Rabu, 01 Juni 2016

Kearifan Lokal Suku-Suku di Indonesia

Dosen: Siti Nadroh, MA
Profil Blogger
Nama:  1. Windi Anisa Dhiya           11140321000058
            2. Afida Maulia Sabarini      11140321000052
            3. Nur Shabrina                  11140321000083

1. Abui, kabupaten Alor

1.1 Profil Suku Abui di Kabupaten Alor

          A.    Letak Geografis
Sumber : Emergency and Humanitarian Action South East Asia Region : World Health Organization, Earthquake Situation Report 18 November 2004, www. Updates_on_Earthquake_18nov04 earthquake_sit_rep-Alor[1].

Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9 pulau yang telah dihuni dan 6 pulau lainnya belum atau tidak berpenghuni. Luas wilayah daratan 2.864,64 km², luas wilayah perairan 10.773,62 km² dan panjang garis pantai 287,1 km1. Secara geografis daerah ini terletak di bagian utara dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 8º6’LS - 8º36’ LS dan 123º48’ BT - 125º48’ BT. Batas alam Kabupaten Alor disebelah utara dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombay, sebelah timur dengan Selat Wetar dan perairan Republik Demokratik Timor Leste dan sebelah barat dengan Selat Alor (Kabupaten Lembata).
Pulau Alor merupakan bagian dari Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sekitar 260 km dari Kupang (Ibu Kota Provinsi NTT), 360 km dari Ende (Flores), dan 1600 km sebelah Timur Ibu Kota Jakarta. Lokasi ini bisa dicapai dengan menggunakan kapal boat dari Kupang selama sekitar 8 jam atau 55 menit dengan menggunakan pesawat udara melalui Bandara Mali.
Suku Abui, mendiami wilayah Likuwatang, Malaikawata, Kelaisi, Tafuikadeli, Atimelangdan Motang. Suku Abui mereka merupakan penduduk asli wilayah ini. Pemukiman utama suku Abui adalah di desa Takpala.
B.     Asal-Usul Suku Abui
Kampung tradisional Takpala adalah sebuah pemukiman adat yang berlokasi di Desa Lembur Barat kecamatan Alor Barat Laut, kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat Alor pada awalnya di bentuk berdasarkan keluarga inti yang menetap berpisah-pisah namun ada pula yang menetap di suatu tempat bersama dan membentuk klan yang tidak lain merupakan perluasan dari keluarga inti. Klan adalah kesatuan geneologis yang menetap di suatu tempat tinggal dan menunjukkan adanya integrasi sosial serta merupakan kelompok kekerabatan yang besar. Dalam tradisi masyarakat Alor, pembentukkan klan di dasarkan dari garis keturunan ayah dan masing-masing menetap di suatu rumah adat panggung yang berbentuk seperti piramida.
                                                                  Sumber: www.alorkab.co.id
                                                                  Sumber: www.alorkab.co.id
Menurut kepercayaan lokal, suku Abui adalah suatu pendiri kerajaan tertua di Alor yang dibangun di pedalaman pegunungan Alor yaitu kerajaan Abui. Masyarakat suku Abui dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu suku kapitang atau suku perang dan suku aweni yang terdiri dari kaun raja/bangsawan, dan suku marang. Dalam cerita rakyat masyarakat suku Abui, menceritakan dahulunya terdapat 2 buah kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di kabupaten Alor, yaitu Kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan Kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang Magic.
Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling menghancurkan. Kerajaan Munaseli mengirim lebah ke Kerajaan Abui, sebaliknya Kerajaan Abui mengirim angin topan dan api ke Kerajaan Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Kerajaan Abui. Kerajaan berikutnya yang berdiri adalah Kerajaan Pandai yang terletak dekat Kerajaan Munaseli, dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Kerajaan Munaseli dan Kerajaan Pandai yang bertetangga, akhirnya juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan Munaseli meminta bantuan kepada raja Kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya mereka pun telah kalah perang melawan Abui. Menurut penuturan rakyat setempat, tengkorak Raja Abui, saat ini masih tersimpan di dalam sebuah goa di Mataru. 
Suku Abui sendiri yang menghuni desa Takpala adalah suku terbesar yang mendiami pulau Alor. Terkadang mereka biasa disebut juga sebagai "Tak Abui", yang berarti "gunung besar". Meski warga penduduk yang mendiami desa Takpala ini hanya puluhan orang, tapi sebenarnya penduduk Abui telah tersebar dalam jumlah ribuan orang. Masyarakat suku Abui dikenal begitu bersahaja dan sangat ramah terhadap pendatang. Orang Abui berbicara dalam bahasa Abui. Bahasa Abui merupakan bahasa utama di pulau Alor.

1.2  Mitologi Suku Abui

Pada umumnya, religi suku Alor ada yang memuja Upolero (Kakek-Matahari) dan Upunusa (Nenek-Bumi) sebagi tokoh-tokoh illahi yang tertinggi. Keduanya dianggap sebagai penjelmaan asas laki-laki dan perempuan. Ada pula yang menggap bahwa di atas Upolero dan Upunusa masih ada tokoh yang lebih tinggi, yaitu It Matroomi (Tuhan kita). Dia adalah sumber dari segala yang ada di dunia ini. Ia memerintah atas manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dialah yang mengemudikan segala sesuatu sejak kekal. Perwujudan tokoh ini ialah tidak di kenal orang. Ia berdiam di langit yang tinggi. Oleh karenanya ia melihat segala sesuatu. Upolero (dewa matahari) adalah pembantunya yang melaksanakan segala perintahnya. Upolero ini bergantung secara mutlak kepadanya, dan berfungsi sebagai perantara antara manusia dan It Matroomi. Segala doa ditunjukkan kepada Upolero sebab orang tak berani  mengganggu dewa tertinggi itu dengan doa-doa.
Di banyak tempat, matahari atau dewa matahari dianggap sebagai asas laki-laki, sedangkan bumi atau dewi bumi dianggap sebagai asas perempuan. Keduanya saling berhubungan sebagai suami isteri. Perkawinan keduanya menghasilkan hujan, yang dianggap sebagai benih yang dibuahi dan yang menyebabkan segala sesuatu dilahirkan.

1.3  Ritual dan Upacara Keagamaan Suku Abui

            A.    Pesta Porka
 Oleh beberapa suku, pesta ini diadakan setahun sekali pada waktu musim kemarau, tetapi oleh suku yang lain pesta ini diadakan sekali dalam tujuh tahun. Biasanya pesta ini berjalan selama sebulan. Di tempat perayaan, biasanya di bawah pohon beringin, didirikan sebuah kuil porka dengan sebuah bendera porka yang panjangnya kira-kira 1,5 meter dalam bentuk kelamin laki-laki yang tegang, atau pada bendera itu dilukiskan kelamin laki-laki yang besar.
Pada waktu yang sudah ditentukan, semua laki-laki dan perempuan dari desa itu menuju tempat perayaan. Dengan mempersembahkan banyak korban dan dengan melakukan banyak upacara, para imam memanjatkan kepada Upolero untuk menyuburkan manusia, binatang, dan bumi. Ada banyak binatang yang di korbankan, umpamanya kerbau, kambing, domba dan babi. Dahulu juga ada banyak budak-budak yang di korbankan, tetapi kemudian diganti dengan buah kelapa.
Laki-laki dan perempuan menggambarkan pesta itu dengan menari dan bermain, yaitu pesta kesuburan. Umpamanya sebuah rotan yang panjang ditarik sekelompok laki-laki pada ujung yang satu sedangkan ujung yang lain ditarik sekelompok perempuan. Sambil tarik menarik mereka menirukan gerakan bersetubuh. Mereka yakin bahwa Upolero akan turun pada pohon beringin itu untuk membuahi Upunusa. Orang-orang menantikan saat-saat itu dan ikut ambil bagian dari kenikmatan persetubuhan di alam terbuka, tempat yang bebas bagi mereka untuk bersetubuh dengan siapa saja yang dikehendaki.
            B.     Upacara Perkawinan
Prinsip hubungan keturunan suku Alor biasanya bersifat patrilineal. Keluarga ini disebut kukkus. Gabungan dari beberapa kukkus menjadi klen kecil yang disebut bala. Gabungan dari beberapa bala menjadi klen besar yang disebut laing. Dalam perkawinannya orang Alor menganut adat eksogami klen. Pihak laki-laki wajib membayar sejumlah belis (maskawin) secara kontan kepada pihak pemberi wanita. Belis tersebut dapat terdiri atas sejumlah uang, gong, selimut (sejenis ikat pinggang) dan moko (sejenis genderang untuk mengiringi upacara). Selain itu perkawinan dapat pula terjadi tanpa harus membayar belis secara kontan, untuk itu si suami harus mengabdi beberapa lama untuk lingkungan asal isterinya. Ada pula yang disebut perkawinan tukar gadis, dimana laki-laki yang tidak mampu membayar belis menyerahkan saudara perempuannya untuk dikawini pula oleh laki-laki pihak keluarga asal isterinya. Jalan pintas yang ditempuh seorang laki-laki untuk menghindari semua kewajiban belis tersebut biasanya dengan melarikan si gadis. Namun tetap ada sanksinya.
            C.    Tarian Lego-Lego
Ritual dan dukungan sosial tersebut tertampak dalam tarian Lego-lego yang wajib dilakukan, selama, sebelum dan pembangunan rumah adat.   Bagi orang-orang suku Abui, tari Lego-lego merupakan lambang kekuatan dan persaudaraan. Para penari Lego-lego terdiri dari pria dan wanita mulai mengumandangkan lagu dan pantun dalam bahasa Abui. Tabuhan gong dan gemerincing gelang-gelang kaki yang dipakai ibu-ibu menambah atmosfer ritual semakin semarak.   Rumah adat suku Abui harus menghadap ke ruang umum, di tengah-tengah ruang publik tersebut telah ditempatkan batu Mesbah yang menjadi sentra kehidupan suku Abui.
Setiap pintu rumah harus menghadap Mesbah atau Mesang sehingga tata letak rumah-rumah di pemukiman masyarakat Takpala terlihat berjajar melingkar.  Dalam hal ini, Mesang berfungsi sebagai sarana komunikasi atau kontak sosial dalam bermasyarakat di suku Abui. Pelataran Mesang berbentuk oval dengan diameter memanjang sejauh 12 meter. Di tengah-tengah Mesang inilah ditempatkan Mesbah yang berupa tumpukan batu yang berfungsi sebagai pusat.   Antara Mesang dan Mesbah memang memiliki hubungan yang kuat bagi masyarakat suku Abui. Dua perangkat budaya ini menjadi sebuah simbol persekutuan serta pusat pembentukan mental dan spiritualitas yang beradab. Ukuran Mesbah bervariasi, seperti di Takpala memiliki ukuran tinggi 70 cm dan berdiameter 185cm.  Tradisi mengeramatkan Mesbah sebenarnya tidak hanya berlaku di Takpala saja, melainkan dikenal juga di beberapa tempat atau suku lain yang ada di Kabupaten Alor. Meskipun penduduk Alor sudah banyak yang memeluk agama Islam, namun peran Mesbah seolah-olah tidak tergantikan dan masih disucikan sebagai sarana mediasi antara manusia dengan arwah nenek moyang.  
                                                         Sumber: www.alorkab.co.id
            D.    Rumah Adat
Rumah adat suku Abui, berupa rumah panggung dan berbentuk seperti piramida. Rumah adat suku Abui di Takpala bernama Lopo, yang terdiri 2, yaitu:
·         Kolwat, yang mempunyai arti perempuan,
·         Kanuarwat, yang mempunyai arti laki-laki.
Rumah adat suku Abui yang bernama Lopo ini sangat unik, karena merupakan satu-satunya rumah adat di dunia ini yang bertingkat 4. Dimana setiap tingkat memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
·         lantai 1, adalah tempat rapat,
·         lantai 2, tempat tidur dan masak,
·         lantai 3 tempat menyimpan makanan,
·         lantai 4 untuk menyimpan barang-barang pusaka yang akan dipakai jika ada kegiataan adat.
Lopo, atau Rumah Adat suku Abui, berbentuk limas, bangunan kayu beratap ilalang berdinding bambu. Lopo terdiri dari 4 tingkat, biasanya dihuni oleh 13 kepala keluarga. Ada dua jenis rumah Lopo, yakni Kolwat dan Kanuarwat. Rumah Kolwat terbuka untuk umum, siapapun boleh masuk termasuk anak-anak dan perempuan. Sedangkan Rumah Kanuarwat hanya boleh dimasuki kalangan tertentu. Anak-anak dan perempuan dilarang keras memasuki rumah Kanuruat, jika dilanggar akan menimbulkan penyakit di mana proses penyembuhannya harus dilakukan dengan upacara adat. Selain Rumah Lopo, ada 2 lagi bangunan tradisional suku Abui, yaitu:
·         Polapoka, rumah yang dijadikan sebagai gudang penyimpanan bahan makanan,
·         Tofa, yang digunakan untuk beristirahat setelah pulang dari kebun atau berburu, yang berbentuk rumah panggung, namun di bagian bawahnya ada tempat tambahan. Di rumah Tofa in laki-laki dan perempuan tidur secara terpisah. Perempuan di bagian atas dan laki-laki di bagian bawah.

1.4 Kondisi Sosial dan Budaya

Di kabupaten Alor terdapat aneka ragam bahasa lokal (19 etnolinguistik) dan kesenian tradisional, upacara adat dan kearifan lokal. Secara linguistik Alor memang bermacam-macam. Sebuah survay terkini yang dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Universitas Leiden – Belanda, menunjukan bahwa di Kepulauan Alor terdapat kira-kira 14 bahasa daerah. Kebanyakan dari bahasa-bahasa tersebut berhubungan dengan bahasa-bahasa Papua, kecuali bahasa yang dipakai oleh beberapa komunitas nelayan di daerah pesisir yang umumnya diakui sebagai bahasa Alor, bahasa yang memiliki hubungan dengan bahasa Lamaholot, salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang dipakai di Flores timur.

1.5 Kondisi Ekonomi

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Alor ialah dari pertanian dan perikanan skala kecil. Selain itu masih ada penduduk yang hidup dari ladang atau kebun secara berpindah-pindah (nomaden) namun dengan cara membabat hutan belukar. Dengan jumlah populasi pensusuk sekitar 168.965 orang. Penduduk Alor sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Konfigurasi wilayah daratan Kabupaten Alor yang bergunung dan berbukit memberikan iklim yang variatif bagi pengembangan aneka komiditi pertanan. Tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, dan peternakan. Sedangkan sebagai wilayah kepulauan dengan perairan yang luas dan kaya berbagai jenis ikan dan hasil laut non ikan serta taman laut yang indah. Adapun potensi wilayah dan keanekaan komoditi adalah sebagai berikut:
a.       Kehutanan dan perkebunan: seedlack asam, kenari, sirih hutan, kayu manis, mahoni, cendana, kemiri, kelapa, cengkeh, vanili, kopi, kakao dan lada. Perikanan dan Kelautan: berbagai jenis ikan seperti kerapu, cucut, kakap, teri, tenggiri, tuna, tongkol dll. serta non ikan antara lain mutiara, rumput laut, teripang, ubur-ubur serta berbagai jenis kerang dan taman laut.
b.      Pertanian dan Perternakan : padi ladang, jagung, palawija, mangga, jeruk, pisang. Peternakan sapi, kambing, babi, rusa. Saat ini sedang dikembangkan penangkaran rusa yang didukung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten.
c.       Industri dan kerajinan rakyat: kerajinan tenun ikat, tenun songket, meubel bambu, anyaman bambu dan daun lontar, batu bata dan gerabah. Pertambangan dan energi: batu berwarna, pasir besi, emas, timah, intan, gips dll. Sektor pertanian masih mendominasi struktur perekonomian Kabupaten Alor. Meskipun demikian, kontribusi dari sektor pertanian untuk perekonomian daerah ini masih relatif kecil. Banyak pola pertanian yang merupakan pertanian tradisional di mana hasil pertanian lebih banyak dipakai sendiri. Aspek-aspek lainnya adalah harga-harga pasar yang sangat rendah, kurangnya infrastruktur dan kurangnya pengetahuan tentang teknik pertanian. Tetapi pemerintah daerah sedang mencoba meningkatkan infrastruktur dan pemakaian alat-alat pertanian guna meningkatkan perekonomian daerah dengan LSM-LSM asing sebagai mitranya. Komoditas perdagangan yang baru dan teknik-teknik pertanian sedang diperkenalkan dan beberapa di antaranya telah berhasil dengan baik, contohnya Desa Apui terkenal sebagai penghasil vanili berkualitas tinggi. Lambat tapi pasti Alor mendapat tempat di pasar regional dan internasional. Hasil-hasil seperti kunyit, ganggang laut, asam, kemiri, pinang, kopi, cendana dibawa ke pelabuhan-pelabuhan di seluruh Indonesia. Contoh-contoh hasil alam Alor yang ada di pasar internasional adalah kerikil berwarna, vanili, mutiara dan seedlack.

1.6 Kondisi Pendidikan

Sampai dengan saat ini pendidikan di Kabupaten Alor belum cukup baik antara lain di tunjukkan oleh pencapaian indikator kinerja yang masih rendah. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2002 mencapai 7,0 tahun6. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas pada tahun 2004 mencapai 93,41 persen. Namun demikian angka melek aksara penduduk usia muda (15-24 tahun) sudah mencapai 98,15 persen. Angka partisipasi sekolah untuk kelompok usia 7-12 tahun mencapai 92,71 persen dan untuk kelompok usia 13-15 tahun mencapai 79,17 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan dari 100 anak usia 7-12 tahun masih ada 7-8 anak yang tidak sekolah dan dari 100 anak usia 13-15 tahun masih terdapat 21 anak yang tidak sekolah.
Video ini diambil dari https://www.youtube.com dalam video ini diceritakan tentang asal-usul suku Abui, tarian lego-lego, alat musik moko yang terbuat dari perunggu yang biasa dipakai sebagai belis (mas kawin).

2. Suku di Tana Ai, Flores

  1.      Profil Suku-Suku di Tana Ai, Flores
A.    Letak Geografis

Secara administratif Tana Ai saat ini berada di wilayah timur kabupaten Sikka di Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.Namun,beberapa abad yang lalu, Tana Ai mencakup wilayah tengah dantimur pulau Flores. Sikka Tengah lalu dikuasai oleh seorang sultan setempat (raja), sedangkan bagian timur masih tetap merupakan kesatuan wilayah adat yang cukup longgar. Masing-masing memiliki situs upacara penting (mahe)[1] . Ratusan komunitas (natar) yang tinggal di daerah itu masih memiliki ikatan budaya dan sejarah yang kuat, termasuk ikatan dengan ibu pertiwi, yang merupakan salah satu arti dari kata Tana Ai.[2]
Kampung-kampung adat tetangganya adalah Utang Wair dan Likong Gete berjarak sekitar 34 km di timur Maumere, ibukota kabupaten Sikka. Secara resmi keduanya kini menjadi bagian kampung Nangahale di kecamatan Talibura4. Wilayah ini dianggap sebagai kawasan pantai, akan tetapi tanah adat masyarakat – yang secara total mencakup wilayah 2000 hektare – mencakup wilayah pegunungan yang luas. Wilayah adat Utang Wair dibatasi oleh Le Watu Bain Wair Kolon (di kampung Talibura) di sebelah timur; Wawa Wair Hekang (di kampung Wair Terang) di sebelah barat; Laut Flores di sebelah utara; dan Reta Gele Bihat di sebelah selatan. Wilayah adat Likong Gete dibatasi oleh sungai Waer Hek (di kampung Natar) di sebelah timur; sungai Patiahu (di kampung Runut) di sebelah barat; Laut Flores di sebelah utara; dan Tana Beta Beegawan (kampung Runut)di sebelah selatan.[3]
Jumlah total penduduk Utang Wair dan Likong Gede adalah sekitar 800 keluarga atau 3000 orang. Sekitar 80% anggota masyarakat adat mampu melacak asal-usul mereka hingga ke asal muasal kampung. Mereka bertahan hidup dari bercocok tanam. Kaum pendatang (20 persen dari anggota komunitas yang disebut Pahar) sebagian besar berasal dari Buton dan Bugis yang mengandalkan kehidupan sebagai nelayan. Tanaman pangan masyarakat adalah padi, jagung, singkong, kacang-kacangan termasuk kacang tanah, tebu dan nanas. Komoditas wanatani lainnya adalah pisang, mangga, nangka, coklat, jambu monyet (kacang mede), kemiri, mahoni, kayu jati, pohon lontar dan bambu.[4]
B.     Asal Usul
Walaupun masyarakat adat Utang Wair dan Likong Gete tinggal berdekatan dan banyak berasal dari suku yang sama, legenda asal-usul tentang sejarah tanah adat mereka berbeda.[5] Namun, sebagaimana dijelaskan berikut ini, mereka memiliki kemiripan kelembagaan dan kearifan tradisional serta kesamaan dalam sistem tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Kedua kampung adat ini merupakan bagian dari komunitas besar Natar Mage di dalam wilayah Tana Ai.[6]
Ø  Utang Wair
Menurut cerita rakyat, orang yang pertama menempati wilayah Natar Mage adalah Moang Sugi dan Dua Sao bersama-sama dengan rombongan 15 suku, yaitu : Soge, Liwu Jawa, Liwu Urung, Liwu Anak, Liwu Tana, Liwu, Liwu Kubang Bura, Watu, Lewar, Lewuk, Ipir, Dewa, Dewa Lewuk, Mage, dan Mau. Moang Sugi dan Dua Sao ini menurut hikayat berasal dari tanah Malaka. Dalam pelayaran ke timur dari tanah Malaka terdampar di pantai Talibura.[7] Keduanya beristirahat di Talibura karena merasa lapar dan haus. Mereka kemudian mengeringkan air laut dan menggali di sekitar pantai itu untuk mendapatkan air tawar.
Daerah itu dikenal dengan nama Wair Kolong. Lalu Moang Sugi dan Dua Sao melanjutkan perjalanannya ke Pedan. Di tempat itu mereka mendapatkan lokasi tanah untuk bercocok tanam dan langsung memberikan tanda dengan menggunakan parang kelewang (pedan) yang ditancapkan di kali.[8] Dari Pedan mereka meneruskan perjalanan ke Sao Wair, yang dinamakan demikian karena mereka menggali-gali pasir di pantai sampai mendapatkan air untuk menghapus dahaga. Di sini mereka tidak bertahan lama dan meneruskan perjalanannya sampai ke Nanga Hale di mana mereka membuat tempat ritual adat.[9] Hingga sekarang tempat ini masih menjadi tempat untuk melakukan upacara mendatangkan hujan (uran wair) dan untuk membuat ritual adat lainnya. Ritual-ritual ini disebut dengan upacara Pat Ea. Menurut kisah, karena kedua tokoh ini tertarik dengan air sungai yang berkilat, maka mereka kemudian menamakan Sungai Nanga Hale dengan Hulu Hilek.[10] Setelah itu mereka lanjutkan perjalanan ke Wair Hek Krada Wara, yang dinamakan demikian karena permukaan air yang selalu berubah. Tidak lama di sana Moang Sugi dan Dua Sao kembali ke Likong Gete, yang dalam legenda diceritakan sebagai tempat yang indah laut dan gunungnya. Tempat tersebut diberi nama Likong Gete Wan Rua yang artinya di Likong Gete terdapat pertemuan dua buah mulut sungai yang besar, yaitu Nanga Tahi dan Nanga Wair. Tempat lain dengan nama yang mengingatkan pada legenda nenek moyang adalah Mage Layar atau Layar Sewa Lian, artinya layar yang terdampar di darat dari perahu yang hancur terhempas di karang. Moang Sugi dan Dua Sao mulai berkebun dan membangun rumah di Lirih Watu. Dinamakan Lirih Watu karena mereka membangun rumah dengan menggunakan tiang-tiang dari batu.[11]
Di tempat ini pula Moang Sugi dan Dua Sao mulai membagi-bagi tanah dan memberikan hak untuk mengelola wilayah-wilayah kekuasaan kepada kelima belas suku yang ikut dengan mereka. Suku Soge mendapat hak untuk mengurus wilayah Nuba Nanga dan mendapat tanggung jawab untuk menjaga tempat-tempat suci.[12] Sejak saat itu juga kelima belas suku tersebut mulai menyebar ke mana-mana. Setelah selesai membagi dan memberikan kuasa untuk mengelola dan mengawasi tanah di tempat itu, Moang Sugi dan Dua Sao melanjutkan perjalanann ke Ledu Labang, daerah yang terletak di bagian barat Natar Mage. Di tempat baru ini mereka mulai menetap.
Mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman. Ketika hasil pertanian mulai berkurang mereka kemudian berpindah ke arah timur, yang sekarang merupakan kampung Natar Mage. Di sini mereka membuka lahan pertanian baru dan memperoleh hasil yang berlimpah. Di tempat sakral mereka melukiskannya dengan kata-kata: Sugi Sao Saro Welin Wai Duu Welin Inan, Ua Uma Di Hiin, Kare Tua Di Dolo, Mula Wua Plehok Mahe, Litin Gi’it, Ler Mangan.[13] Semboyan ini menunjukan bahwa Moang Sugi dan Dua Sao adalah orang-orang pertama yang berhasil membuka hutan menjadikannya sebagai lahan pertanian dengan hasil yang berlimpah. Itulah sebabnya seluruh masyarakat adat Natar Mage, termasuk orang Utang Wair, menghormati Moang Sugi dan Dua Sao sebagai leluhur mereka. Hal ini juga menjelaskan makna khusus Nuba Nanga bagi masyarakat adat dan tanah leluhur mereka serta peran Utang Wair dalam menjaganya dan daerah-daerah sakral lainnya. Setelah berkembang menjadi satu perkampungan, Moang Sugi dan Dua Sao memberi nama kampung itu Natar Mage, yang berarti Kampung Asam karena ada sebuah pohon asam yang sangat rendah di bagian utara kampung Natar Mage. Sampai sekarang pohon itu masih ada dan dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Ø  Likong Gete
Ada dua versi legenda penguasaan wilayah oleh masyarakat adat Likong Gete. Menurut versi pertama, manusia penghuni pertama adalah Moang Krai Soge dan Moang Sugi Sao yang berasal dari ‘Tana Malaka’. Perahu layar yang mereka gunakan merantau terdampar di pantai Nanga Hale. Di sana mereka tinggal untuk
sementara waktu. Di Nanga Hale ini mereka membuat suatu tempat upacara adat dengan cara menanam.[14] Hal ini juga menandakan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. Sesudah itu Moang Krai Soge dan Moang Sugi Sao melanjutkan perjalanan ke Wair Hek. Mereka juga membuattempat ritual adat di sana yang disebut Mula Nuba Wair Hek. Nama tersebut berkaitan dengan kisah seorang bapak yang jatuh dan tewas tenggelam di kali. Kedua leluhur tersebut lalu melanjutkan perjalanan ke Ledu Labang, di sebelah barat Natar Mage.
Mereka membuka hutan untuk dijadikan kebun dan membangun rumah untuk menetap. Namun, dalam perkembangan selanjutnya Moang Krai Soge dan Moang Sugi Sao mulai merencanakan untuk menguasai tanah secara sendiri-sendiri dan akhirnya mereka bersepakat untuk membagi wilayah kekuasaan. Kesepakatan yang diambil adalah Moang Sugi Sao tetap menguasai wilayah adat Natar Mage mulai dari gunung sampai di laut, sedangkan wilayah bagian barat (Tanah Runut) dikuasai oleh Moang Krai Soge dari gunung sampai di pantai, termasuk wilayah Likong Gete sekarang. Moang Krai Soge kemudian pergi ke barat dan menetap di Mage Heni. Pada masa kerajaan-kerajaan kecil berkuasa di Sikka, penguasa pernah membakar kampung Mage Heni sampai habis.
Masyarakat kemudian memberi nama baru, yaitu Natar Holon, bagi kampung yang dibangun kembali di tempat yang sama itu. Moang Krai Soge kemudian beranak pinak dan menurunkan Suku Soge. Dalam perkembangan selanjutnya, di sana masuk lagi beberapa suku yang lain yaitu Liwu Urung, Liwu Jawa, Liwu Anak dan Lewar. Versi kedua kisah leluhur ini menyebutkan bahwa orang pertama yang menetap di Tanah Runut bagian barat adalah suku Goban. Mereka berasal dari Tana Malaka yang berlayar dan terdampar di Dobo. Dalam sastra lisan dilukiskan dengan Dobo Dorak Nata Hulu Watu Woga Tele Goleng, yang artinya perahu suku Goban terdampar di tempat tinggi. Dari ketinggian itu mereka bisa melihat sekeliling lalu mereka memilih melanjutkan perjalanan ke timur. Mereka berjalan kaki dan tiba di pantai Hito Halok, tempat menetap untuk sementara dan membuat rumah di sana, sebelum mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga tiba di Watu Gete. Tempat ini kemudian menjadi kampung pertama di Runut. Di tempat inilah orang Goban membuka hutan dan berkebun serta membangun rumah. Beberapa suku lain kemudian bergabung, seperti orang Watu, Liwu Jawa, Liwu Urung, Liwu Anak, Soge Laka, Soge Rutak dan Kali Raga. Suku Goban kemudian memberi mandat kepada orang Watu untuk membangun tempat upacara yang disebut Gren Mahe. Sejak itu orang-orang Goban menyebar sampai ke Likong Gete.
2.      Mitologi Suku di Tana Ai, Flores
 Di Flores Barat suku riung memiliki  mite penjadian yang lebih sederhana. Diceritakan bahwa mula-mula ada seorang perempuan yang bernama Te’ze. Ia ada dengan sendirinya tanpa ada yang menjadikannya. Ia juga berkuasa dari dirinya sendiri. Ia menyebabkan segala sesuatu itu ada. Te’ze berdiam diatas batu kara, diatas batu itu tumbuhlah sebatang pohon yang berkuasa. Ketika Te’ze sedang tidur dibawah pohon itu sekuntum bunga yang dihembus angin jatuh diatasnya dan membuahinya. Te’ze mengandung dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Lena. Ketika anak itu sudah dewasa kawinlah ia dengan ibunya. Dari perkawinan itu lahirlah banyak keturunan. Mula-mula langit dan bumi masih terikat satu sama lain oleh tumbuh-tumbuhan yang menjalar. Tetapi kemudian tumbuh-tumbuhan yang menjalar itu digigit oleh seekor anjing hingga putus. Akibatnya langit menjauh dari bumi.
Lena dan Te’ze membuka ladang dengan memotong pohon-pohonan dan membakar semak serta duri. Akan tetapi ladang itu tak menghasilkan apa-apa. Pada suatu hari Lena mengajak dua orang anaknya yaitu Rakau dan Ruat keladang. Setibanya di ladang kedua anak itu dibunuh. Darah mereka dipercikkan ke seluruh ladang sedangkan daging dan tulang mereka dihancurkan dan disebarkan diladang itu. Karena perbuatan ini ladang itu menghasilkan palawija.
            Mite penjadian suku manggarai diceritakan bahwa sesudah Mori Keraeng mejadikan dunia ini, iapun menjadikan matahari, bulan dan langit. Langit dan bumi diikat oleh sejenis pohon rotan. Sesuda beberapa lama tumbuhlah serumun bambu yang mengandung laki-laki dan perempuan. Kemudian bambu itu pecah dan keluarlah kedua manusia tadi. Rumpun bambu itu dipotong-potong untuk dijadikan rumah sebagai tempat tinggal. Dari perkawinaan kedua orang itu lahirlah kedua orang anak laki-laki dan perempuan demikian manusia berkembang biak karena sinar matahari terlalu panas orang-orang belum berani keluar dari rumah.
Di Flores Tengah ada juga mite penjadian yang menceritakan bahwa mula-mula tana-ekan (Bumi) penuh dengan air. Kemudian Lera-Wulan memerintahkan air supaya surut. Dengan demikian tanah ekan muncul dari perumahan air. Dibumi inilah manusia pertama dijadikan, yaitu Sem dan Ma. Kedua orang ini menurunkan semua umat manusia.
3.      Keyakinan Terhadap Dewa
Bagi suku manggarai, tokoh dewa yang tinggi disebut Mori Karaeng. Agaknya sebutan ini bukan sebutan yang asli, melainkan sebutan yang dijabarkan dari bahasa bugis ( Mori berarti tuhan, da Kareng berarti raja atau tuhan, sehingga Mori Karaeng berarti Tuhan segala Raja atau tuhan segala tuhan).
Tokoh Dewa ini dipandang sebagai pencipta yang menjadikan segala sesuatu. Ia maha kuasa dan berada dimana-mana. Mori karaeng juga dipandang sebagai pelindung dan pemelihara manusia dengan penuh kasih sayang. Demikianlah dewa ini adalah atas hidup dan mati.
Sebutan Mori Karaeng adalah sebutan sehari-hari bagi tokoh dewa tertinggi ini. Orang sama sekali tidak takut untuk menyebut nama ini. Setiap saat nama ini dapat didengar. Kadang-kadang orang takut menyebunya, yaitu jika ada penyakit dan sebagainya. Anehnya, nama ini tidak terdapat dalam doa-doa sajian yang bersifat umum, yang diucapkan para imam. Baik saat-saat ada penyakit maupun doa-doa sajian, tokoh dewa tertinggi ini disebut dengan sebutan lain, umpamanya Bapak atas-Ibu bawah, atau Bapa-Ibu, atau Lelaki atas-Perempuan bawah, atau Langit atas-Bumi bawah, atau Matahari-Bulan. Karena sebutan ini juga terdapat di flores tengah dan flores timur, dan juga dipulau-pulau yang lain, maka tidak salah jika dikatakan bahwa sebutan-sebutan inilah yang sebenarnya mewujudkan sebutan yang asli jika demikian dapat dikatakan, bahwa penduduk flores mula-mula percaya pada langit dan bumi atau matahari dan bulan sebagai tokoh dewa yg tertinggi. Kecuali kepada Mori Keraeng, suku manggarai juga percaya akan adanya roh-roh atau tokoh-tokoh yang menguasai segi rohani dunia ini.biasanya tooh-tokoh ini disebut tokoh-tokoh yang di sebrang sana. Mereka dipandang sebagai penguasa alam yang belum dikuasai atau diusahakan oleh manusia pada umumnya roh ini dipandang baik, asal dihormatin oleh manusia. Mereka lebih berkuasa dan lebih bijaksana ketimbang manusia. Mereka memiliki mata yang bersinar-sinar sehingga mereka dapat melihat di dalam gelap. Roh-roh ini di antaranya:
1.      Naga Golo, yaitu roh yang dihubungkan dengan rumah dan desa. Ia dapat melindungi manusia tetapi juga merugikannya kadang-kadang roh ini menampakkan diri kepad para imam sebagai binatang kucing, buaya dan lain-lainnya. Sajian untuk naga-naga ini diletakkan dibawah tangga rumah atau ditanah. Naga yang dihubungkan dengan desa dipuja melalui perantaraan imam-imam dan orang-orang tua. Sajiannya ditempatkan dilaangan desa (alun-alun).
2.      Darat, yaitu roh yang dihubungkan dengan bumi dan bermukim didaerah-daerah yang belum diusahakan manusia, umpamanya di hutan, di pohon-pohon besar, di puncak ukit, di batu-batu dan sebagainya. Selain itu, darat juga dihubungkan dengan air, sebab dipandang sebagai yang memiliki sungai, sumber, telaga, rawa, dan sebagainya. Akhirnya, binatang-binatang buas juga dihubungkan dengan darat. Pada umumnya darat tidak dipandang sebagai roh jahat, kecuali jika orang mengganggunya. Manusia memang dengan sangat mudah dapat melanggar hak-hak roh ini.
Sajian untuk darat sering diletakkan di dekat sumber-sumber mata air, agar ia bisa memberi air minum ( terlebih jika terjadi musim kemarau panjang), didekat sungai ketika orang menangkap ikan, di dekat hutan ketika orang hendak berburu, diladang ketika orang hendak bertani dan sebagainya. Darat dapat menampakkan diri pada manusia dalam wujud binatang dan makhluk lainnya.
Disamping roh-roh baik ada roh jahat. Dari roh-roh jahat itu manusia tidak dapat mengharapkan hal-hal yang baik. Biasanya sajian kepada mereka tidak dipersembahkan. Mungkin hal itu dilakukan oleh para imam. Roh jahat yang paling ditakuti adalah poti  roh ini sering mengganggu manusia. Biasanya roh ini dianggap berasal dari orang-orang yang sudah mati dan tidak dikenal. Jika ada yang mati di desa ada anggapan bahwa poti-poti  itu berkeliaran disana, misalnya jika ada pesta dan sebagainya. Oleh karena itu pada saat-saat demikian dipersembahkan juga sajian. Roh-roh ini tidak dipandang sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Mereka seolah-olah menjadi rakyat Mori Keraeng yang didalam segala gerak-geriknya bergantung pada Mori Kerae.
Flores Tengah yang didiami oleh bermacam-macam suku dapat dirangkumkan sebagai suku Ngada atau Nad’a. Bagi suku Ngada, tokoh dewa yang tertinggi disebut Dewa (pengaruh Hindu). Ia adalah dewa langit atau juga diidentikkan dengan langit itu sendiri. Ia adalah segala Dewata dan Tuhan segala makhluk yang lebih tinggi dari pada manusia. Segala makhluk yang adikodrati inimendapatkan kekuasaannya dari Dewa.
Di samping Dewa masih ada tokoh ilahi yang lain yaitu Nitu. Mula-mula Nitu adalah bumi itu sendiri, tetapi kemudian dianggap sebagai seorang dewi, yaitu ibu bumi (Ibu pertiwi) yang memilikibanyak keturunan. Biasanya Mitu disebut lebih dahulu sebelum Dewa. Namun hal itu bukan berarti Nitu dipandang lebih dari dewa. Suku lain yang berada di Flores Tengah memandang Leras-Wulan yaitu Matahari-Bulan sebagai dewa yang tertinggi. Ia dipandang sebagai pencipta dunia dan manusia, yang bersemayang dilangit atau diatas awan.
4.      Keyakinan tentang manusia
Suku manggarai memandang manusia memiliki jiwa yang berasal dari Mori Keraeng dan yang akan kembali kepadanya lag jika manusia sudah mati. Jiwa seolah-olah dipandang terlepas dari diri manusia. Namun dilain pihak jiwa juga dipandang menyatu dengan diri manusia sebab ketika mati jiwa meninggalkannya jiwa dianggapberada dibahu, sehingga disebut juga sebagai saudara kita. Kadang-kadang orang melempar bebrapa butiran nasi kebelakang lewt bahu dengan maksud diperuntukkan bagi jiwanya. Jiwa dapat meninggalkan manusia sekalipun manusianya masih hidup.
Di Flores Tengah orang berpendapat bahwa ada dua macam jiwa yaitu amanar dan maeng Manar lebih tepat disebut sebagai kekuatan atau daya hidup manusia, selain itu bukan hanya manusia yang memiliki manar melainkan tumbuh-tumbuhan dan batu-batu juga memilikinya.
Kecuali sebagai daya hidup, manar juga dapat di pandang sebagai kecakapan yang ada pada manusia. Tidak semua orang memiliki manar yang sama. Anak-anak dan remaja berbeda dari orang dewasa, perempuan berbeda dari laki-laki, orang-orang kaya dan orang-orang pemberani berbeda dari orang biasa, demikian seterusnya, manar adalah sesuatu yang ada di dalam hati manusia, yang menyebabkan manusia mendapat keuntungan, kebijaksanaan, dan sebagainya.
Maeng adalah jiwa yang meninggalkan tubuh jika manusia sudah mati. Jiwa ini sudah ada sebelum menusianya dilahirkan. Ia berasal dari Lera-Wulan. Sebelum manusia dilahirkan, jiwanya berada di alam bawah, tempat nitu. Jiwa ini masuk ke dalam kehidupan manusia jika digabungkan dengan tubuh oleh Lera-Wulan, yang terjadi di dalam kandungan ibu melalui sperma bapak.
Sekalipun manusia masih hidup, jiwa ini juga dapat meninggalkan tubuh pada waktu tidur. Jika orang bermimpi, jiwanya mengembara bertemu dengan jiwa-jiwa yang lain, juga dengan jiwa-jiwa orang yang sudah mati. Perwujudan jiwa itu tidak dapat dikenal. Akan tetapi jiwa dapat berubah untuk menampakkan diri kepada manusia, yaitu dalam perwujudan kucing, anjing, ular, dan sebagainya.
5.      Hidup di Akhirat
Mengenai keadaan di akhirat, banyak sekali cerita yang saling bertentangan. Di Flores Barat, di tengah-tengah suku Manggarai, ada kalanya jiwa orang mati dianggap pergi ke Mori Keraeng dan hidup bersama-sama dengan dia. Akan tetapi ada kalanya jiwa dianggap sebagai perwujudan suatu persekutuan, yang masih memelihara hubungan dengan para keturunannya yang masih hidup. Namun ada kalanya juga jiwa itu dianggap masih tetap berada di dalam kubur. Yang jelas, sebelum diadakan pesta kematian, jiwa orang mati masih tetap berada di dalam rumah, yaitu pada tikar tempat tidurnya. Pada saat ini harus dipersembahkan sajian. Pada hari yang kelima diadakanlah pesta kematian, ketika orang mengadakan pesta perpisahkan bagi orang yang mati.
Di Flores Tengah, ada suku yang berkeyakinan bahwa sesudah seseorang mati, jiwanya pergi ke alam bawah, tempat nitu. Di situ jiwa masih mengalami kematian hingga tujuh kali, sebab alam bawah itu terdiri dari tujuh lapisan. Setiap kali mati, jiwa itu tiba di lapisan yang lebih rendah. Sesudah tujuh kali mati, sampailah ia di lapisan yang paling bawah. Di situ ia harus diuji. Ia harus berjalan melalui sebuah tenda yang dipasang di atas kuali yang airnya mendidih. Sementara jiwa sedang berjalan, jiwa-jiwa yang ada di sekitarnya menjerit sekuat-kuatnya untuk menguatkan jiwa yang sedang berjalan tadi agar terjatuh ke dalam kuali.
Ada juga suku yang berkeyakinan bahwa sesudah seseorang mati, jiwanya pergi ke langkan (balkon), yaitu atap yang rata dan menetap di situ. Jiwa itu menertawakan orang-orang yang hidup yang duduk di sekitar mayatnya dan menangisinya. Sesudah itu jiwa yang baik pergi menuju Lera-Wulan, sedangkan jiwa yang jahat menuju ke alam bawah, tempat nitu. Selama keluarga yang masih hidup belum mengadakan pesta kematiannya, jiwa itu menetap di gua-gua dan di lubang-lubang pada pepohonan dan sebagainya. Sesudah diadakan pesta kematiannya, ia pergi ke Lera-Wulan.
6.      Tempat-Tempat Keramat
v  Batu berbentuk perahu di pantai Talibura (sekarang ada di depan kantor Koramil) dianggap oleh orang Tanah Ai sebagai peninggalan Moan Sugi Sao.
v  Batu dengan jejak kaki Moang Sugi Sao beserta anak panah serta binatang peliharaannya di Watubaing/Wair Kolong.
v  Pohon asam keramat di Natar Mage yang menjadi asal muasal nama kampung tersebut.
v  Batu-batu lain yang bersejarah atau dianggap keramat (mahe) adalah:
Mahe Wuu Letu di Ledu Labang
Mahe Koja Wulan di timur Natar Mage
Mahe Papar di utara Natar Mage
Mahe Hiong Dueet di Karok Natar
Tidak sembarang tempat masyarakat di Tana Ai Flores melakukan kegiatannya sehari-hari, karena prinsip mereka tidak boleh merusak alam dan temapat-tempat keramat yang dipercaya dihuni oleh para arwah, maka satu-satunya tempat untuk bercocok tanam adalah di lereng bukit. Sistem tata guna lahan tradisional yang diterapkan oleh masyarakat Utang Wair dan Likong Gete mengenal sejumlah zona dengan fungsi tertentu. Sistem tersebut membedakan secara tegas lahan hutan yang boleh dibuka untuk berkebun dan hutan yang harus dijaga keutuhannya19. Tidak seorangpun boleh memanfaatkan bagian hutan yang dihuni oleh para arwah. Bagian lain dari hutan dilindungi sebab merupakan tempat beristirahat para roh nenek moyang. Sebelum seseorang meninggal, dia akan menunjukkan kepada keluarganya tempat yang dipilihnya untuk beristirahat di hutan setelah meninggal.
Hutan larangan atau hutan tutupan (Uin watur tuan loran)[15]
Sejumlah wilayah hutan yang luas masuk dalam sistem pengelolaan masyarakat adat. Tidak seorangpun boleh membuka hutan ini. Orang Utang Wair dan Likong Gete menganggap hutan ini sebagai sumber air dan tempat melaksanakan upacara adat. Banyak tempat keramat di dalamnya adalah tempat masyarakat menghormati dan berdoa memohon kepada leluhur mereka.
Hutan untuk lahan pertanian berpindah (Opi kare tutun tepan)
Masyarakat adat selalu membuka hutan untuk bercocok tanam, seperti yang dilakukan oleh leluhur mereka yaitu, Moang Sugi Sao. Ladang, tempat bertanam padi, jagung dan sayuran, juga pohon produksi merupakan bentuk wanatani tradisional. Di dalam zona ini terdapat wilayah hutan lindung di mana kegiatan bercocok tanam tidak diperkenankan (tuan dudun), seperti: Tebing terjal, Lahan tempat berburu, Tempat-tempat yang dihuni roh-roh. Terdapat juga daerah kantung-kantung hutan tersebut juga merupakan sumber-sumber mata air sebagai tempat berdoa meminta hujan, hasil panen yang baik dan perlindungan dari hama dan bahaya alam (biasanya di daerah hutan dekat sungai)

Hutan larangan. Sumber: e-book
7.      Struktur Kelembagaan Adat
Secara adat, tata ruang wilayah adat merupakan tanggung jawab
Tana Puan/kepala suku dan perangkat adat lainnya. Akan tetapi, dewasa ini lembaga adat sudah berkurang sekali perannya, kecuali dalam melakukan ritual adat. Struktur lembaga adat setempat adalah:
v  Pimpinan adat (Tana Puan): ‘koordinator’ secara umum; bertanggungjawab menentukan tata ruang wilayah adat.
v  Kepala-kepala Suku: sebagai pelaksana adat dalam sukunya dan bertanggungjawab untuk membagi-bagi tanah kepada anggota-anggota sukunya
v  Bian Wuun: orang-orang yang mempunyai ketrampilan/keahlian khusus dalam melakukan ritual adat yang terdiri dari:
v  Bian Sobe: orang yang bertugas untuk membawa pasu yang berisi kuku dan rambut orang yang sudah meninggal, misalnya dalam upacara Wihi Loe Unur.
v  Bian Luka: orang yang bertugas membawa semua kuku dan rambut orang yang baru meninggal dan menyerahkan kepada “Bian Sobe” pada saat upacara Wihi Loe Unur.
v  Bian Henin: orang yang bertugas memanggil para arwah yang sudah lebih dulu meninggal untuk datang menjemput arwah-arwah yang baru meninggal dalam upacara Wihi Loe Unur sehingga mereka dapat berkumpul bersama dalam alam mereka.
v  Bian Karat: orang yang bertugas menyembelih hewan persembahan pada waktu upacara Wihi Loe Unur.
v  Bian Seko atau Gareng Lamen: orang yang bertugas untuk melakukan penyunatan pada upacara Gareng Lamen.
v  Bian Marang: dukun atau peramal yang dilakukan dengan ‘membaca’ kambing/babi yang dikurbankan.
v  Bian Teli Apur: para perempuan yang menyediakan segala sesuatu perlengkapan upacara.
v  Bian Dua Puan: para perempuan yang mengatur pelaksanaan upacara dan menyambut para tamu.
Anggota masyarakat adat dibagi dalam kelompok suku awal (Me Pu Ari Anak) dan kelompok suku lainnya (Ai Aur Wair). Selain lembaga-lembaga tradisional tersebut di atas, masyarakat Utang Wair dan Likong Gete juga membentuk organisasi masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak mereka atas wilayah adat dan pengelolaan sumberdaya alam (lihat kotak Mempertahankan
Kuasa Adat).
8.      Hakekat Sistem Tata Ruang Adat

1)        Aspek ekonomi: Sumber daya alam yang ada hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bukan sebagai bahan perdagangan atau didistribusikan ke daerah lain.
2)        Aspek sosial (kekerabatan): Hubungan kekerabatan masyarakat adat daerah ini sangat erat sebagai akibat dari sistem perkawinan di dalam daerah sendiri. Namun dalam perkembangannya masyarakat mulai terbuka, membuka diri terhadap pihak luar melalui pembauran (kawin campur) dengan orang luar daerah.
3)        Budaya: Pelestarian nilai-nilai dan budaya fisik dan spiritual yang diwariskan nenek moyang.
4)        Politik: Pimpinan adat (Tana Puan) memegang kekuasaan tertinggi dalam struktur pemerintahan adat. Dalam menyelenggarakan pemerintahan adat dia dibantu oleh para kepala suku dan tetua adat.
5)        Keamanan: Masyarakat melakukan suatu upacara adat khusus untuk menolak segala bahaya atau ancaman yang datang dari luar wilayah masyarakat.
9.      Upacara Adat
1)      Upacara Rau Ekak: upacara pemberian makanan kepada rohroh nenek moyang agar tetap menjaga lingkungan tempat tinggal serta kebun atau ladang masyarakat dari gangguan alam atau manusia. Upacara ini biasanya dilakukan di tempat khusus (mahe).
2)      Upacara pendinginan tanah: dilakukan setelah membakar hutan untuk membuka lahan pertanian yang baru. Biasanya dibuat di tengah kebun dengan maksud untuk meminta kesuburan tanah dan memberikan hasil panen yang baik.
3)      Pati blatan tebo toko: upacara yang dilakukan bagi orang yang mengalami sakit yang berkepanjangan atau bagi orang yang telah melakukan kesalahan misalnya melakukan pencurian, pemerkosaan dan sebagainya.
4)      Pati neni ihin dolo: upacara yang dilakukan pada awal tahun di kebun setelah panen.
5)      Pati neni uran wair: upacara yang dilakukan untuk meminta hujan, biasanya dilakukan di Nuba Nanga.
6)      Upacara pengusiran hama dan penyakit yang menyerang tanaman
v  Hama binatang (Tung Teu, Teke, Ule, dan Raon): ritual untuk mengusir tikus, belalang, ulat dan walang sangit pulang ke ibu-bapaknya diantar oleh tokek (manusia) dengan sebuah perahu supaya binatang-binatang tersebut tidak mengganggu lagi tanaman mereka. Upacara ini dilakukan di laut, biasanya pada bulan September atau Oktober sebelum mulai musim tanam. Orang yang ‘mengantar pulang’ hama ini tidak boleh bersuara sama sekali selama dalam perjalanan ke tempat tujuan upacara, kecuali orang yang melantunkan syair-syair adat. Hanya kaum pria yang boleh terlibat dalam upacara ini. Ketika pulang dari tempat upacara, setiap orang yang ikut dalam upacara tidak boleh menoleh ke belakang sampai ia tiba di rumah. Selama 4 hari setelah upacara, tidak boleh dilakukan kegiatan penggalian tanah dan juga tidak boleh menyalakan api di dalam rumah.
v  Tanaman hancur dan berbau busuk karena serangan jamur (Emun Anin): persembahan diletakkan di empat sudut kebun kemudian dibakar mengikuti arah angin. Orang yang melakukan itu dilarang masuk ke kebun selama 4 hari 4 malam.
v  Walang sangit (Raon Beme): lili hear, ai raon35, obat anti semut dan minyak tanah dicampur dan ditumbuk sampai hancur lalu disiramkan ke tanaman yang terkena hama. Orang yang melakukan itu dilarang masuk ke kebun selama 4 hari 4 malam. Selama musim panen Bian Neti Naar dan Bian Balok Wair dilarang mandi sampai dengan acara Ri (injak padi). Apabila kedua orang ini mandi sebelum upacara Ri rnaka panen tidak akan berhasil.
Video ini di ambil dari https;//www.youtube.com video merupakan tradisi Boe Ganda dalam upacara pernikahan di suku Manggarai Flores, NTT. 


     3. Suku Murba di Seram

  1. Profil Suku Murba di Pulau Seram
       A. Letak Geografis
sumber: http://www.bing.com/images/search?q=peta+kabupaten+seram&view
           
              Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km2 dan daratan 5,779.123 Km2 . Dengan luas wilayah yang sebagian besar didominasi oleh wilayah laut memiliki karakteristik tersendiri. Terdapat titik-titik pada wilayah tertentu memiliki palung-palung laut yang terbentang cukup luas. Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki beberapa Kecamatan yaitu Kecamatan Bula, Kecamatan Pulau Gorom, Kecamatan Werinama, Kecamatan Siwalalat, Kecamatan Tutuk Tolu, Kecamatan Kilmury, Kecamatan Wakate dan Kecamatan Seram Timur. Kecamatan Seram Timur memiliki luas wilayah 29,567 ha, terletak pada 130,51º BT – 132,5º BB dan 3,3º LS – 5 LSº. Batas wilayah Kecamatan Seram Timur yaitu sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pulau Gorom, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kilmuri dan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tutuk Tolu, serta sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banda. Jumlah kepala keluarga Kecamatan Seram Timur yaitu 40,32 kk, dengan jumlah penduduk yang mendiami Kecamatan Seram Timur mencapai 18,160 orang terdiri dari 8,706 orang penduduk laki-laki dan 9,454 orang penduduk perempuan. Kecamatan Seram Timur memiliki Desa induk yang berjumlah 9 desa.
      2. Kepercayaan Lokal Suku Murba di Seram
b. Mite Penjadian
terdapat bermacam-macam mite mengenai terjadinya manusia. Di Seram Tengah ada suatu cerita yang menceritakan bahwa semula Alahatala (langit sebagai asas laki-laki) menyungkuri pohun (bumi sebagai asas perempuan) dalam persetubuhan. Pada waktu itu keadaan masih gelap gulita. Dari persetubuhan ini bumi melahirkan anak-anaknya, yaitu pasangan manusia yang pertama Tomoa dan Binawal. Kedua anak ini mendapat tempat diantara bapak dan ibunya (terjepit). Mereka mendorong bapa ibunya, sehingga keduanya berpisah. Hal itu mengakibatkan adanya suatu gempa bumi yang menjadikan langit yang menjauhkan diri dari bumi. Bersaam dengan itu lahir juga sepasang saudara yang lain, yaitu matahari dan bulan. Oleh karena itu, kegelapan diganti dengan terang. Dari perkawinan kedua saudara yang terahir ini lahir seorang anak laki-laki, Bintang Suhara (bintang sore) dan seorang anak perempuan, Bintang Kejora (bintang pagi).
            Semula langit dan bumi masih kecil, karena terjadi gempa bumi tadi keduanya menjadi besa. Alahatala melengkung seperti sebuah kubah menaungi bumi dengan kakinya disebelah timur dan tangannya disebelah barat menyentuh bumi, dari mana sepasang manusia yang pertama lahir.
            Di Seram Barat, ada suatu cerita tentang perkawinan antara matahari dan bulan. Diceritakan bahwa matahari senantiasa mengejar-ngejar bulan, yang mengakibatkan bulan semakin lama semakin menjadi kecil, sebenarnya, keduanya tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya, kemudian bulan kembali mencari matahari dengan akibat ia semakin lama semakin besar. Akhirnya keduanya bertemu dalam bulan purnama,waktunya mereka mengadakan persetubuhan.
            Mite yang lain menceritakan, bahwa Tuwale (matahari) mencuri seorang gadis yang bernama Rabie untuk dijadikan istrinya. Rabie kemudian menjadi bulan. Dari perkawinan mereka lahirlah manusia.
            Mite yang lain lagi menceritakan bahwa Tuwele menciptakan manusia dari buah pisang. Penjadian ini dilakukan di gunung Nunu saku. Dari buah pisang yang belum masak terjadilah Mulua (artinya gadis) satene, kemudian memerintah atas manusia pada zaman purba.
            Di seram ada mite mengenai tiga orang gadis ilahi, yaitu Mulua Rabie, seperti yang sudah dikemukakkan tadi, Mulua Satene, yang memerintah atas manusia, dan Mulua Hainuwele.
c. Mite Hainuwele
mite ini mengalami banyak penyuntingan, tetapi dalam garis besarnya dapat dituturkan berikut ini. Ada seorang laki-laki bernama Amete. Pada suatu hari ia berburu dan berhasil membunuh seekor babi yang membawa sebuah kelapa di taringnya. Di dalam mimpi, Amamate mendapat perintah supaya menanam buah kelapa itu. perintah itu seera dilaksanakan. Sesudah tiga hari, dari batang kelapa itu tumbuhlah sebatang pohon kelapa yang besar. Pada suatu hari Amete memanjat pohon kelapa itu untuk mengambil tuak dan bunganya. Akam tetapi, ketika ia mengambil tuak dari bunga itu jarinya teriris, sehingga darahnya bercampur dengan tuak.dari campuran itu terciptalah seorang gadis kecil. Anak it dibawa pulang dan diberi nama Hainuwele.
Gadis ini semakin lama semakin besar.ternyata ia memiliki sidat-sifat yang aneh . kotoranya terdiri dari piring-piring cina, kerang, gong, dan benda-benda yang berharga. Demikianlah, Amete menjadi orang kaya. Orang-orang sekampung menjadi iri hati kepada Amete. Mereka bermaksud membunuh Hainuwel. Hal itu direncanakan pada kesempatan upacara tarian maro yang suci.
Upacara tarian ini berlangsung selama sembilan keluarga membentuk sembilan lingkaran. Ditengah-tengah lingkaran itu berdirilah gadis-gadis sambil membagi-bagikan sirih dan pinang kepada penari yang melingkarnya. Pada kesempatan ini Hanuwele diminta untuk berdiri ditengah-tengah lingkaran. Pada malam yang kesembilan para penari mendorong Hainuwele kedalam liang yang sudah dipersiapkan, lalu mereka menutup liang itu dengan tanah, sambil menginjak-injak tanah itu dengan loncatan-loncatan tarian.
Ketika upacara tarian moro sudah selesai, dan ternyata Hainuwel belum pulang, tahulah Amete bahwa anak gadisnya di bunuh. Ia mencari kuburan anak gadisnya ketika ditemukan, ia menggali kuburan itu. Tubuh anaknya itu dipotong-potongnya menjadi banyak bagian dan dikubur disekitar tempat orang menari tadi. Kedua tangan anak gadisnya dibawa menghadap kepada mulua satene, yang pada waktu itu masih memerintah umat manusia.
Bagian tubuh yang ditanam tadi tumbuh menjadi bermacam-macam tumbuh-tumbuhan yang pada waktu itu belum ada, diantaranya menjadi ubi. Tumbuh-tumbuhan itu kemudian menjadi makanan manusia.
            Mulua satene sangat marah terhadap orang-orang yang membunuh Hainuwele. Ia membuat sebuah pintu dalam bentuk sembilan lingkaran. Ia duduk pada sebuah batang pohon yang berada di samping pintu sambil memegang kedua tangan hainuwele. Pada sisi yang lain dari pintu itu berkumpullah banyak orang. Malua Satene mengumumkan bahwa pada hari ini ia akan meninggalkan mereka. Namun sebelumnya, orang-orang diperintahkan supaya memasuki pintu yang dibuatnya untuk menghampiri dia. Barang siapa dapat melalui pintu itu ia akan tetap menjadi manusia, sedang barang siapa yang tidak bisa melewatinya akan terjadi sesuatu paa mereka. Semua orang mencoba memasuki pintu lingkaran itu, tetapi tidak semuanya berhasil. Bagi yang tidak berhasil melaluinya berubah menjadi binatang atau menjadi roh. Demikianlah sejak sat itu ada babi, kijang, burung, ikan dan roh-roh yang mendiami bumi. Beberapa yang berhasil melewati pintu itu tetap menjadi manusia dan dapat menghampiri Mulua Satene.
            Kemudian pergilah Mulua Satene meninggalkan manusia. Manusia tidak akan melihatnya lag, kecuali jika mereka mati. Sekalipun demikian, mereka harus menjalani perjalanan yang berat sebelum  mereka dapat menghampiri Mulua Satene. Sejak saat itu Mulua Satene berdiam diri di Gunung Salahua, tempat para nenek moyang.
            Ketiga gadis ilahi ini, yaitu Mulua Satene, Mulua Rabie, dan Mulua Hainuwele, agaknya satu tokoh yang menampakkan diri dalam tiga aspek, ketiganya mengalami kematian sebelum waktunya, tetapi mereka tetap hidup dengan cara yang sangat ajaib. Mulua Hainuwele hidup sebagai kelapa dan palawija yang menjadi makanan manusia, Mulua Rabie hidup sebagai bulan di langit dan sebagai istri matahari, sedangkan Mulua Satene hidup sebagai yang memerintah kerajaan maut.
d. Beberapa Upacara
Di seram terdapat suatu upacara keagamaan yang tidak terdapat di bagian lain di Indonesia, tetapi sangat besar artinya di seluruh kepulauan Osenia, yaitu upacara yang memasuki perserikatan kakean.
            Arti kata Kakean  sudah tidak dikenal lagi. Perserikatan ini merupakan perserikatan laki-laki yang sudah dewasa, yang berlaku di daerah tiga sungai, Tala, Eti, dan Sopalawa, di Seram Barat. Semua laki-laki dewasa dipersatukan didalam satu kesatuan persatuan sosial yang dipisahkan dari semua orang yang tidak termasuk perserikatan itu memasuki perserikatan ini berarti juga mendapat hak untuk ikut serta dalam perserikatan lain, yang disebut perserikatan Samiri yang membuat orang mendapatkan hak-hak warga desa. 
Setiap orang boleh masuk ke dalam perserikatan kekean, jika ia sudah berumur dewasa. Sebelum memasuki perserikatan ini seseorang harus terlebih dahulu melakuka upacara memindahka masa kanak-kanak ke masa dewasa, yaitu upacara pesta cidako, ketika anak laki-laki untuk pertama kali dikenakan sebuah ikat pinggang (cidako).
Pesta tersebut berlangsung sebagai berikut. Pada waktu yang sudah ditentukan, anak-anak yang akan memasuki kedewasaan diharuskan membawa calon pakaian dan perhiasannya kepada kepala keluarga. Kemudian mereka dibawa kesebuah sungai untuk dimandikan masing-masing di bawah bimbingan tiga orang pembimbing. Sesudah itu mereka makan dan minum. Sesudah pwerut dan pinggang mereka di gosok oleh minyak kanari. Kepada mereka dikenakan ikat pinggang yang diikatkan sangat erat hingga menjepit. Kepada mereka juga dikenakan pakaian yang dihaisi dengan bulu burung nori, kerang, gelang, dan giring-giring.
Pada hari-hari berikutnya ikat pinggang itu sedikit demi sedikit dilonggarkan oleh para pembimbing, yang selama tiga sampai lima hari harus mendampingi anak-anak itu. sesudah beberapa hari anak-anak itu dikembalikan ke kehidupan yang biasa. Dengan demikian mereka meninggalkan masa kanak-kanak dan memasuki masa dewasa, tahap “orang-orang yang membawa parang”.
Dengan upacara pesta cidoko, anak-anak itu memasuki perserikatan pemuda yang disebut nongore, semua anggota nongore mendapat tugas untuk bersama-sama menangkap ikan, mengambil danar untuk kepentingan kepala kampung, menjadi pengayuh jika kepala kampung berpergian, menari pada waktu pesta, menabuh tambur, dan sebagainya.
Upacara perpindahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ini juga berlaku bagi anak-anak perempuan, sekalipun upacaranya Lebih sederhana. Anak-anak dara ini juga dimasukkan kedala suatu perserikatan pemudi, yang disebut jojaro. Dibawah pimpinan kepala jojaro, para pemudi diwajibkan bersama-sama ikut menerima tamu, menari pada pesta-pesta tertentu dan sebagainya.
Pada saat-saat tertentu diusahakan agar para anggota kedua perserikatan itu dapat bertemu didalam pergaulan yang disertai upacara-upacara. Di seram barat dan tengah, orang sering mengadakan upacara semacam darawisata bagi kedua kelompok itu,yang disebut makan petita atau makan jagung. Semua pemuda-pemudi di kampung ikut serta dengan berpakaian yang indah. Mereka bersama-sama menuju ke sungai. Mereka membeli lading jagung. Para pemudanya harus membakar jagung, sedangkan para pemudi bermain-main. Jika sudah selesai, mereka bersama-sama makan jagung sambil bersenda gurau. Dalam kesempatan seperti itu mereka dapat menghabiskan seladang jagung. Sesudah itu mereka bermain-main dengan air di sungai sambil memercik-mercikkan air dan mandi bersama. Ada banyak upacara pergaulan lain yang memberi kesempatan kepada para pemuda-pemudi untuk saling berhubungan. Pergaulan mereka sering sangat bebas.
Tahap ini diakhiri dengan perkawinan. Siapa yang sudah kawin tidak lagi diperkenankan menjadi anggota perserikatan-perserikatan ini. Seperti yang sudah dikemukakan, upacara pesta cidako adalah suatu upacara yang mendahului upacara memasuki perserikatan kakean. Bagaimana tepatnya hubungan antara kedua upacara ini kurang begitu jelas. Mengenai upacara memasuki perserikatan kakean itu dapat dipaparkan demikian. Inisiatif pesta kakean berasal dari imam besar. Beberapa laki-laki (mungkin dari beberapa kampung) dipanggilnya untuk diberi tugas memperbesar balai desa, tempat akan diadakannya pesta itu, dan membangun atau memperbaiki rumah kakean (tutui) yang ada di tengah hutan.
Rumah kakean adalah sebuah rumah yang besarnya kira-kira 30x15 m dan memiliki satu pintu saja. Pintu itu disebut mulut buaya. Di dalam rumah yang gelap ini tersimpan patung-patung atau batu-batu, tengkorak, barang-barang suci warisan nenek moyang. Kadang- kadang rumah ini hanya ditutup dengan oagar bambu kadang-kadang diberi rangkap, dengan kebun diantaranya. Ada yang dibangun di atas tiang, ada yang di tanah.
Sesudah semua persiapan selesai, para pemuda dipanggil. Mereka berkumpul di rumah imam besar dan berada di sana untuk beberapa hari menunggu saat yang baik. Tubuh mereka diusap dengan kukurma, dan setiap hari mereka dimandikan di sungai tertentu. Pada malam hari diperdengarkan suara-suara yang menakutkan sebagai tanda bahwa roh jahat datang. Para perempuan dan anak-anak dilarang keluar rumah. Para laki-laki berpesta pora di balai desa.
Pada hari yang dipandang baik, para pemuda itu dibawa ke rumah kakean, masing-masing didampingi dua orang pembimbing (masaloi), dan diantar oleh perempuan. Sementara para perempuan berhenti di luar pagar, para pemuda dengan pembimbing-pembimbingnya masuk ke rumah melalui mulut buaya. Tidak berapa lama terdengarlah suara yang mengerikan dari dalam rumah itu. Para pembimbing keluar dari rumah kakean, menunjukkan parang yang berlumuran darah kepada para perempuan sebagai bukti bahwa para pemuda tadi sudah dibunuh. Para perempuan kembali ke kampung dengan menangis.
Pada hari berikutnya para pembimbing datang ke kampung, kotor dengan berlumuran lumpur. Mereka jatuh di dekat rumah imam besar seolah-olah mati. Para perempuan datang menolongnya dengan menuangkan air kepada mereka dan menari mengelilingi mereka hingga sadar kembali. Kemudian mereka mandi dan memberitahukan kepada para perempuan agar tidak usah mengkhawatirkan nasib para pemuda tadi.
Sesudah beberapa waktu (ada cerita yang mengatakan tiga hari, ada yang mengatakan tiga bulan) para pemuda datang ke kampung dengan terhuyung-huyung dan bertingkah laku aneh. Pada tubuh mereka ditatahkan tanda hitam (tatouge). Mereka membawa tongkat di tangan yang digambari dan dihias. Pemuda pemudi itu menuju rumah imam besar dan berada di sana kira-kira dua hari. Di halaman rumah imam besar, diadakan pesta dengan banyak tari-tarian dan music.
Sesudah itu para pemuda kembali ke rumah masing-masing tetapi mereka masih bertingkah laku aneh, seolah-olah mereka bodoh dan linglung. Oleh karena itu, mereka harus mempelajari segala sesuatu dari permulaan lagi. Umpamanya mereka berjalan mundur, memegang segala sesuatu dengan keliru, dan tidak berbicara tetapi memberi isyarat saja. Merupakan tugas para pembimbing untuk membetulkan segala sesuatu. Karena pada saat ini para pemuda masih dalam keadaan tabu, kepala mereka tidak boleh dijamah, rambut mereka tidak boleh di sisir atau di gunting. Baru sesudah beberapa hari kemudian mereka menjadi biasa kembali. Mereka menceritakan cerita-cerita aneh yang dialami di dalam alam bawah.
Sesudah beberapa bulan, dalam keadaan masih tabu pemuda-pemuda itu di bawa ke hutan lagi untuk mempelajari kecakapan-kecakapan yang diperlukan bagi orang dewasa, umpamanya berburu. Mungkin juga untuk pertama kali mereka turut mengayau.
Upacara ini ditutup dengan suatu rapat di hutan, tempat pemuda-pemuda itu dibebaskan dari segala tabu. Upacara ini dapat dianggap sebagai sebagai suatu perpeloncoan atau suatu katekisasi untuk masuk ke dalam hidup yang baru. Hakikat inisiasi ini dapat dikatakan sebagai suatu kelahiran yang kedua kali untuk menjadi dewasa.Sudah ditemukan tadi bahwa memasuki perserikatan kakean berarti juga mendapat hak untuk ikut serta dalam perserikatan yang lain, yaitu perserikatan saniri,yang menjadikan orang mendapatkan hak-hak warga desa.
Kata saniri merupakan suatu sebutan bagi suatu rapat dan juga sebutan bagi suatu daerah tempat diadakan rapat. Ada tiga daerah saniri yang letaknya bertepatan dengan daerah Sungai Tala, Eti dan Sopalawa. Tiap-tiap saniri dapat mengadakan rapat sendiri-sendiri. Akan tetapi di samping itu ada saniri umum yang terdiri dari tiga saniri tersebut. Rapat saniri terakhir diadakan pada tahun 1857, yang membicarakan tentang cara penggunaan hutan sego oleh warga kampung. Tidak ada waktu tertentu untuk mengadakan rapat ini. tampaknya ada jarak yang agak lama antara rapat yang satu dengan yang lain. Sedapat perserikatan kakean yakni semua laki-laki yang sudah dewasa menghadiri rapat itu. Putusan rapat itu mengikat bagi seluruh daerah saniri, umpamanya mengenai percekcokan, mengatur hal-hal yang penting. Ketua rapat saniri agaknya identik dengan imam besar dari perserikatan kakean. Sebab dalam praktiknya, kedua lembaga ini mewujudkan suatu kesatuan. Rapat saniri mengurus tugas-tugas politis dan kemasyarakatan, sedangkan perserikatan kakean mengurus tugas-tugas kultus.

     



  




[1] Mahe merupakan lambang kesatuan komunitas selain merupakan situs yang sakral atau tempat melakukan upacara adat. Kerapkali mahe ditandai oleh batubatu besar, megalit atau altar batu untuk upacara. Mahe Wai Brama dipandang sebagai ‘ibu’ dari segala mahe dan mempersatukan komunitas Tana Ai. Mahe Tana adalah situs sakral untuk memohon berkat bagi mereka yang hidup di atas tanah. Mahe Nuhu adalah situs sakral untuk memperingati peperangan.
[2] Natar adalah ‘kampung’ dalam bahasa setempat. Kata yang sama digunakan
untuk merujuk masyarakat adat dan tanahnya.
[3] Ejaan Wai, Wair dan Waer tampak bisa ditukar-pakai dalam penamaan tempat. Istilah ini merujuk pada suatu sungai atau sumber air tawar.
[4] Gula aren dipanen dari pohon lontar, Borassus flabellifer.
[5] Masyarakat adat sangat percaya bahwa tempat-tempat yang digambarkan dalam cerita tradisional masih dapat dikenali melalui tanda-tanda alamiah serta masih memiliki nama yang sama yang menunjukkan hak-hak ulayat mereka atas kawasan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam legenda.
[6] Natar Mage adalah juga nama salah satu desa adat Tana Ai.
[7] Legenda ini dikenal sebagai Talibura Wua Bahang.
[8] Pedan adalah kependekan dari Soge Pedan Tana Gere yang artinya tanah yang
telah ditandai dengan pedang.
[9] Peristiwa ini disebut Mula Nuba Nipar. Kata nuba berarti tempat sakral untuk
menyampaikan menyampaikan syukur.
[10] Hulu Hilek berarti ‘nenek moyang’.
[11] Peristiwa ini dilukiskan dengan istilah Lirih watu laba lepo sorong woga nora
ua uma kare tua. Watu = batu.
[12] Pemukiman Nanga Nuba secara tradisi merupakan jantung dari masyarakat
Utang Wair (Nanga = kampung; nuba = tempat suci).
[13] Artinya: Kami berharap akan hasil panen yang bagus dari ladang dan pohon
lontar kami.
                 [14] Tempat di Watar Anak tersebut dikenal dengan nama Mula Mahe, yang artinya
tempat ritual pertama. Nama lain Mula Mahe adalah Maha Tana yaitu tempat
penyelenggaraan ritual untuk memohon ijin kepada para arwah sebelum mulai
bertanam.
[15] Di bagian lain Tana Ai, seperti misalnya di Hikong-Boru Kedang (lihat kotak
di bab ini), hutan lindung semacam ini disebut ope dun kare dunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar