang sudah mati dan tidak dikenal.
Jika ada yang mati di desa ada anggapan bahwa poti-poti itu berkeliaran
disana, misalnya jika ada pesta dan sebagainya. Oleh karena itu pada saat-saat
demikian dipersembahkan juga sajian. Roh-roh ini tidak dipandang sebagai
kekuasaan yang berdiri sendiri. Mereka seolah-olah menjadi rakyat Mori Keraeng
yang didalam segala gerak-geriknya bergantung pada Mori Kerae.
Flores Tengah yang
didiami oleh bermacam-macam suku dapat dirangkumkan sebagai suku Ngada atau
Nad’a. Bagi suku Ngada, tokoh dewa yang tertinggi disebut Dewa (pengaruh Hindu). Ia adalah dewa langit atau juga diidentikkan
dengan langit itu sendiri. Ia adalah segala Dewata dan Tuhan segala makhluk
yang lebih tinggi dari pada manusia. Segala makhluk yang adikodrati
inimendapatkan kekuasaannya dari Dewa.
Di
samping Dewa masih ada tokoh ilahi yang lain yaitu Nitu. Mula-mula Nitu adalah bumi itu sendiri, tetapi kemudian
dianggap sebagai seorang dewi, yaitu ibu bumi (Ibu pertiwi) yang memilikibanyak
keturunan. Biasanya Mitu disebut lebih dahulu sebelum Dewa. Namun hal itu bukan
berarti Nitu dipandang lebih dari dewa. Suku lain yang berada di Flores Tengah
memandang Leras-Wulan yaitu
Matahari-Bulan sebagai dewa yang tertinggi. Ia dipandang sebagai pencipta dunia
dan manusia, yang bersemayang dilangit atau diatas awan.
4.
Keyakinan
tentang manusia
Suku manggarai
memandang manusia memiliki jiwa yang berasal dari Mori Keraeng dan yang akan
kembali kepadanya lag jika manusia sudah mati. Jiwa seolah-olah dipandang
terlepas dari diri manusia. Namun dilain pihak jiwa juga dipandang menyatu
dengan diri manusia sebab ketika mati jiwa meninggalkannya jiwa dianggapberada
dibahu, sehingga disebut juga sebagai saudara kita. Kadang-kadang orang
melempar bebrapa butiran nasi kebelakang lewt bahu dengan maksud diperuntukkan
bagi jiwanya. Jiwa dapat meninggalkan manusia sekalipun manusianya masih hidup.
Di Flores Tengah orang
berpendapat bahwa ada dua macam jiwa yaitu amanar dan maeng Manar lebih tepat disebut sebagai
kekuatan atau daya hidup manusia, selain itu bukan hanya manusia yang memiliki manar melainkan tumbuh-tumbuhan dan
batu-batu juga memilikinya.
Kecuali sebagai daya
hidup, manar juga dapat di pandang
sebagai kecakapan yang ada pada manusia. Tidak semua orang memiliki manar yang sama. Anak-anak dan remaja
berbeda dari orang dewasa, perempuan berbeda dari laki-laki, orang-orang kaya
dan orang-orang pemberani berbeda dari orang biasa, demikian seterusnya, manar adalah sesuatu yang ada di dalam
hati manusia, yang menyebabkan manusia mendapat keuntungan, kebijaksanaan, dan
sebagainya.
Maeng
adalah
jiwa yang meninggalkan tubuh jika manusia sudah mati. Jiwa ini sudah ada
sebelum menusianya dilahirkan. Ia berasal dari Lera-Wulan. Sebelum manusia
dilahirkan, jiwanya berada di alam bawah, tempat nitu. Jiwa ini masuk ke dalam kehidupan manusia jika digabungkan
dengan tubuh oleh Lera-Wulan, yang terjadi di dalam kandungan ibu melalui
sperma bapak.
Sekalipun
manusia masih hidup, jiwa ini juga dapat meninggalkan tubuh pada waktu tidur.
Jika orang bermimpi, jiwanya mengembara bertemu dengan jiwa-jiwa yang lain,
juga dengan jiwa-jiwa orang yang sudah mati. Perwujudan jiwa itu tidak dapat
dikenal. Akan tetapi jiwa dapat berubah untuk menampakkan diri kepada manusia,
yaitu dalam perwujudan kucing, anjing, ular, dan sebagainya.
5.
Hidup
di Akhirat
Mengenai keadaan di
akhirat, banyak sekali cerita yang saling bertentangan. Di Flores Barat, di
tengah-tengah suku Manggarai, ada kalanya jiwa orang mati dianggap pergi ke
Mori Keraeng dan hidup bersama-sama dengan dia. Akan tetapi ada kalanya jiwa
dianggap sebagai perwujudan suatu persekutuan, yang masih memelihara hubungan
dengan para keturunannya yang masih hidup. Namun ada kalanya juga jiwa itu
dianggap masih tetap berada di dalam kubur. Yang jelas, sebelum diadakan pesta
kematian, jiwa orang mati masih tetap berada di dalam rumah, yaitu pada tikar
tempat tidurnya. Pada saat ini harus dipersembahkan sajian. Pada hari yang
kelima diadakanlah pesta kematian, ketika orang mengadakan pesta perpisahkan
bagi orang yang mati.
Di Flores Tengah, ada
suku yang berkeyakinan bahwa sesudah seseorang mati, jiwanya pergi ke alam
bawah, tempat nitu. Di situ jiwa
masih mengalami kematian hingga tujuh kali, sebab alam bawah itu terdiri dari
tujuh lapisan. Setiap kali mati, jiwa itu tiba di lapisan yang lebih rendah.
Sesudah tujuh kali mati, sampailah ia di lapisan yang paling bawah. Di situ ia
harus diuji. Ia harus berjalan melalui sebuah tenda yang dipasang di atas kuali
yang airnya mendidih. Sementara jiwa sedang berjalan, jiwa-jiwa yang ada di
sekitarnya menjerit sekuat-kuatnya untuk menguatkan jiwa yang sedang berjalan
tadi agar terjatuh ke dalam kuali.
Ada
juga suku yang berkeyakinan bahwa sesudah seseorang mati, jiwanya pergi ke langkan (balkon), yaitu atap yang rata
dan menetap di situ. Jiwa itu menertawakan orang-orang yang hidup yang duduk di
sekitar mayatnya dan menangisinya. Sesudah itu jiwa yang baik pergi menuju
Lera-Wulan, sedangkan jiwa yang jahat menuju ke alam bawah, tempat nitu. Selama keluarga yang masih hidup
belum mengadakan pesta kematiannya, jiwa itu menetap di gua-gua dan di
lubang-lubang pada pepohonan dan sebagainya. Sesudah diadakan pesta
kematiannya, ia pergi ke Lera-Wulan.
6.
Tempat-Tempat
Keramat
v Batu
berbentuk perahu di pantai Talibura (sekarang ada di depan kantor Koramil)
dianggap oleh orang Tanah Ai sebagai peninggalan Moan Sugi Sao.
v Batu
dengan jejak kaki Moang Sugi Sao beserta anak panah serta binatang
peliharaannya di Watubaing/Wair Kolong.
v Pohon
asam keramat di Natar Mage yang menjadi asal muasal nama kampung tersebut.
v Batu-batu
lain yang bersejarah atau dianggap keramat (mahe) adalah:
◦ Mahe Wuu Letu di Ledu Labang
◦ Mahe Koja Wulan di timur Natar Mage
◦ Mahe Papar di utara Natar Mage
◦ Mahe Hiong Dueet di Karok Natar
Tidak sembarang tempat masyarakat di Tana Ai Flores
melakukan kegiatannya sehari-hari, karena prinsip mereka tidak boleh merusak
alam dan temapat-tempat keramat yang dipercaya dihuni oleh para arwah, maka
satu-satunya tempat untuk bercocok tanam adalah di lereng bukit. Sistem tata guna
lahan tradisional yang diterapkan oleh masyarakat Utang Wair dan Likong Gete
mengenal sejumlah zona dengan fungsi tertentu. Sistem tersebut membedakan secara
tegas lahan hutan yang boleh dibuka untuk berkebun dan hutan yang harus dijaga
keutuhannya19. Tidak seorangpun boleh memanfaatkan bagian hutan yang dihuni
oleh para arwah. Bagian lain dari hutan dilindungi sebab merupakan tempat
beristirahat para roh nenek moyang. Sebelum seseorang meninggal, dia akan
menunjukkan kepada keluarganya tempat yang dipilihnya untuk beristirahat di
hutan setelah meninggal.
• Hutan larangan
atau hutan tutupan (Uin watur tuan loran)[15]
Sejumlah
wilayah hutan yang luas masuk dalam sistem pengelolaan masyarakat adat. Tidak
seorangpun boleh membuka hutan ini. Orang Utang Wair dan Likong Gete menganggap
hutan ini sebagai sumber air dan tempat melaksanakan upacara adat. Banyak
tempat keramat di dalamnya adalah tempat masyarakat menghormati dan berdoa
memohon kepada leluhur mereka.
• Hutan untuk
lahan pertanian berpindah (Opi kare tutun tepan)
Masyarakat
adat selalu membuka hutan untuk bercocok tanam, seperti yang dilakukan oleh
leluhur mereka yaitu, Moang Sugi Sao. Ladang, tempat bertanam padi, jagung dan
sayuran, juga pohon produksi merupakan bentuk wanatani tradisional. Di dalam zona
ini terdapat wilayah hutan lindung di mana kegiatan bercocok tanam tidak
diperkenankan (tuan dudun), seperti: Tebing terjal, Lahan tempat berburu,
Tempat-tempat yang dihuni roh-roh. Terdapat juga daerah kantung-kantung hutan
tersebut juga merupakan sumber-sumber mata air sebagai tempat berdoa meminta hujan,
hasil panen yang baik dan perlindungan dari hama dan bahaya alam (biasanya di daerah
hutan dekat sungai)
Hutan larangan. Sumber: e-book
7. Struktur Kelembagaan Adat
Secara
adat, tata ruang wilayah adat merupakan tanggung jawab
Tana Puan/kepala suku dan perangkat
adat lainnya. Akan tetapi, dewasa ini lembaga adat sudah berkurang sekali
perannya, kecuali dalam melakukan ritual adat. Struktur lembaga
adat setempat adalah:
v Pimpinan
adat (Tana Puan): ‘koordinator’ secara umum; bertanggungjawab menentukan
tata ruang wilayah adat.
v Kepala-kepala
Suku: sebagai pelaksana adat dalam sukunya dan bertanggungjawab untuk
membagi-bagi tanah kepada anggota-anggota sukunya
v Bian
Wuun: orang-orang yang mempunyai ketrampilan/keahlian khusus dalam melakukan
ritual adat yang terdiri dari:
v Bian
Sobe:
orang yang bertugas untuk membawa pasu yang berisi kuku dan rambut orang yang
sudah meninggal, misalnya dalam upacara Wihi Loe Unur.
v Bian
Luka:
orang yang bertugas membawa semua kuku dan rambut orang yang baru meninggal dan
menyerahkan kepada “Bian Sobe” pada saat upacara Wihi Loe Unur.
v Bian
Henin: orang yang bertugas memanggil para arwah yang
sudah lebih dulu meninggal untuk datang menjemput arwah-arwah yang baru meninggal
dalam upacara Wihi Loe Unur sehingga mereka dapat berkumpul bersama dalam
alam mereka.
v Bian
Karat: orang yang bertugas menyembelih hewan persembahan
pada waktu upacara Wihi Loe Unur.
v Bian
Seko atau Gareng Lamen: orang yang bertugas untuk melakukan
penyunatan pada upacara Gareng Lamen.
v Bian
Marang: dukun atau peramal yang dilakukan dengan ‘membaca’
kambing/babi yang dikurbankan.
v Bian
Teli Apur: para perempuan yang menyediakan segala sesuatu
perlengkapan upacara.
v Bian
Dua Puan: para perempuan yang mengatur pelaksanaan upacara
dan menyambut para tamu.
Anggota masyarakat adat dibagi dalam kelompok suku
awal (Me Pu Ari Anak) dan kelompok suku lainnya (Ai Aur Wair). Selain
lembaga-lembaga tradisional tersebut di atas, masyarakat Utang Wair dan Likong
Gete juga membentuk organisasi masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak
mereka atas wilayah adat dan pengelolaan sumberdaya alam (lihat kotak
Mempertahankan
Kuasa
Adat).
8.
Hakekat Sistem Tata Ruang Adat
1)
Aspek ekonomi: Sumber daya alam yang ada
hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bukan sebagai
bahan perdagangan atau didistribusikan ke daerah lain.
2)
Aspek sosial (kekerabatan): Hubungan
kekerabatan masyarakat adat daerah ini sangat erat sebagai akibat dari sistem
perkawinan di dalam daerah sendiri. Namun dalam perkembangannya masyarakat
mulai terbuka, membuka diri terhadap pihak luar melalui pembauran (kawin
campur) dengan orang luar daerah.
3)
Budaya:
Pelestarian nilai-nilai dan budaya fisik dan spiritual yang
diwariskan nenek moyang.
4)
Politik: Pimpinan adat (Tana Puan)
memegang kekuasaan tertinggi dalam struktur pemerintahan adat. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan adat dia dibantu oleh para kepala suku dan tetua adat.
5)
Keamanan: Masyarakat melakukan suatu
upacara adat khusus untuk menolak segala bahaya atau ancaman yang datang dari
luar wilayah masyarakat.
9.
Upacara
Adat
1) Upacara
Rau Ekak: upacara pemberian makanan kepada rohroh nenek moyang agar tetap
menjaga lingkungan tempat tinggal serta kebun atau ladang masyarakat dari
gangguan alam atau manusia. Upacara ini biasanya dilakukan di tempat khusus (mahe).
2) Upacara
pendinginan tanah: dilakukan setelah membakar hutan untuk membuka lahan
pertanian yang baru. Biasanya dibuat di tengah kebun dengan maksud untuk
meminta kesuburan tanah dan memberikan hasil panen yang baik.
3) Pati
blatan tebo toko: upacara yang dilakukan bagi orang yang
mengalami sakit yang berkepanjangan atau bagi orang yang telah melakukan
kesalahan misalnya melakukan pencurian, pemerkosaan dan sebagainya.
4) Pati
neni ihin dolo: upacara yang dilakukan pada awal tahun
di kebun setelah panen.
5) Pati
neni uran wair: upacara yang dilakukan untuk meminta hujan,
biasanya dilakukan di Nuba Nanga.
6) Upacara pengusiran hama dan penyakit yang menyerang
tanaman
v Hama
binatang (Tung Teu, Teke, Ule, dan Raon): ritual untuk mengusir
tikus, belalang, ulat dan walang sangit pulang ke ibu-bapaknya diantar oleh
tokek (manusia) dengan sebuah perahu supaya binatang-binatang tersebut tidak
mengganggu lagi tanaman mereka. Upacara ini dilakukan di laut, biasanya pada
bulan September atau Oktober sebelum mulai musim tanam. Orang yang ‘mengantar
pulang’ hama ini tidak boleh bersuara sama sekali selama dalam perjalanan ke
tempat tujuan upacara, kecuali orang yang melantunkan syair-syair adat. Hanya
kaum pria yang boleh terlibat dalam upacara ini. Ketika pulang dari tempat
upacara, setiap orang yang ikut dalam upacara tidak boleh menoleh ke belakang
sampai ia tiba di rumah. Selama 4 hari setelah upacara, tidak boleh dilakukan
kegiatan penggalian tanah dan juga tidak boleh menyalakan api di dalam rumah.
v Tanaman hancur dan berbau busuk
karena serangan jamur (Emun Anin): persembahan diletakkan di empat sudut
kebun kemudian dibakar mengikuti arah angin. Orang yang melakukan itu dilarang
masuk ke kebun selama 4 hari 4 malam.
v Walang sangit (Raon Beme): lili
hear, ai raon35, obat anti semut dan minyak tanah dicampur dan ditumbuk
sampai hancur lalu disiramkan ke tanaman yang terkena hama. Orang yang
melakukan itu dilarang masuk ke kebun selama 4 hari 4 malam. Selama musim panen
Bian Neti Naar dan Bian Balok Wair dilarang mandi sampai dengan
acara Ri (injak padi). Apabila kedua orang ini mandi sebelum upacara Ri
rnaka panen tidak akan berhasil.
Video ini di ambil dari https;//www.youtube.com video merupakan tradisi Boe Ganda dalam upacara pernikahan di suku Manggarai Flores, NTT.
3. Suku Murba di Seram
1. Profil Suku Murba di Pulau Seram
A. Letak Geografis
sumber: http://www.bing.com/images/search?q=peta+kabupaten+seram&view
Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km2
terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km2
dan daratan 5,779.123 Km2
. Dengan luas
wilayah yang sebagian besar didominasi oleh wilayah laut memiliki karakteristik
tersendiri. Terdapat titik-titik pada wilayah tertentu memiliki palung-palung laut
yang terbentang cukup luas. Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki beberapa Kecamatan yaitu Kecamatan Bula, Kecamatan Pulau Gorom, Kecamatan
Werinama, Kecamatan Siwalalat, Kecamatan Tutuk Tolu, Kecamatan Kilmury,
Kecamatan Wakate dan Kecamatan Seram Timur. Kecamatan Seram Timur memiliki luas wilayah 29,567 ha, terletak pada
130,51º BT – 132,5º BB dan 3,3º LS – 5 LSº. Batas wilayah Kecamatan Seram
Timur yaitu sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pulau Gorom, sebelah
barat berbatasan dengan Kecamatan Kilmuri dan sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Tutuk Tolu, serta sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Banda. Jumlah kepala keluarga Kecamatan Seram Timur yaitu 40,32 kk, dengan
jumlah penduduk yang mendiami Kecamatan Seram Timur mencapai 18,160
orang terdiri dari 8,706 orang penduduk laki-laki dan 9,454 orang penduduk
perempuan. Kecamatan Seram Timur memiliki Desa induk yang berjumlah 9 desa.
2. Kepercayaan Lokal Suku Murba di Seram
b.
Mite Penjadian
terdapat bermacam-macam
mite mengenai terjadinya manusia. Di Seram Tengah ada suatu cerita yang
menceritakan bahwa semula Alahatala (langit sebagai asas laki-laki) menyungkuri
pohun (bumi sebagai asas perempuan)
dalam persetubuhan. Pada waktu itu keadaan masih gelap gulita. Dari
persetubuhan ini bumi melahirkan anak-anaknya, yaitu pasangan manusia yang
pertama Tomoa dan Binawal. Kedua anak ini mendapat tempat
diantara bapak dan ibunya (terjepit). Mereka mendorong bapa ibunya, sehingga
keduanya berpisah. Hal itu mengakibatkan adanya suatu gempa bumi yang
menjadikan langit yang menjauhkan diri dari bumi. Bersaam dengan itu lahir juga
sepasang saudara yang lain, yaitu matahari dan bulan. Oleh karena itu,
kegelapan diganti dengan terang. Dari perkawinan kedua saudara yang terahir ini
lahir seorang anak laki-laki, Bintang
Suhara (bintang sore) dan seorang anak perempuan, Bintang Kejora (bintang pagi).
Semula
langit dan bumi masih kecil, karena terjadi gempa bumi tadi keduanya menjadi
besa. Alahatala melengkung seperti sebuah kubah menaungi bumi dengan kakinya
disebelah timur dan tangannya disebelah barat menyentuh bumi, dari mana
sepasang manusia yang pertama lahir.
Di
Seram Barat, ada suatu cerita tentang perkawinan antara matahari dan bulan.
Diceritakan bahwa matahari senantiasa mengejar-ngejar bulan, yang mengakibatkan
bulan semakin lama semakin menjadi kecil, sebenarnya, keduanya tidak dapat
dipisahkan. Oleh karenanya, kemudian bulan kembali mencari matahari dengan
akibat ia semakin lama semakin besar. Akhirnya keduanya bertemu dalam bulan
purnama,waktunya mereka mengadakan persetubuhan.
Mite
yang lain menceritakan, bahwa Tuwale (matahari) mencuri seorang gadis yang
bernama Rabie untuk dijadikan istrinya. Rabie kemudian menjadi bulan. Dari
perkawinan mereka lahirlah manusia.
Mite
yang lain lagi menceritakan bahwa Tuwele menciptakan manusia dari buah pisang.
Penjadian ini dilakukan di gunung Nunu saku. Dari buah pisang yang belum masak
terjadilah Mulua (artinya gadis) satene, kemudian memerintah atas manusia
pada zaman purba.
Di
seram ada mite mengenai tiga orang gadis ilahi, yaitu Mulua Rabie, seperti yang sudah dikemukakkan tadi, Mulua Satene, yang memerintah atas
manusia, dan Mulua Hainuwele.
c.
Mite Hainuwele
mite ini mengalami
banyak penyuntingan, tetapi dalam garis besarnya dapat dituturkan berikut ini.
Ada seorang laki-laki bernama Amete. Pada
suatu hari ia berburu dan berhasil membunuh seekor babi yang membawa sebuah
kelapa di taringnya. Di dalam mimpi, Amamate mendapat perintah supaya menanam
buah kelapa itu. perintah itu seera dilaksanakan. Sesudah tiga hari, dari
batang kelapa itu tumbuhlah sebatang pohon kelapa yang besar. Pada suatu hari
Amete memanjat pohon kelapa itu untuk mengambil tuak dan bunganya. Akam tetapi,
ketika ia mengambil tuak dari bunga itu jarinya teriris, sehingga darahnya
bercampur dengan tuak.dari campuran itu terciptalah seorang gadis kecil. Anak
it dibawa pulang dan diberi nama Hainuwele.
Gadis ini semakin lama
semakin besar.ternyata ia memiliki sidat-sifat yang aneh . kotoranya terdiri
dari piring-piring cina, kerang, gong, dan benda-benda yang berharga.
Demikianlah, Amete menjadi orang kaya. Orang-orang sekampung menjadi iri hati
kepada Amete. Mereka bermaksud membunuh Hainuwel. Hal itu direncanakan pada
kesempatan upacara tarian maro yang
suci.
Upacara tarian ini
berlangsung selama sembilan keluarga membentuk sembilan lingkaran.
Ditengah-tengah lingkaran itu berdirilah gadis-gadis sambil membagi-bagikan
sirih dan pinang kepada penari yang melingkarnya. Pada kesempatan ini Hanuwele
diminta untuk berdiri ditengah-tengah lingkaran. Pada malam yang kesembilan
para penari mendorong Hainuwele kedalam liang yang sudah dipersiapkan, lalu
mereka menutup liang itu dengan tanah, sambil menginjak-injak tanah itu dengan
loncatan-loncatan tarian.
Ketika upacara tarian moro sudah selesai, dan ternyata
Hainuwel belum pulang, tahulah Amete bahwa anak gadisnya di bunuh. Ia mencari
kuburan anak gadisnya ketika ditemukan, ia menggali kuburan itu. Tubuh anaknya
itu dipotong-potongnya menjadi banyak bagian dan dikubur disekitar tempat orang
menari tadi. Kedua tangan anak gadisnya dibawa menghadap kepada mulua satene,
yang pada waktu itu masih memerintah umat manusia.
Bagian tubuh yang
ditanam tadi tumbuh menjadi bermacam-macam tumbuh-tumbuhan yang pada waktu itu
belum ada, diantaranya menjadi ubi. Tumbuh-tumbuhan itu kemudian menjadi
makanan manusia.
Mulua satene sangat marah terhadap
orang-orang yang membunuh Hainuwele. Ia membuat sebuah pintu dalam bentuk
sembilan lingkaran. Ia duduk pada sebuah batang pohon yang berada di samping
pintu sambil memegang kedua tangan hainuwele. Pada sisi yang lain dari pintu
itu berkumpullah banyak orang. Malua Satene mengumumkan bahwa pada hari ini ia
akan meninggalkan mereka. Namun sebelumnya, orang-orang diperintahkan supaya
memasuki pintu yang dibuatnya untuk menghampiri dia. Barang siapa dapat melalui
pintu itu ia akan tetap menjadi manusia, sedang barang siapa yang tidak bisa
melewatinya akan terjadi sesuatu paa mereka. Semua orang mencoba memasuki pintu
lingkaran itu, tetapi tidak semuanya berhasil. Bagi yang tidak berhasil
melaluinya berubah menjadi binatang atau menjadi roh. Demikianlah sejak sat itu
ada babi, kijang, burung, ikan dan roh-roh yang mendiami bumi. Beberapa yang
berhasil melewati pintu itu tetap menjadi manusia dan dapat menghampiri Mulua
Satene.
Kemudian
pergilah Mulua Satene meninggalkan manusia. Manusia tidak akan melihatnya lag,
kecuali jika mereka mati. Sekalipun demikian, mereka harus menjalani perjalanan
yang berat sebelum mereka dapat
menghampiri Mulua Satene. Sejak saat itu Mulua Satene berdiam diri di Gunung
Salahua, tempat para nenek moyang.
Ketiga
gadis ilahi ini, yaitu Mulua Satene, Mulua Rabie, dan Mulua Hainuwele, agaknya
satu tokoh yang menampakkan diri dalam tiga aspek, ketiganya mengalami kematian
sebelum waktunya, tetapi mereka tetap hidup dengan cara yang sangat ajaib.
Mulua Hainuwele hidup sebagai kelapa dan palawija yang menjadi makanan manusia,
Mulua Rabie hidup sebagai bulan di langit dan sebagai istri matahari, sedangkan
Mulua Satene hidup sebagai yang memerintah kerajaan maut.
d.
Beberapa Upacara
Di seram terdapat suatu upacara
keagamaan yang tidak terdapat di bagian lain di Indonesia, tetapi sangat besar
artinya di seluruh kepulauan Osenia, yaitu upacara yang memasuki perserikatan kakean.
Arti
kata Kakean sudah tidak dikenal lagi. Perserikatan ini
merupakan perserikatan laki-laki yang sudah dewasa, yang berlaku di daerah tiga
sungai, Tala, Eti, dan Sopalawa, di Seram Barat. Semua laki-laki dewasa
dipersatukan didalam satu kesatuan persatuan sosial yang dipisahkan dari semua
orang yang tidak termasuk perserikatan itu memasuki perserikatan ini berarti
juga mendapat hak untuk ikut serta dalam perserikatan lain, yang disebut
perserikatan Samiri yang membuat
orang mendapatkan hak-hak warga desa.
Setiap orang boleh
masuk ke dalam perserikatan kekean, jika
ia sudah berumur dewasa. Sebelum memasuki perserikatan ini seseorang harus
terlebih dahulu melakuka upacara memindahka masa kanak-kanak ke masa dewasa,
yaitu upacara pesta cidako, ketika
anak laki-laki untuk pertama kali dikenakan sebuah ikat pinggang (cidako).
Pesta tersebut
berlangsung sebagai berikut. Pada waktu yang sudah ditentukan, anak-anak yang
akan memasuki kedewasaan diharuskan membawa calon pakaian dan perhiasannya
kepada kepala keluarga. Kemudian mereka dibawa kesebuah sungai untuk dimandikan
masing-masing di bawah bimbingan tiga orang pembimbing. Sesudah itu mereka
makan dan minum. Sesudah pwerut dan pinggang mereka di gosok oleh minyak
kanari. Kepada mereka dikenakan ikat pinggang yang diikatkan sangat erat hingga
menjepit. Kepada mereka juga dikenakan pakaian yang dihaisi dengan bulu burung nori, kerang, gelang, dan giring-giring.
Pada hari-hari
berikutnya ikat pinggang itu sedikit demi sedikit dilonggarkan oleh para
pembimbing, yang selama tiga sampai lima hari harus mendampingi anak-anak itu.
sesudah beberapa hari anak-anak itu dikembalikan ke kehidupan yang biasa.
Dengan demikian mereka meninggalkan masa kanak-kanak dan memasuki masa dewasa,
tahap “orang-orang yang membawa parang”.
Dengan upacara pesta cidoko, anak-anak itu memasuki
perserikatan pemuda yang disebut nongore,
semua anggota nongore mendapat
tugas untuk bersama-sama menangkap ikan, mengambil danar untuk kepentingan kepala
kampung, menjadi pengayuh jika kepala kampung berpergian, menari pada waktu pesta,
menabuh tambur, dan sebagainya.
Upacara perpindahan
dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ini juga berlaku bagi anak-anak perempuan,
sekalipun upacaranya Lebih sederhana. Anak-anak dara ini juga dimasukkan
kedala suatu perserikatan pemudi, yang disebut jojaro. Dibawah pimpinan
kepala jojaro, para pemudi diwajibkan bersama-sama ikut menerima tamu,
menari pada pesta-pesta tertentu dan sebagainya.
Pada saat-saat tertentu diusahakan agar para anggota
kedua perserikatan itu dapat bertemu didalam pergaulan yang disertai
upacara-upacara. Di seram barat dan tengah, orang sering mengadakan upacara
semacam darawisata bagi kedua kelompok itu,yang disebut makan petita
atau makan jagung. Semua pemuda-pemudi di kampung ikut serta dengan berpakaian
yang indah. Mereka bersama-sama menuju ke sungai. Mereka membeli lading jagung.
Para pemudanya harus membakar jagung, sedangkan para pemudi bermain-main. Jika
sudah selesai, mereka bersama-sama makan jagung sambil bersenda gurau. Dalam
kesempatan seperti itu mereka dapat menghabiskan seladang jagung. Sesudah itu
mereka bermain-main dengan air di sungai sambil memercik-mercikkan air dan
mandi bersama. Ada banyak upacara pergaulan lain yang
memberi kesempatan kepada para pemuda-pemudi untuk saling berhubungan.
Pergaulan mereka sering sangat bebas.
Tahap ini diakhiri dengan perkawinan. Siapa yang sudah
kawin tidak lagi diperkenankan menjadi anggota perserikatan-perserikatan ini.
Seperti yang
sudah dikemukakan, upacara pesta cidako adalah suatu upacara yang
mendahului upacara memasuki perserikatan kakean. Bagaimana tepatnya
hubungan antara kedua upacara ini kurang begitu jelas.
Mengenai
upacara memasuki perserikatan kakean itu dapat dipaparkan demikian.
Inisiatif pesta kakean berasal dari imam besar. Beberapa laki-laki
(mungkin dari beberapa kampung) dipanggilnya untuk diberi tugas memperbesar
balai desa, tempat akan diadakannya pesta itu, dan membangun atau memperbaiki
rumah kakean (tutui) yang ada di tengah hutan.
Rumah kakean adalah sebuah rumah yang besarnya
kira-kira 30x15 m dan memiliki satu pintu saja. Pintu itu disebut mulut
buaya. Di dalam rumah yang gelap ini tersimpan patung-patung atau
batu-batu, tengkorak, barang-barang suci warisan nenek moyang. Kadang- kadang
rumah ini hanya ditutup dengan oagar bambu kadang-kadang diberi rangkap, dengan
kebun diantaranya. Ada yang dibangun di atas tiang, ada yang di tanah.
Sesudah semua persiapan selesai, para pemuda
dipanggil. Mereka berkumpul di rumah imam besar dan berada di sana untuk
beberapa hari menunggu saat yang baik. Tubuh mereka diusap dengan kukurma, dan
setiap hari mereka dimandikan di sungai tertentu. Pada malam hari
diperdengarkan suara-suara yang menakutkan sebagai tanda bahwa roh jahat
datang. Para perempuan dan anak-anak dilarang keluar rumah. Para laki-laki
berpesta pora di balai desa.
Pada hari yang dipandang baik, para pemuda itu dibawa
ke rumah kakean, masing-masing didampingi dua orang pembimbing (masaloi),
dan diantar oleh perempuan. Sementara para perempuan berhenti di luar pagar,
para pemuda dengan pembimbing-pembimbingnya masuk ke rumah melalui mulut
buaya. Tidak berapa lama terdengarlah suara yang mengerikan dari dalam
rumah itu. Para pembimbing keluar dari rumah kakean, menunjukkan parang
yang berlumuran darah kepada para perempuan sebagai bukti bahwa para pemuda
tadi sudah dibunuh. Para perempuan kembali ke kampung dengan menangis.
Pada hari berikutnya para pembimbing datang ke
kampung, kotor dengan berlumuran lumpur. Mereka jatuh di dekat rumah imam besar
seolah-olah mati. Para perempuan datang menolongnya dengan menuangkan air
kepada mereka dan menari mengelilingi mereka hingga sadar kembali. Kemudian
mereka mandi dan memberitahukan kepada para perempuan agar tidak usah
mengkhawatirkan nasib para pemuda tadi.
Sesudah beberapa waktu (ada cerita yang mengatakan
tiga hari, ada yang mengatakan tiga bulan) para pemuda datang ke kampung dengan
terhuyung-huyung dan bertingkah laku aneh. Pada tubuh mereka ditatahkan tanda
hitam (tatouge). Mereka membawa tongkat di tangan yang digambari dan
dihias. Pemuda pemudi itu menuju rumah imam besar dan berada di sana kira-kira
dua hari. Di halaman rumah imam besar, diadakan pesta dengan banyak tari-tarian
dan music.
Sesudah itu para pemuda kembali ke rumah masing-masing
tetapi mereka masih bertingkah laku aneh, seolah-olah mereka bodoh dan
linglung. Oleh karena itu, mereka harus mempelajari segala sesuatu dari
permulaan lagi. Umpamanya mereka berjalan mundur, memegang segala sesuatu
dengan keliru, dan tidak berbicara tetapi memberi isyarat saja. Merupakan tugas
para pembimbing untuk membetulkan segala sesuatu. Karena pada saat ini para
pemuda masih dalam keadaan tabu, kepala mereka tidak boleh dijamah, rambut
mereka tidak boleh di sisir atau di gunting. Baru sesudah beberapa hari
kemudian mereka menjadi biasa kembali. Mereka menceritakan cerita-cerita aneh
yang dialami di dalam alam bawah.
Sesudah beberapa bulan, dalam keadaan masih tabu
pemuda-pemuda itu di bawa ke hutan lagi untuk mempelajari kecakapan-kecakapan
yang diperlukan bagi orang dewasa, umpamanya berburu. Mungkin juga untuk
pertama kali mereka turut mengayau.
Upacara ini ditutup dengan suatu rapat di hutan, tempat
pemuda-pemuda itu dibebaskan dari segala tabu.
Upacara ini
dapat dianggap sebagai sebagai suatu perpeloncoan atau suatu katekisasi untuk
masuk ke dalam hidup yang baru. Hakikat inisiasi ini dapat dikatakan sebagai
suatu kelahiran yang kedua kali untuk menjadi dewasa.Sudah ditemukan tadi bahwa
memasuki perserikatan kakean berarti juga mendapat hak untuk ikut serta
dalam perserikatan yang lain, yaitu perserikatan saniri,yang menjadikan
orang mendapatkan hak-hak warga desa.
Kata saniri merupakan suatu sebutan bagi suatu
rapat dan juga sebutan bagi suatu daerah tempat diadakan rapat. Ada tiga daerah
saniri yang letaknya bertepatan dengan daerah Sungai Tala, Eti dan
Sopalawa. Tiap-tiap saniri dapat mengadakan
rapat sendiri-sendiri. Akan tetapi di samping itu ada saniri umum yang
terdiri dari tiga saniri tersebut. Rapat saniri terakhir diadakan
pada tahun 1857, yang membicarakan tentang cara penggunaan hutan sego oleh
warga kampung. Tidak ada waktu tertentu untuk mengadakan rapat ini. tampaknya ada jarak
yang agak lama antara rapat yang satu dengan yang lain. Sedapat perserikatan kakean
yakni semua laki-laki yang sudah dewasa menghadiri rapat itu. Putusan rapat itu
mengikat bagi seluruh daerah saniri, umpamanya mengenai percekcokan,
mengatur hal-hal yang penting. Ketua rapat saniri agaknya identik dengan
imam besar dari perserikatan kakean. Sebab dalam praktiknya, kedua
lembaga ini mewujudkan suatu kesatuan. Rapat saniri mengurus tugas-tugas
politis dan kemasyarakatan, sedangkan perserikatan kakean mengurus
tugas-tugas kultus.
[1] Mahe merupakan lambang kesatuan komunitas selain merupakan
situs yang sakral atau tempat melakukan upacara adat. Kerapkali mahe ditandai
oleh batubatu besar, megalit atau altar batu untuk upacara. Mahe Wai Brama dipandang
sebagai ‘ibu’ dari segala mahe dan mempersatukan komunitas Tana Ai. Mahe Tana
adalah situs sakral untuk memohon berkat bagi mereka yang hidup di atas tanah.
Mahe Nuhu adalah situs sakral untuk memperingati peperangan.
untuk merujuk
masyarakat adat dan tanahnya.
[3] Ejaan Wai, Wair dan
Waer tampak bisa ditukar-pakai dalam penamaan tempat. Istilah ini merujuk pada
suatu sungai atau sumber air tawar.
[5] Masyarakat adat
sangat percaya bahwa tempat-tempat yang digambarkan dalam cerita tradisional
masih dapat dikenali melalui tanda-tanda alamiah serta masih memiliki nama yang
sama yang menunjukkan hak-hak ulayat mereka atas kawasan tersebut sebagaimana
dijelaskan dalam legenda.
[7]
Legenda ini dikenal
sebagai Talibura Wua Bahang.
[8]
Pedan
adalah kependekan dari Soge Pedan Tana Gere yang artinya tanah yang
telah ditandai dengan pedang.
[9]
Peristiwa
ini disebut Mula Nuba Nipar. Kata nuba berarti tempat sakral untuk
menyampaikan menyampaikan syukur.
[10]
Hulu Hilek berarti ‘nenek
moyang’.
ua uma kare tua. Watu = batu.
Utang Wair (Nanga = kampung; nuba = tempat suci).
lontar kami.
tempat ritual pertama. Nama lain
Mula Mahe adalah Maha Tana yaitu tempat
penyelenggaraan ritual untuk
memohon ijin kepada para arwah sebelum mulai
bertanam.
di bab ini), hutan lindung
semacam ini disebut ope dun kare dunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar