Kamis, 16 Juni 2016

Laporan Observasi

LAPORAN OBSERVASI KEARIFAN LOKAL DESA BANDRONG PANDEGLANG BANTEN
by: Windi Anisa Dhiya

2.1 Profil Desa Bandrong

A.    Letak Geografis




   Sumber: www.bantenprov.go.id
Secara administrasi Desa Bandrong terletak di wilayah Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Wilayah Desa Bandrong dibatasi oleh wilayah-wilayah desa tetangga. Pada bagian sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bandrong, disebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ciandur, disebelah Barat berbatasan dengan Desa Talagasari dan sisi Timur berbatasan dengan Desa Kadudampit.[1]
B.     Asal-Usul Desa Bandrong
Desa Bandrong merupakan desa pemekaran dari Desa Wanagiri pada tahun 1982. Sebagaiman keterangan dari tokoh dan sesepuh masyarakat bahwa pada tahun 1982 pada saat itu Desa Bandrong sudah padat dengan penduduk serta kondisi wilayah yang sangat repot bagi sebagian besar masyarakat untuk menempuh jarak ke kantor desa. Atas dasar pertimbangan dan persetujuan pihak terkait maka dimekarkanlah menjadi Desa Bandrong , sebagai mana bahwa desa Bandrong berada dibagaian selatan Gunung Pulosari, serta "Bandrong" yakni merupakan kata yang mencerminkan kekuatan/kokoh sebuah Gunung, maka disepakati tokoh-tokoh dan kasepuhan masyarakat dinamakan Desa Bandrong.[2]

2.2  Kepercayaan Lokal Desa Bandrong

A.    Keberadaan Gunung Pulosari
Pulosari yang dipercaya sebagai salah satu gunung keramat diperkirakan telah muncul jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banten Girang yaitu kerajaan yang bercorak Hindu/Buddha sebelum berdirinya Kesultanan Banten Islam. Berita-berita dari beberapa pakar kepurbakalaan seperti Pleyte mengisahkan Sanghyangdengdek. Berdasarkan sumber cerita Ahmad Djayadiningrat pada tahun 1913 dan NJ Krom dalam Rapporten van der Oudheikundingen Diens in Nederlandsch Indie tahun 1914 menyatakan pula bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang. Salah satu arca yang dimaksud adalah patung tipe polinesia di Tenjo (Sanghyangdengdek).
Gambaran Gunung Pulosari sebagai gunung keramat diperoleh pula dari keterangan Claude Guillot bahwa di Desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang terdapat pemujaan lama yang menyandang nama dewa.[3]
Tempat pemujaan tersebut sudah lama dikenal berupa batu berdiri yang tingginya kira-kira satu meter dan puncaknya dipahat sederhana dan kasar berbentuk kepala, mata bulat, mulutnya hanya berupa goresan, telinganya dibuat hanya tipis sederhana dan hidung tidak nyata, lengan-lengan dan kelamin lelaki kelihatan pula, tetapi hampir tidak menonjol. Tidak hanya itu. Keberadaan Gunung Pulosari yang dikenal sebagai gunung keramat dapat dikatakan sebagai salah satu pusat peradaban masa lalu di daerah Banten. Pernyataan ini tentunya didukung bukti-bukti peninggalannya. Kira-kira empat kilometer dari Sanghyangdengdek di atas bukit Kaduguling tepatnya di perbatasan Desa Sukasari dan Desa Bongkaslandeuh, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang
terdapat kompleks megalitik berlanjut yang disebut Batu Goong-Citaman. Hasil penggambaran Direktorat Purbakala tahun 1999, tampak situs Batu Goong adalah punden berundak yang merekayasa bentukan alam. Bukit Kaduguling sebagai bukit tertinggi di seputar situs, posisinya tepat berada pada garis lurus ke Sanghyangdengdek berorientasi ke puncak Gunung Pulosari dibentuk pelataran-pelataran bertrap-trap makin ke timur makin tinggi menjadikan bentuk
memusat ke belakang. Di tempat tertinggi itulah ditempatkan Batu Goong bersama menhir. Menhir ini berdiri di tengah-tengah sebagai pusat dikelilingi oleh batu-batu yang berbentuk gamelan seperti gong dan batu pelinggih. Formasi
semacam ini lazim disebut formasi “temu gelang”. Di tempat lain dapat diperbandingkan dengan peninggalan megalitik di Matesih, Jawa Tengah, dan di
situs Pugungraharjo di Lampung Timur.
Selain gunung Pulosari di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk, ditemukan pula batu monolit megalitik yang ternyata batu bergores. Bentuk goresannya sangat berlainan dari batu-batu bergores di tempat lain. Batu
bergores Cidaresi berbentuk segi tiga dengan lubang di tengah-tengah sehingga
menyerupai kemaluan wanita. Karena itu, penduduk setempat menamakannya “batu tumbung” yang berarti kemaluan wanita. Diduga batu Cidaresi ini menggambarkan simbol kesuburan, atau sebagai lambang kesucian wanita.[4]
Menurut narasumber mang Haji Lukman pada bulan Safar masyarakat desa Bandrong ngeriung, mengadakan pengajian, setiap warga membawa nasi, ikan dan lauk pauk, kemudian duduk dan makan bersama di pinggir jalan kampung. Setelah itu biasanya keesokan harinya para pemuda di desa Bandrong naik gunung pulosari namun tidak melakukan ritual kesana hanya mendaki saja karena di percaya bahwa gunung Pulosari merupakan gunung keramat.[5]

B.     Keberadaan Batu Qur’an di Cibulakan
Batu Qur’an terdapat di mata air cibulakan atau biasa disebut cimajep. Batu Qur’an berada di dalam mata air yang jernih dan bersih. Ketika kami melihat batu Qur’an kami tidak melihat ayat suci Al-Qur’an di atasnya. Tetapi, menurut narasumber mamang Haji Lukman, secara kasat mata batu tersebut akan terlihat seperti batu pada umumnya kecuali dengan hati dan jiwa yang bersih bisa melihat tulisan al-Qur’an pada batu tersebut, yaitu dengan melakukan beberapa proses ritual, seperti berpuasa, shalat, dzikir dan memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sebab, hanya atas izin Allah seseorang bisa melihatnya. Para peziarah yang datang meyakini air dari kolam Batu Qur’an memiliki khasiat sebagai obat. Kemudian, bagi yang bisa menyelam dan berenang sambil mengitari batu Qur’an sebanyak tujuh kali, permintaannya akan terkabul. Masih banyak hal-hal lain yang diyakini para peziarah. Namun, yang paling meyakinkan adalah Batu Qur’an berkaitan erat dengan nama Syekh Maulana Mansyur, seorang ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.
Batu Qur’an tidak boleh di injak, para petani disana yang hanya sekedar minum atau membersihkan diri biasa menggeser atau memindahkan batu Qur’an agar tidak terinjak untuk menghormati karena batu tersebut dianggap suci dan keramat. Menurut narasumber juga ada pendapat lain yang mengatakan kalau batu Qur’an tersebut dahulu pernah dijadikan tempat Syekh Maulana tadarus Qur’an hingga khatam. Di siang hari mata air cimajep dianggap memiliki kekuatan gaib seperti contohnya dahulu  ada seseorang yang mandi ke cibulakan atau cimajep di tengah hari namun orang yang mandi tersebut tidak mau pulang hingga malam setelah di obati oleh orang pintar ternyata disana banyak makhluk halusnya. Ada juga sebagian orang yang mengatakan sebelum ke mata air bahwa disana ikannya banyak namun setelah sampai disana ikan-ikannya justru tidak terlihat.[6]


Batu Qur’an yang ada di mata air cibulakan atau cimajep. Foto ini diambil oleh: Windi

C.    Kepercayaan Keris
Tidak semua masyarakat di desa Bandrong memiliki keris, namun narasumber kami aa Dicki Herlimana memiliki Keris yang dianggap sakti atau memiliki kekuatan. contohnya keris marmesem untuk memikat hati orang lain, untuk jodoh, untuk melancarkan suatu hubungan. Caranya keris di dekatkan ke lawan jenis dengan menempelkan pada badannya sedikit tanpa sepengetahuan orang itu atau juga kerisnya di bacain agar yang punya keris itu dilihat orang enak di pandang disukai banyak orang. Keris biasa untuk jaga diri isinya harimau dan selempang, di baca-baca doa kemudian keris akan bergerak sendiri. Keris dimandiinnya pada bulan-bulan Islam seperti bulan safar dan pada malam jumat keliwon, menggunakan air, kelapa ijo, minyak wangi, dan kembang tujuh rupa. Kegunaan keris tergantung dengan kepentingan orang-orangnya yang memiliki.[7]

Ket: foto ini di ambil oleh Dede Nurafiyah di kediaman kang Diki Herliman

Ket: foto ini di ambil oleh Dede Nurafiyah di kediaman kang Diki Herliman

2.3  Ritual dan Upacara Keagamaan di Desa Bandrong

A.    Selametan Kehamilan
Di desa Bandrong Selametan dilakukan oleh wanita yang sedang hamil 3 bulan, 4 bulan dan 7 bulan. Selametan 3 dan 4 bulan dilakukan seperti Selametan biasa pada umumnya mengadakan pengajian yang dihadiri oleh saudara dan kerabat serta tetangga-tetangga. Sedangkan selametan 7 bulan atau yang orang Jawa suka menyebutnya nujuh bulan yaitu dengan cara membuat rujak buah, rujak dibuat bersama oleh ibu-ibu di sekitar rumah. Kemudian rujak tersebut di bungkus menggunakan daun pisang atau daun pisang yang dibuat seperti mangkok dan dicicipi oleh tetangga-tetangga terdekat kalau rasanya enak berarti anak yang dikandungnya merupakan anak perempuan, begitupun sebaliknya jika rasanya tidak enak maka anak tersebut merupakan anak laki-laki.[8]


B.     Maulid Nabi (Maulidan)
Menurut narasumber mamang Haji Lukman tanggal dan hari perayaan Maulidan tidak mesti pada hari itu juga yang tertera pada kalender. Kapan saja diadakan yang terpenting niatnya untuk mengagungkan Nabi besar Muhammad Saw. Maulidan dilakukan dengan masyarakat setempat mambawa hasil bumi ke masjid. Yang dihadiri semua masyarakat desa, BUPATI dan pemerintah desa dan kabupaten juga diundang. Acara maulidan yang pertama melaksanakan Salsilah atau kirim doa seakan-seakan saudara atau kerabat yang sudah tiada dan namanya disebut dalam doa akan hadir di tengah-tengah acara berlangsung, yang kedua melakukan pembacaan illahi, yang ketiga sambutan panitia, pemerintah, yang ke empat membaca kitab albarjanji dan bacaannya pada bagian tertentu, selanjutnya melakukan dzikir Saman, dan doa dipimpin oleh sesepuh. Acara puncak yakni pengambilan hadiah yaitu seperti TV di bungkus menarik di tempel mie instant, uang, bunga sambil dibawa penari saman dan tetap melakukan dzikir lagi dengan berjalan disaksikan oleh masyarakat banyak.[9]
C.    Dzikir Saman
Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana ritual banyak berkembang di kalangan masyarakat yang dalam tata kehidupannya masih mengacu pada nilai nilai budaya yang agraris, serta masyarakat yang memeluk agama dalam kegiatan keagamaannya sangat melibatkan seni pertunjukan. Menurut narasumber dzikir saman atau tarian saman ini pembawanya adalah Syekh Saman yang dahulu membawa tari Saman ke dua daerah pertama di Aceh dan kedua di banten, tariannya berbeda tapi gunanya sama yaitu untuk memperkenalkan Islam pada waktu dulu.[10]
Adapun ciri-ciri seni pertunjukan ritual memiliki ciri-ciri khas,yaitu :
(1) diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral
(2) diperlukan permainan yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual
(3) tujuan lebih dipentingkan dari pada penampilannya secara estetis; dan
(4) diperlukan busana yang khas.
Dzikir Saman yang merupakan Fungsi ekonomi Masyarakat Desa Ciandur, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang-Banten, mengaitkan agama dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat yang terkait dengan unsur-unsur lain, seperti kesenian, mata pencaharian dan lain sebagainya. Kesenian yang hidup dan berkembang di Desa Ciandur yaitu Seni Dzikir Saman sangat kental sekali dengan agama Islam di dalamnya, karena disetiap bagian-bagian dari kesenian ini tidak lepas dari berdzikir dan berdoa pada Allah SWT. “Religiusitas manusia yang tercermin dalam kesenian dan kebudayaan mereka tidak lepas dari pemahaman tentang kehidupan beragama dan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat”. Seni Dzikir Saman sudah ada sejak zaman kesultanan Banten, yang dikenalkan oleh para ulama sebagai penyebaran agama islam. Seperti yang kita ketahui, kesultanan Banten dahulu adalah kesultanan yang sangat makmur sebagai pusat penyebaran agama islam. Pada mulanya Seni Dzikir Saman muncul hanya untuk penyambutan hari lahir Nabi Muhammad SAW saja. Pada saat itu yang dilakukan hanyalah berdzikir dan berdzikir semat-mata untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipa. Dewasa ini, “Seni Dzikir Saman telah berkembang sebagai seni pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan”.[11]
 Masyarakat sering menganggap pertunjukan Seni Dzikir Saman sebagai ungkapan rasa syukur atas peristiwa penting, seperti khitanan, upacara dan pernikahan. Latar Belakang Lahir dan Berkembangnya Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Dikenalkannya Seni Dzikir Saman oleh Bapak Sarka Affandi di Kabupaten Pandeglang Kecamatan Saketi Desa Ciandur, tidak hanya dalam bentuk dzikir dan membaca kitab “Berjanji”/”Albarjanji” saja, tetapi dimasukannya gerakan-gerakan di dalamnya yang menyesuaikan dengan irama beluk. Gerakan-gerakan yang diciptakan oleh beliau masih sangat sederhana atau begitu simple. setelah wafatnya Bapak Sarka Affandi, kepemimpinan di gantikan oleh Bapak H. Lukman yang kebetulan narasumber kami sendiri, bapak H. Lukman hingga sekarang dan melahirkan sebuah perkumpulan baru yang diberi nama “Mekar Muda”. Pada masa kepemimpinan Bapak H. Lukman, Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang mengalami banyak perkembangan, baik itu dari segi gerak, kostum dan pola lantai. Hal ini bertujuan agar Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur tidak berkesan monoton. Pertunjukan Seni Dzikir Saman dilakukan seharian, dari mulai pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 18.00 WIB. Pertunjukan Seni Dzikir Saman dibagi kedalam tiga babakan yang masing-masing babakan dimulai pada jam yang berbeda. Babakan yang pertama yaitu babakan dzikir yang dimana pada babakan ini, seluruh pemain hanya melakukan dzikir dengan khidmat, masing-masing pemain saling berhadapan satu dengan yang lainnya sampai batas waktu yang ditentukan batas waktu dilakukan mulai pukul 08.00-12.00 WIB. Babakan yang kedua yaitu babakan asroqol, pada babakan ini merupakan bagian yang menonjolkan lengkingan suara untuk mengucapkan syair-syair yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW yang diambil dari kitab “Albarjanji”. Selain tukang beluk melengkingkan suaranya, pada babakan ini pun mulai terdapat gerakan-gerakan sederhana, tidak hanya duduk saja, terkadang melakukan gerak berdiri, jongkok dan berputar. Selain itu, pemain mengadukan hihidnya dengan pemain lainnya. Babakan yang terakhir yaitu babakan saman, yang dimulai pada pukul 16.00 sampai dengan selesai, tapi biasanya sebelum maghrib pertunjukan Dzikir Saman sudah selesai. Pada bagian ini seluruh pemain Dzikir Saman melakukan joged dengan masyarakat atau penonton (Ngalage) sesuai dengan irama beluk, karena babakan ini merupakan bagian hiburan dari pertunjukan Dzikir Saman. Setiap babak pastilah ada pola lantai, namun pada pola lantai yang terdapat pada Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur khususnya, tidak mempunyai makna atau arti tersendiri, hanya untuk memperlihatkana nilai estetisnya saja. Sebelum penyajian Dzikir Saman berakhir, dilakukan pembacaan doa bersama-sama. [12]
Fungsi Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang-Banten Dzikir Saman di Desa Ciandur memiliki berbagai macam fungsi di kalangan masyarakat setempat. Fungsi-fungsi yang dimiliki oleh Seni Dzikir Saman yaitu sebagai sarana ritual, sebagai sarana hiburan, sebagai sarana sosial dan sebagai sarana ekonomi. Unsur-unsur religi terlihat sekali pada kesenian ini, karena dalam penyajiannya tidak terlepas dari doa-doa, baik ditujukan langsung kepada Tuhan maupun doa yang ditujukan khusus untuk menghormati leluhur mereka. Sedangkan unsur hiburan bisa dilihat pada saat sebelum akhir pertunjukan Dzikir Saman, khususnya pada babakan Saman. Mengapa Dzikir Saman berfungsi sebagai sarana ritual, karena sehari sebelum dilaksanakannya pertunjukan, semua pemain Dzikir Saman terlebih dahulu melakukan sebuah ritual yang sudah biasa dilakukan, yaitu mengunjungi pemakaman leluhur mereka disertai dengan membakar kemenyan, ini bertujuan untuk menghormati leluhur mereka dan meminta izin agar pada saat pertunjukan Seni Dzikir Saman dapat berjalan dengan lancar.[13]
Akan tetapi, pada masa sekarang ritual-ritual tersebut hanya sebagai formalitas semata. Ritual-ritual tersebut masih tetap dilakukan, tetapi tanpa adanya keyakinan yang berlebih. Fungsi Seni Dzikir Saman sebagai sarana hiburan, karena pada masa sekarang, dapat dipertunjukan pula di acara-acara seperti pernikahan, dan khitanan. Selain sebagai fungsi ritual dan fungsi hiburan, Dzikir Saman pun berfungsi sebagai sarana sosial, karena sebelum dan setelah melaksanakan pertunjukan Dzikir Saman melibatkan masyarakat, sehingga dapat menjalin silaturahmi dan dapat memupuk tali persaudaran antara masyarakat dengan pemain Dzikir Saman. Fungsi terakhir dari Dzikir Saman yaitu sebagai sarana ekonomi, karena untuk mereka yang tergabung dengan perkumpulan Seni Dzikir Saman di Desa Ciandur, dengan adanya kesenian ini mereka sangat terbantu, selain mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya masing-masing, juga mendapatkan penghasilan tambahan sebagai penyambung biaya hidupnya.[14]




 
HGF
F
Ket: kitab Albarjanji, foto ini diambil di kediaman mamang Haji Lukman selaku ketua RT dan ketua pemimpin Saman



Ket: atribut dan pakaian tarian dzikir Saman diperagakan oleh M. Fauzan, M. Irfan, Athoillah dan M. Ibnu

Sumber:https://www.bing.com/images/search?q=dzikir+saman&view=detailv2&&id

D.    Upacara Perkawinan
Sebelum melangsungkan pernikahan ada istilah yang di sebut dengan Nakeni, dimana pihak keluarga perempuan mendahului datang ke tempat laki-laki yang dirasa pantas untuk menjadi calon menantunya, untuk mempertanyakan apakah anak laki-lakinya sudah mempunyai calon istri atau belum. Tapi pada perkembangan Nakeni saat ini dijadikan sebagai suatu upaya untuk mendekatkan keduanya dalam menjaga silaturahmi.[15]
Tahapan selanjutnya adalah Mastetaken, istilah yang digunakan untuk mematangkan rencana yang telah di sampaikan pada upacara Nakeni. Wakil orang tua calon laki-laki berkunjung pada calon pengantin perempuan untuk melamar dan menentukan hari baik pernikahan. Pada kesempatan ini, dibawakan seserahan yang biasanya berupa seperangkat pakaian perempuan. Pada hari yang telah ditentukan, mempelai laki-laki melaksanakan akad nikah namun sebelumnya ada upacara Mapag pengantin atau upacara kedatangan calon pengantin laki-laki beserta keluarganya. Pada prosesi ini mempelai di sambut dengan tarian penyambutan. Dalam prosesi akad nikah, pengantin perempuan tidak di sandingkan dengan pengantin laki-laki. Setelah selesai prosesi akad nikah barulah keduanya duduk bersanding. Setelah mendapatkan doa restu dari seluruh keluarga pengantin laki-laki pulang ke rumahnya untuk mengikuti acara adat yang berlangsung pada malam harinya. Sedangkan pengantin perempuan dan orang tuanya tetap di rumah untuk mempersiapkan upacara Mapag Jawadah.[16]
Masih di hari yang sama, pada malam harinya diadakan prosesi adat Mapag Jawadah yakni merupakan penjemputan jawadah atau makanan kecil berbagai jenis seperti kue lapis, pisang setandan, tebu wulung, tumpeng kecil dari beras ketan, dan sebagainya dari rumah keluarga pengantin laki-laki. Pengantin perempuan bersama keluarganya menyambangi ke kediaman pengantin laki-laki untuk selanjutnya membawa jawadah. Selama Mapag Jawadah, sepanjang perjalanan sambil bershalawat.[17]
Kedua pengantin selanjutnya di arak menuju rumah pengantin perempuan dan di dampingi keluarga kedua belah pihak sambil diiringi lantunan Marhaban. Setelah tiba di kediaman pengantin perempuan dilanjutkan dengan Yalil (buka pintu). Disini pengantin perempuan di bawa masuk ke dalam rumah sedangkan pengantin laki-laki menunggu di depan pintu yang di beri tirai. Pelaksanaan buka pintu di lakukan oleh rombongan fakih yang lazim di sebut Yalil. Di dalam Yalil tersebut berisi nasehat-nasehat yang di selingi dengan kata-kata menggoda pengantin.
Prosesi selanjutnya adalah ngeroncong (nyembah). Kedua mempelai duduk di pelaminan, di depannya ada wadah seperti baskom kecil untuk menampung uang, keluarga bergantian melemparkan uang receh sebagai simbol pemberian bekal untuk memulai hidup baru. Selanjutnya yang terakhir merupakan acara arak-arakan atau ngarak pengantin dengan di meriahkan oleh tabuhan musik rebana dan lantunan doa-doa pujian kehadirat Illahi.[18]

LAPORAN OBSERVASI KEARIFAN LOKAL SUKU BADUY
by: Nur Shabrina
A.    PROFIL SUKU BADUY DESA KANEKE
1.      LETAK GEOGRAFIS
Suku Baduy terletak di daerah Banten, secara geografis suku Baduy terletak pada kordinat 6°27’27”-6°30’0” LS dan 108°3’9”-106°4’55” BT, suku Baduy bermukim tepatnya di kaki gunung kendeng didesa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.suhu rat - rata disana adalah 20 °C. dan tiga desa utamanya adalah cikeusik, cibeo, cikertawana.
Dilihat dari segi geografisnya memang suku Baduy ini jauh dari tempat-tempat umum dan terletak dekat gunung sehingga menyebabkan orang kenakes lebih menutup diri terhadap dunia luar seperti tidak mau belajar baca tulis, mengenal teknologi, dan hanya berpegang teguh terhadap kepercayaan dan adat istiadat yang mereka anut.
Baduy yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana. Dan terbagi atas Baduy luar dan Baduy dalam. Daerah yang berluas 138 ha, terdiri atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan.Masyarakat suku baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan wilayah-wilayah pemukiman Baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut. Dan terbagi ke dalam 65 kampun, 3 kampung di Baduy dalam dan  62 di baduy luar dengan jumlah 65 RT, dan jumlah penduduk mencapai 3.460 jiwa.
Persatuan dan kesatuan orang Baduy sangat baik karena orang Baduy mempunyai Prinsip  gotong royong jika dalam bahasa sunda disebut rereongan. Gotong royong dalam hal ini contohnya dalam pembangunan rumah, pendapatan hasil alam, lalu dari hasil itu ditabung bersama-sama dan masuk ke dalam kas desa.[1]
Dalam masyarakat Baduy luar maupun Baduy dalam dikenal dengan yang namanya rukun agama yaitu yang membedakan Baduy luar dan Baduy dalam dari cara berpakaian. Baduy luar lebih dominan memakai pakaian hitam dengan ikat kepala berwarna biru, sedangkan Baduy dalam lebih dominan memakai baju putih dengan ikat kepala berwarna putih pula.
Agama kepercayaan orang Baduy yaitu sunda wiwitan atau yang mereka sebut dengan slam sunda wiwitan. Disebut islam Sunda Wiwitan karena orang Baduy pun membaca 2 kalimat syahadat seperti halnya dalam islam tetapi agak berbeda. Adapun sistem peradatan yang ada di Baduy luar maupun dalam memiliki perbedaan yaitu dilihat dari sistem adatnya, Baduy dalam lebih mengedepankan sistem peradatan. Berbeda dengan Baduy luar yang masih menjalankan sistem adat, tetapi lebih condong kepada sistem pemerintahan. Jaro berperan sebagai orang yang menjembatani kebutuhan orang Baduy dalam, dan sebagai penghubung ke pemerintah. Biasanya seorang Jaro berasal dari Baduy luar dan lebih mengikuti sistem pemerintahan tetapi tidak juga meninggalkan sistem adat yang berlaku di Baduy.[2]
2.      ASAL-USUL
Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan.Yang mana kepercayaan ini meyakini akanadanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak menggunakan listrik, tembok, mobil dll.
Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.S ungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.[3]
Ada versi lain dari sejarah Suku Baduy, dimulai ketika Kian Santang Putra Prabu Siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan Sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah Baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di Baduy dalamlah Prabu Siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh Ki Saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Perkembangan masyarakat baduy pada masa kini adalah masyarakat baduy dalam sudah bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luar. Mereka juga telah mengenal teknologi tetapi tidak mereka pakai karena mereka tetap berpegang teguh pada adat istiadat yang mereka miliki.
Perbedaan Suku Baduy dalam dan Baduy luar adalah Baduy dalam tidak pernah naik kendaraan kalau bepergian. Karena itu setiap kali ke Jakarta atau ke mana saja mereka harus berjalan kaki dan tidak menggunakan alas kaki, sandal atau sepatu. Sedangkan orang Baduy Luar sudah mulai terbuka terhadap perkembangan seperti menggunakan alas kaki dan bisa naik kendaraan kalau bepergian. Orang Baduy luar bisa berobat ke Puskesmas kalau sakit, sementara orang Baduy dalam dilarang. Mereka menggunakan dukun kampung untuk menyembuhkan sakit. Pola rumah tinggal yang mereka gunakan juga sudah sedikit berbeda. Baduy Dalam sama sekali dilarang untuk menggunakan paku dalam mendirikan rumah. Mereka hanya menggunakan tali untuk mengikat tiang rumah dan kerangka rumah lainnya. Sementara Baduy luar sudah bisa menggunakan paku untuk membuat rumah.
Baduy dalam biasanya tidak berinteraksi dengan masyarakat luar biasanya dengan perantara Baduy Luar, Baduy dalam pun menolak adanya benda- benda elektronik seperti hp, kamera dsb. Sedangkan Baduy Luar, mereka sudah hidup secara modern dan berinteraksi dengan masyarakat luar. Sejak dahulu Baduy dalam dan Baduy luar memang sudah terbagi.[4]
MITOLOGI SUKU BADUY
3.      KONSEP ALAM
Masyarakat Baduy hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupan secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat istiadatnya, serta meniti hari demi hari dengan penuh kearifan.Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Baduy yang cukup menonjol adalah berkaitan dengan pencegahan terhadap bencana atau mitigasi bencana.  Fakta dalam masyarakat Baduy menunjukkan bahwa (1) masyarakat Baduy melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tetapi tidak pernah terjadi bencana kebakaran hutan; (2) di wilayah Baduy banyak hunian penduduk berdekatan dengan sungai, namun tidak pernah terjadi bencana banjir melanda permukiman; (3) walaupun rumah dan bangunan masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu, rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat; dan (4) wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian Barat, tidak pernah terjadi kerusakan bangunan akibat bencana gempa. 
Sistem pertanian masyarakat Baduy yaitu dengan sistem pertanian berladang. Meskipun dalam bidang pertanian mereka tidak mengenal sarana dan prasarana pertanian yang modern serta hanya mengenal sistem perladangan, dimana sistem perladangan adalah sistem pertanian yang paling purba, namun mereka memiliki kearifan lokal yang sangat mengagumkan. Mereka sangat menghormati lingkungannya dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya. Mereka berprinsip bahwa jika keseimbangan tak terjaga, maka malapetaka akan datang dan akan menimpa mereka pula. Sebuah prinsip yang saat ini semakin terlepas pada diri kita yang sering menyebut “manusia modern” ini. Beberapa aktivitas bertaninya yang menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal diantaranya adalah mereka mempunyai pengetahuan yang handal tentang ilmu perbintangan. Ilmu perbintangan ini sangat penting artinya dalam dunia pertanian Baduy. Dengan melihat posisi bintang tertentu (bintang kidang dan bintang waluku), mereka bisa membaca cuaca atau musim beserta dengan perubahan-perubahannya sehingga kerugian bertani akibat perubahan cuaca dapat dihindari. Sementara itu, pada saat memulai penanaman padi di ladang, mereka tidak lupa menancapkan batang atau cabang daun pelah yang mempunyai bau khas. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah serangan hama penyakit dan hewan pengerat tikus. Batang atau cabang yang ditancapkan tersebut merupakan tempat yang sangat disukai capung dan capung-capung ini merupakan predator dan penghalau hama-hama tanaman padi. Burung-burung hantu juga sangat senang bertengger di cabang-cabang tersebut. Burung-burung hantu inilah yang menjadi predator bagi tikus-tikus ladang yang seringkali merusak tanaman padi.Setidaknya dengan keberadaan burung-burung hantu ini keseimbangan alam atau lebih khususnya populasi tikus dapat dikendalikan. Demikian juga dengan penggunaan penyubur tanaman dan pencegahan tanaman dari serangan hama penyakit. Penyubur dan pestisida terbuat dari campuran berbagai dedaunan yang ditumbuk halus dan dicampur dengan abu dapur.Semua bahan-bahan ini sangat ramah lingkungan dan bahannya tersedia di lingkungan mereka sendiri.Ini menunjukkan kemandirian mereka dalam bertani sekaligus kearifannya terhadap alam. Mereka telah mengenal dan menerapkan konsep yang disebut dengan integrated pest management atau pemberantasan hama terpadu yang dalam pertanian modern sekarang ini sangat dianjurkan. Sementara itu, jenis tanaman padi yang ditanam adalah jenis padi lokal yang merupakan hasil seleksi sendiri. Meskipun masa tanamnya lebih lama namun jenis padi lokal mempunyai kualitas lebih baik, rasa dan aroma lebih enak, lebih tahan lama jika disimpan, lebih tahan terhadap hama penyakit, dan adaptif terhadap berbagai kondisi. Ini juga suatu bentuk kemandirian mereka lainnya dalam bidang pertanian.[5]
4.      TRADISI DAN KEPERCAYAAN
Perladangan yang diterapkan di Baduy berpindah-pindah. Setiap tahun panen padi hanya satu kali saja. Lamanya masa tanam padi lima sampai enam bulan.Tanah yang ditinggal pergi oleh seorang peladang harus didiamkan dulu sebelum dijadikan lahan oleh warga lain agar kesuburannya terjaga. Jeda waktu sebelum tanah bisa ditanam lagi semakin singkat. Sekitar 10 tahun lalu tanah diistirahatkan sekitar 10 tahun, sekarang hanya didiamkan tiga sampai lima tahun. Siklus yang semakin cepat ini dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk Baduy yang berefek pada kualitas dan kuantitas produksi padi. Perpindahan ladang umumnya dilakukan setelah satu sampai dua kali panen, meskipun ada juga warga yang baru pindah ladang setelah empat kali panen. Hasil panen di tanah yang sama akan terus menurun setiap tahun. Setiap kali membuka ladang baru, ada tiga pekerjaan yang dilakukan, yaitu memangkas tumbuhan yang ada di tempat, membakar tumbuhan, dan membersihkan tanah dari benda-benda yang mengganggu perladangan.Tanah tidak dibajak demi menjaga kekuatan tanah di tanah Baduy. Setelah tanah siap, dimulailah tanam padi atau yang dikenal dengan nama ngaseuk. Sebelum mulai menanam padi, suku Baduy mengadakan upacara untuk memuji Dewi Sri, yang dikenal sebagai Dewi padi, agar melindungi tanah mereka. Dalam upacara ini, ada mantra-mantra yang diiringi alunan angklung dan kendang kecil (dog-dog).Pemain angklung bertugas membacakan mantra. Upacara ini wajib diadakan di setiap kampung. Warga yang mampu juga boleh mengadakan upacara ini bagi mereka masing-masing. Upacara yang diadakan setiap keluarga sifatnya tidak wajib sebab untuk upacara ini tuan rumah harus menyediakan makan dan kebutuhan lain. Masa tanam padi di kampung-kampung Baduy dimulai ketika Puun sudah menanam padi. Setelah Puun, warga mulai menanam. Beberapa warga memiliki hari baik yang mereka jadikan pegangan untuk mulai menanam padi. Setelah masa tanam warga Baduy tidak lagi mengurus huma mereka secara teratur. Mereka hanya membersihkan ladang dari tumbuhan-tumbuhan yang dapat mengurangi produksi padi. Pengairan ladang dilakukan tanpa irigasi dan hanya mengandalkan hujan. Secara umum dan garis besar, tahapan kerja bercocok tanam di ladang pada masyarakat suku Baduy adalah sebagai berikut:[6]
 a. Pertama, suatu areal hutan yang akan dibuka terlebih dahulu dibersihkan semak belukarnya, yang disebut dengan nyacar dan biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan menggunakan alat antara lain golok dan parang. Pekerjaan itu adakalanya dibantu pula oleh wanita dewasa.
b. Kedua, setelah hutan dibersihkan, kemudian dilakukan penebangan pohon-pohon besar dengan menggunakan kapak, patik atau baliung (sejenis kapak besar). 
c. Ketiga, selanjutnya ranting-ranting kayu dibakar, pembakaran hutan yang sudah ditebang pada dasarnya adalah cara untuk mempercepat proses pembusukan dan sekaligus mengarahkan proses itu sedemikian rupa sehingga zat makanan yang dilepaskan tersalur sebanyak mungkin ke dalam tanaman penghasil pangan yang sudah dipilih. Proporsi yang cukup besar dari energi mineral yang menghidupi tanaman ladang itu khususnya padipadian, lebih banyak berasal dari abu hutan yang dibakar, sehingga sempurnanya pembakaran itu merupakan faktor penting untuk menentukan hasil panen kelak, suatu kenyataan yang barangkali memang disadari oleh semua peladang.
d. Keempat, setelah areal hutan dibakar biasanya tidak langsung digarap, tetapi dibiarkan beberapa waktu lamanya sehingga tanah menjadi dingin. Ketiga, tahap berikutnya adalah penanaman benih berupa padi-padian dan biji-bijian lainnya. Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki dan wanita, pekerjaan ini disebut ngaseuk, yaitu melobangi tanah untuk menanam benih dengan aseuk (tongkat kayu dengan panjang kira-kira satu setengah meter yang ujungnya dibuat agak runcing).Selain padi, di tanah huma ditanam pula kacang-kacangan dan biji-bijian, misalnya jagung, bahkan didaerah Banten orang mulai menanam tanaman keras, seperti kelapa dan buah-buahan. Keempat, selama menunggu masa panen (3-4 bulan), huma perlu dibersihkan dari rumput-rumputan yang tumbuh.Keempat, selama menunggu masa panen (3-4 bulan), huma perlu dibersihkan dari rumputrumputan yang tumbuh di sekitar tanaman.Pekerjaan ini disebut ngoyos (menyiangi). Pada perkem-bangan selanjutnya,dalam pekerjaan ngaseuk dan ngoyos digunakan peralatan berupa cangkul dan kored (sejenis cangkul kecil).
e. Kelima, tahap kelima adalah masa panen. Pekerjaan panen biasanya dilakukan oleh wanita secara gotong-royong, sedangkan laki-laki bertugas mengangkut hasil panen ke rumah masing-masing. Pada setiap tahap dari kegiatan tersebut di atas, terutama kegiatan panen selalu disertai dengan upacara selamatan agar usaha pertanian itu tidak mengalami ganggguan atau diserang hama. Upacara itu merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap alam gaib dalam kehidupan manusia, sebagai bagian dari budaya animisme dan dinamisme.  Dalam hubungan ini masyarakat Baduy tetap mempertahankan mata pencaharian ngahuma, karena hingga kini mereka masih tetap tabu/pamali (dilarang secara adat) untuk mengolah tanah pertanian mereka dengan pola pertanian sawah. Bila dianalisa lebih jauh, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.Pertama, tanah pertanian masyarakat Baduy terletak diperbukitan sehingga sulit dibuatkan irigasi. Kedua, dibalik tabu itu terkandung makna, bahwa mereka mungkin secara tidak disadari sebenarnya telah merasakan manfaat ekosistem.Itulah sebabnya huma di daerah Baduy ditanami pula dengan tanaman keras sebagai pelindung tanah, sehingga tanah pertanian mereka tetap subur. Ketiga, mereka sangat percaya terhadap alam/kekuatan gaib. Suatu areal huma biasanya diolah selama satu sampai tiga tahun.Setelah itu huma dibiarkan menjadi hutan kembali. Menurut tradisi masyarakat Baduy dikenal lima macam huma, yakni: (a) humaserang, ladang adat kepunyaan bersama yang hanya terdapat di Baduy Tangtu (awam menyebutnya Baduy Dalam), yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, (b) huma puun, ladang dinas selama menjabat sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang rumah puun, (c) huma tangtu, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu, (d) huma tuladan, ladang untuk keperluan upacara (seperti huma serang) di Baduy Panamping (Baduy Luar), dan (e) huma panamping, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Panamping (Cecep Eka Permana, 2010:52-54). Huma serang dibuka dan ditanam terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan huma puun, huma tangtu, lalu huma tuladan dan huma panamping. Jenis-jenis huma tersebut merupakan strategi ketahanan pangan masyarakat Baduy.Dalam adat Baduy, padi yang dihasilkan terutama untuk keperluan upacara adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak boleh diperjualbelikan. Hasil padi dari huma serang untuk keperluan upacara adat Baduy Tangtu dan keseluruhan Baduy, sedangkan padi dari huma panamping untuk upacara adat di wilayah panamping.Jika terjadi gagal panen di huma serang, maka padi upacara diambil dari huma panamping.Jika keduanya gagal panen, maka padi diambil dari huma tangtu dan huma panamping. Strategi itu merupakan antisipasi kegagalan panen misalnya akibat cuaca yang tidak menentu dan serangan hama. Dengan membuka ladang yang tidak bersamaan dan pada tempat yang berbeda, maka kegagalan panen dapat dihindari (Cecep Permana, 2010: 54-55).Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam tradisi perladangan yang berdampak pada mitigasi bencana terlihat dalam tradisi pemilihan dan pembakaran lahan ladang (huma).Tradisi pemilihan lahan ladang berkaitan dengan mitigasi bencana tanah longsor, sedangkan tradisi pembakaran lahan ladang berkaitan dengan mitigasi kebakaran hutan.[7]
Menurut pengetahuan yang turun-temurun dari sejumlah informan dan narasumber diketahui bahwa pemilihan lahan huma didasarkan atas jenis tanah, kandungan humus, dan kemiringan lereng.Dari segi jenis tanahnya dapat dilihat berdasarkan warna, kandungan air dan udara, serta kandungan batu. Berdasarkan warnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanah putih), dan taneuh beureum (tanah merah).Tanah hitam merupakan prioritas karena tanah tersebut banyak mengandung surubuk (humus). Berdasarkan kandungan air dan udaranya dikenal taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear (tanah gembur). Untuk memperoleh lahan huma yang baik, maka sebaiknya dipilih taneuh bear karena pada tanah ini selain terdapat air, juga longgar dan terdapat banyak udara sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas.Sementara itu, berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya batuna (tanah yang tidak ada batunya) dan jangan memilih taneuh karang (tanah yang banyak terdapat batu). Dari segi kandungan humusnya dapat dilihat dari banyak tidaknya surubuk dan koleang. Surubuk merupakan istilah Baduy untuk menyebut humus  sebagai kandungan dalam tanah yang dapat menyuburkan tanaman, sedangkan koleang berupa daun-daun kering yang jatuh atau terdapat pada permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting bagi masyarakat Baduy sebagai pupuk organik.Berbeda dengan jenis tanah dan kandungan humus, segi kemiringan lereng lebih berkaitan langsung dengan mitigasi bencana.Menurut para informan, dari segi kemiringan lereng orang Baduy membedakannya menjadi lahan gedeng (lahan yang miring atau curam) dan lahan cepak (lahan di tempat datar). Pilihan terbaik untuk lahan ladang adalah lahan cepak. Secara praktis lahan tersebut lebih mudah dalam pembukaan dan pengelolaan lahan. Tetapi dalam kenyataan di lapangan didapati bahwa bentukan permukaan lahan di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah yang datar sehingga banyak ladang ditemukan pada lahan gedeng. Oleh karena itu, upaya mitigasi longsor yang dilakukan adalah dengan tidak menebang pohon-pohon besar yang terdapat di lahan tersebut. Selain itu, untuk menjaga agar humus tanah tidak terbawa air hujan, maka pada lereng tersebut biasanya dibuat teras-teras penahan yang terbuat dari potongan-potongan kayu. Kearifan lokal dalam kaitannya dengan mitigasi kebakaran hutan terlihat dalam tradisi ngahuru atau ngaduruk, yakni membakar tebangan sehabis membuka ladang. Dahan, ranting, dedaunan dan rerumputan bekas potongan/tebasan harus dikeringkan dan dionggokkan untuk dibakar.Kegiatan pengonggokan ’sampah’ tersebut disebut dangdang (Baduy Panamping) atau nyampurai (Baduy Tangtu). Kegiatan yang dilakukan adalah membuat onggokan besar di tengah-tengah ladang yang diperoleh dari ’sampah’ di sekelilingnya.Kemudian tidak begitu jauh dari onggokan besar di tengah tersebut dibuat onggokan-onggokan lebih kecil mengitarinya. Di antara onggokan-onggokan tersebut tidak boleh ada ’sampah’ yang tersisa agar ketika pembakaran api tidak menjalar ke mana-mana. Demikian pula, antara anggokan-onggokan kecil ’sampah’ dan batas ladang juga harus dibuat bersih, agar api tidak menjalar ke luar ladang yang dapat menyebabkan kebakaran hutan atau ladang milik warga lain. Awal kegiatan ngahuru atau ngaduruk ini harus berpatokan pada pertanggalan bintang.Dalam ungkapan yang diutarakan oleh Sangsang (48 tahun), informan dari kampung Cibeo (Baduy Tangtu), “gek kidang ngarangsang kudu ngahuru”, yang artinya lebih kurang adalah “jika melihat bintang kidang (waluku) seperti pada posisi matahari pagi, maka waktunya mulai membakar sisa-sisa tebangan di ladang”. Daerah Baduy saat membakar onggokanonggokan ’sampah’ ladang tersebut seolah-olah sedang terjadi kebakaran hutan, karena asap mengepul di mana-mana. Walaupun demikian, pada saat kegiatan ini tidak pernah terjadi kebakaran hutan. Selama pembakaran selalu dijaga agar api tidak merambat kemana-mana. Bila akan ditinggalkan harus dipastikan bahwa api dan bara telah benar-benar padam. Abu sisa pembakaran ini dibiarkan tertinggal pada lapisan atas tanah sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba. Tradisi Baduy juga mengajarkan bahwa dalam perladangan dilarang (buyut) menggunakan peralatan pacul apalagi bajak. Alat-alat tersebut dapat menyebabkan tanah menjadi terbolak-balik dan permukaan tanah berubah. Terbolak-balik dan berubahnya permukaan tanah diyakini akan berdampak pada ketidakstabilan permukaan tanah dan dapat mengakibatkan tanah longsor. Oleh karena itu, dalam tradisi menanam benih padi di ladang hanya menggunakan tongkat kayu (tugal) yang disebut aseuk.Kegiatan menugal atau membuat lubang-lubang kecil untuk memasukkan benih padi tersebut disebut ngaseuk. Permukiman dimasyarakat baduy ditentukan oleh Puun, bangunan yang akan didirikan harus sesuai dengan struktur tanah dan letak topografi daerah tersebut. Kondisi rumah, bentuk rumah, susunan ruangan sudah disesuaikan dengan ketentuan adat.Walaupun mereka memiliki tanah tetapi mereka tidak boleh mendirikan bangunan secara sembarangan tanpa ada perijinan dari ketua adat terlebih dahulu. Sebelum mereka mendirikan rumah lahan yang akan digunakan harus diterawang oleh ketua adat, apakah lokasi tersebut sudah cocok atau tidak untuk ,mendirikan rumah.
5.      ARSITEKTUR BANGUNAN
Bentuk bangunan permukiman masyarakat Badui rata-rata memiliki bentuk yang sama yaitu ruangan rumah dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (a) Teras (sasoro); (b) Ruang tengah (depas); (c) Dapur (imah)  Bentuk arsitektur bangunan rumah dan bangunan lainnya dikaitkan dengan kondisi lingkungan seperti :
a.          Atap terbuat dari daun aren (kirey) dan ijuk, berfungsi untuk menghindari ruangan dalam rumah saat hujan turun agar air tidak masuk kedalam rumah dan dapat langsung terkena sinar terik matahari sehingga ruangan dari rumah terhindar dari kelembapan.
b.          Tiang terbuat dari kayu mahoni, karena kayu mahoni termasuk kayu yang paling kuat sehingga mengantisipasi agar rumah tidak cepat roboh dan tahan terhadap bencana alam seperti angin, air hujan, dan gempa.
c.          Dinding rumah terbuat dari bambu (dalam bentuk anyaman). Bambu termasuk tumbuhan yang elastis sehingga mudah dijadikan penutup rumah Fungsinya tahan terhadap angin dan memberikan efek sejuk di dalam rumah. [8]
Selain itu bentuk bagunan masyarakat Baduy rata-rata memiliki bentuk yang sama, hal ini menunjukkan kesederhanaan didalam lingkungan masyarakat. Bentuk permukiman dari tiap-tiap rumah saling berkelompok sesuai dengan topografi yang ada. Letak permukimannya berada di pinggir sungai .Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat Baduy dalam mendirikan bangunan masih tergolong sederhana, namun menjunjung tinggi kearifan lingkungan. Bangunan rumah Baduy umumnya berbentuk sama berupa rumah panggung sederhana dari bahan kayu, bambu, ijuk dan rumbia. Rumah panggung ini mempunyai ukuran yang hampir sama. Menurut Sarpin (42 tahun) warga kampung Balimbing (Baduy Panamping) tentang rumah yang sama dan sederhana tersebut: “...kudu sarua ulah aya anu luhur handapan hirup sadarahana...” (yang maksudnya: harus sama tidak boleh ada yang tinggi atau rendah dan hidup dalam kesederhanaan). [9]Pernyataan tersebut juga bermakna kesetaraan setiap warga Baduy selama hidup di dunia. Menurut keyakinan orang Baduy, mereka akan berbeda jika sudah berada di alam setelah meninggal bergantung pada amal kebajikannya di dunia. Rumah Baduy yang berbentuk panggung secara umum berkaitan erat dengan kepercayaan bahwa rumah sebagai pusat yang memiliki kekuatan netral yang terletak diantara dunia bawah dan dunia atas. Rumah tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah (sebagai bagian dari dunia bawah). Oleh karena itu, rumah dibuat dengan cara memasang tiang-tiang kolong yang ditegakkan di atas batu umpak. Secara khusus, rumah Baduy berdasarkan susunan vertikalnya merupakan cerminan pembagian jagat raya.Kaki atau tiang melambangkan dunia bawah (dunia kegelapan, neraka), tubuh atau dinding dan ruang di dalamnya melambangkan dunia tengah (dunia kehidupan alam semesta), dan kepala atau atap melambangkan dunia atas (dunia abadi, kahyangan). Jika rumah tanpa kaki dianggapnya sama saja dengan hidup di dunia bawah, atau jika rumah menggunakan atap genting, sama artinya dengan dikubur hidup-hidup (karena genting terbuat dari tanah) (Cecep Eka Permana, 2010: 82-83). Khusus pada masyarakat Baduy Tangtu bila mendirikan rumah pada tanah yang miring, maka tidak boleh meratakan tanah tersebut. Meratakan tanah berarti akan merusak dan membolak-balik tanah. Membolak-balik tanah berarti melanggar pikukuh.Untuk memperoleh lantai rumah yang rata, maka tihang (tiang) rumah diatur ketinggiannya.Tanah yang merendah dibuatkan tiang yang lebih tinggi dibandingkan tiang pada tanah yang meninggi. Dengan demikian, jika kita memasuki permukiman Baduy Tangtu akan terlihat jelas bentuk kontur atau permukaan tanah aslinya. Air hujan akan  mengalir mengikuti jalan alamiahnya. Karena tidak ada rekayasa yang bertentangan dengan apa adanya, maka tidak pernah terjadi erosi, tanah longsor, atau banjir di permukiman-permukiman Baduy tersebut.  Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam tradisi bangunan tradisional yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa (lini) terdapat pada konstruksi, teknik sambung dan ikat bangunan, serta penggunaan umpak.Konstruksi bangunan rumah menggunakan bahan berasal dari lingkungan mereka sendiri seperti kayu dan bambu.Struktur bangunan didirikan atas sistem rangka yang terbuat dari kayu berupa balok dan tiang persegi empat.Struktur penutup dinding terbuat anyaman bambu (bilik/geribig) yang dibiarkan warna dan karakter aslinya. Bambu-bambu yang dibelah juga digunakan untuk menjadi struktur penutup pada pengakhiran anyaman bambu.Semua rincian konstruksi diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut dan sambungan berkait.Orang Baduy Tangtu dilarang menggunakan paku dalam pembuatan rumah. Untuk pengikat umumnya digunakan rotan dan bambu, atau dengan teknik pasak.Struktur lantai rumah umumnya digunakan bambu yang yang dibuat berbentuk lembaran-lembaran disebut palupuh. Sementara itu, untuk struktur utama hateup (atap) digunakan atap rumbia (kiray) dengan bambu dan rotan sebagai pengikat. Jika terjadi gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kerusakan atau kehancuran. Selain itu, baik rumah masyarakat Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping, semuanya didirikan di atas umpak batu (dedel). Hal itu menurut penjelasan dari para narasumber bermakna filosofis bahwa rumah Baduy sebagai pusat antara dunia bawah dan dunia atas. Dalam kaitan ini, umpak batu menjadikan rumah tidak menyentuh tanah yang melambangkan dunia bawah. Secara praktis, umpak batu juga berfungsi mencegah rayap atau pelapukan tiang rumah akibat udara basah atau lembab pegunungan. Adanya hawu dan parako di dalam rumah juga merupakan kearifan lokal tersendiri. Hawu bila berdiri sendiri berfungsi sebagai perapian berupa bidang segi empat yang sisi-sisinya terbuat dari kayu/papan yang diisi tanah (bawah) dan abu (atas). Namun bila bersama parako (tungku dari tanah liat), maka hawu berfungsi sebagai dasar tungku. Dengan adanya hawu, maka berfungsi mencegah kebakaran karena api atau bara pada parako tidak membakar lantai palupuh yang ada di bawahnya. Secara teknis, struktur dan sambungannyalah yang menunjukkan adanya kearifan lokal yang terkait dengan mitigasi bencana.Sedangkan secara simbolis, umpak menunjukkan kepercayaan yang terkait dengan alam, yaitu dipandang sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia bawah. Selain rumah tinggal, ada satu bangunan penting bagimasyarakat Baduy, yakni lumbung (leuit). Seperti halnya bangunan rumah, lumbung juga dibuat dengan menggunakan bahan alami seperti kayu dan bambu, serta atap dari rumbia atau ijuk. Lumbung-lumbung ini terletak berkelompok di luar permukiman. Biasanya tiap keluarga memiliki satu hingga tiga buah lumbung. Bangunan ini umumnya berukuran 1,5 x 1,5 m sampai 2 x 2 m. Bangunan lumbung juga memiliki kolong dengan tinggi kaki sekitar 1 sampai 1,5 meter. Secara umum terdapat dua jenis bangunan lumbung, yakni lumbung yang memiliki geuleubeug dan lumbung tanpa geuleubeug). Bangunan lumbung yang memiliki geuleubeug adalah lumbung yang pada bagian atas kaki bangunan terdapat semacam piringan bulat dari kayu dengan diameter 30-50 cm yang terletak sekitar 30 cm di bawah lantai lumbung. Fungsi dari piringan ini adalah untuk mencegah agar tikus atau binatang pengerat lainnya tidak dapat naik dan masuk ke dalam lumbung.Bagian badan dari lumbung ini agak mengecil ke arah bagian bawah.Lumbung tanpa geuleubeug berukuran lebih pendek. Bagian badan lumbung memiliki ukuran yang sama dari bagian atas hingga bawah. Bentuk lumbung seperti ini banyak dijumpai dan dibuat saat ini.Pengetahuan tentang peletakan lumbung-lumbung terpisah dari permukiman merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy yang khas sebagai mitigasi bencana kebakaran rumah atau kampung.Tidak ada pola khusus peletakan lumbung, ada yang berada di seberang sungai, di balik hutan kampung, di lereng bukit, atau pada jarak 10-20 meter dari rumah terakhir. Selain itu, seperti halnya bangunan rumah, lumbung ini juga didirikan di atas tiang yang dilandasi oleh umpak batu kali. Selain secara teknis untuk mencegah pelapukan kaki bangunan, cara ini juga dapat menjaga kelenturan bangunan jika terjadi goncangan gempa hingga bangunan tidak roboh.
6.      INTERAKSI SUKU BADUY  DENGAN AGAMA-AGAMA LAIN
Interaksi orang-orang suku Baduy dengan penganut agama lain di sekitar wilayah suku Baduy sangat amat harmonis, dimana interaksi antara suku Baduy dengan masyarakat luar sangat amat menghargai satu sama lain, masyarakat Baduy terkenal dengan keramahannya dan menghargai orang-orang yang berkunjung ke ranah mereka. Berdirinya kesultanan Banten yang secara otomastis memasukan mereka ke dalam wiayah kekuaaannya pun tidak terlepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan atau pengakuan kepada penguasa masyarakat Baduy rutin melaksanakan seba ke kesultanan Banten, sampai sekarang upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten dan bupati kabupaten. Mencirikan silaturahmi suku Baduy dengan pemerintah.
7.      SOCIAL BUDAYA DAN MATA PENCAHARIAN SUKU BADUY
Pola hdup antara masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar secara umum hamir sama, misalnya anak-anak mereka dilarang bersekolah secara formal. Menurut sang ibu kepada kami:
kalau mereka bersekolah menjadi pinter, dan kaklau pinter ngeminterin orang”.  

Memang anaknya berkeinginan untuk sekolah tetapi dilarang oeh jaro, ereka harus atuh pada apa yang sudah menjadi ketentuan yang disebut dengan pikukuh karuhun  yang ditetapkan oleh sang Pu’un. Jadi daam hal pendidikan anak-anak usia sekolah bagi masyarakat Baduy, baik Baduy luar maupun Baduy dalam, sebagian ada keinginan untuk sekolah, namun tidak dapa terlaksanakan karen adanya larangan dari adat.
Permasalahan yang dihadapi apabila ketentuan adatyang diputuskan oleh Puun bertentangan dengan ketentuan pemerintahan kabupaten lebak, misalnya dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun dimana anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikan dasar, tetapi ketentuan adat Baduy melarang anak-anak Baduy luar maupun dalam untuk sekolah formal.
Tak hanya itu, masyarakat Baduy termask masyarakat yang produktif, senantiasa memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegiatan yang mengahasilkan dan bermanfaat. Sebagaimana tampak pada salah satu rumah penduduk yang peneliti hampiri dii teras rumahnya ada seorang wanita usia sekitar 31 tahun lebih, sedang tekun menenun kain. Hasil tenunannya ada yang berupa selendang dan ikat kepala. Kegiatan menenun ini dikerjakan saat waktu lenggang dan tidak sedang ngahuma (berladang).
Mata pencahaian masyarakat Baduy Kanekes (baduy luar dan baduy dalam) yang paling utama adalah bercocok tanam pada huma 99% dan berkebun serta membuat kerajinan atau koja atau tas yang terbuat dari kulit kayu, mengelolah gula aren, dan tenun. Padi tidak dijual, kecuali cabe, pisang, jahe. Selain itu suku Baduy luar, ada juga mendapatkan penghasilan tambahan dengan membantu mengerjakan lahan oang lain, di luar desa Kanekes. Ada pula yang membantu memasarkan hasil kerajinan khas Baduy seperti: gantungan kunci dari balok kelapa, dan menenun selendang, sarung dan sebagainya. Sementara di Baduy dalam yang banyak mengahasilkan kebon, tidak perlu membawanya keluar tetapi justru para pedagang (pengusaha) yang mendatangi langsung ke petani Baduy dalam.
Dengan demikian, social Budaya dan mata pencaharian suku Baduy masih terbilang jauh, namun hal ini tidak menjadi masalah yang central karena mereka demikian nyaman dengan apa yang mereka jalani saat ini.
LAPORAN OBSERVASI KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK HINDU BUDDHA BUMI SEGANDU
by: Afida Maulia Sabarini
Suku Dayak Losarang adalah sebuah komunitas sosial yang eksistensinya sudah lebih kurang 40 tahun muncul sebagai fenomena sosial di Indramayu, dengan aturan dan gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat pada umunya. Mulai dari cara berpakaian yang dwi-warna (Hitam Putih) dan bertelanjang dada serta penggunaan aksesoris gelang dan kalung yang terbuat dari akar pohon dan batu-batuan, Sampai dengan kepercayaan yang berbeda. Dan yang tak kalah penting adalah mereka terbentuk bukan dari kaitan dengan keturunan etnis Dayak yang ada di kalimantan tetapi berasal dari keturunan Jawa Dermayon.
  1. Asal Usul Penamaan
Komunitas ini merupakan menamakan dirinya dengan sebutan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu atau lazim disebut sebagai Komunitas Dayak Losarang. Menurut penjelasan Ki Takmad sebagai pendiri komunitas ini, penamaan Suku Dayak ini mengandung makna sebagai berikut; Kata Suku artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing.
Kata dayak berasal dari kata ayak atau ngayak yang artinya memilih atau menyaring. Sedangkan makna kata dayak disini adalah menyaring, memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah.
Kemudian kata hindu artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dari kandungan sang Ibu (perempuan). Sedangkan kata Budha, asal dari kata wuda, yang artinya telanjang. Makna filosofinya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang.
Selanjutnya adalah kata Bumi Segandu Indramayu. Kata bumi mengandung makna wujud, sedangkan segandu bermakna sekujur badan. Gabungan kedua kata ini, yakni bumi segandu mengandung makna filosofi sebagai kekuatan hidup. Adapun Indramayu, mengandung pengertian In maknanya adalah inti, darma artinya orang tua, dan kata ayu maknanya perempuan.         
Makna filosofinya adalah bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber hidup, karena dari rahimnyalah kita semua dilahirkan. Jadi penyebutan kata suku pada komunitas ini bukan dalam konteks terminologi suku bangsa (etnik) dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari makna kata-kata dalam bahasa daerah (jawa dermayon).
Demikian juga dengan kata dayak, bukan dalam pengertian suku bangsa (etnik) Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi performan ada kesamaan, yakni mereka (kaum laki-laki) sama-sama tidak mengenakan baju. Serta mengenakan asesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki) yang dianggap memiliki daya magis tertentu.
Lebih jauh, pemimpin komunitas ini menjelaskan tentang pemakaian kata hindu-budha pada sebutan komunitas ini. Kendatipun komunitas ini menggunakan kata tersebut, bukan berarti bahwa mereka adalah penganut agama Hindu ataupun Budha. Penggunaan kata hindu, karena komunitas ini meneladani pri-kehidupan kelima tokoh Pandawa, yang terdiri atas: Yudistira, Bima (Wirekudara), Arjuna (Permadi), Nakula dan Sadewa, serta tokoh Semar, yang dipandang sebagai seorang mahaguru yang sangat bijaksana. Adapun penyebutan kata budha karena mereka mengambil inti ajaran Aji Rasa (tepa selira) dan kesahajaan yang merupakan inti ajaran agama Budha.
2.      Perkembangan Komunitas Suku Dayak Losarang
Awal sejarahnya pada tahun 1973 sampai dengan Juni 1975 di desa Krimun Rt.12/04 Blok Tanggul kecamatan losarang, berdiri sebuah padepokan perguruan Silat Serba Guna (SS) di atas tanah seluas 750 m yang diajarkan oleh Takmad, wakilnya adalah Warlam. Perguruan tersebut mengajarkan ilmu bela diri dan ilmu kebatinan.
Pada akhir 1975 kegitan perguruan tersebut mulai tidak lagi mengajarkan pencak silat, justru cenderung beralih kepada perguruan kebatinan dan ilmu ngaji rasa. Intisari dari pengajarannya adalah adaptasi pada alam sekitarnya atau mereka sebut nur alam. Sejak tahun 1982 Perguruan Silat Serba Guna masuk ke dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), namun di penghujung tahun 1988 Perguruan Silat SS berubah Nama menjadi Jaka Utama.
Seiring dengan perjalanan kebatinan Takmad pada sejak 1996 terjadi evolusi identitas organisasi, di perguruan tersebut mulai tidak lagi memakai seragam hitam-hitam namun “wuda” atau tidak memakai baju hanya bercelana panjang selutut dan memiliki dwi-warna yaitu hitam putih, kanan putih kiri hitam.
Kemudian di tahun 1997 terjadi perubahan mendasar dari awal sebagai sebuah Organisasi kini menjadi sebuah komunitas yang bukan berdiri atas persatuan dan kesatuan, tetapi menyatu. Menyatu karena orang-orang masuk dengan sendirinya yang dinamai Suku Dayak Siswa. Namun di akhir tahun 1997 pula komunitas ini berubah nama menjadi Suku Dayak Mahasiswa, yang konon ini dipengaruhi oleh isu nasional pada gerakan mahasiswa sampai dalam penjatuhan rezim soeharto. Penamaan mahasiswa pada nama komunitas tersebut karena memaknai bahwa mahsiswa adalah ujung tombak perubahan sosial yang mencoba mengubah dunia (red, indonesia) yang menjunjung tentang kebebasan.
“Sejatinya reformasi adalah sudah alam yang mengatur, dan kita disini memaknai reformasi sebagai dukungan spirit perubahan menjadi lebih baik, sebagaimana yang dilakukan oleh mahasiswa”.
Pada tahun 2000, hasil perjalanan kontemplasi “Wong Tua” mendapat nama Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu untuk mengubah kembali nama komunitas tersebut, dan nama ini digunakan sampai sekarang. Dan kini komunitas tersebut menggunakan identitas paten yakni ; tidak berbaju, memakai celana pendek sampai lutut dengan dwi-warna yaitu kanan berwarna putih dan kiri berwarna hitam, memakai topi “kukusan” dwi-warna yaitu sisi kanan putih dan sisi kiri hitam, serta aksesoris lainnya termasuk gelang, kalung dan sabuk.
  1. Nilai-nilai Ajaran Hidup
Ajaran dari komunitas Dayak Indramayu dinamakan dengan sebutan Sejarah Alam Ngaji Rasa. Lebih jauh Ki Takmad menjelaskah bahwa Sejarah adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan dan kenyataan. Sementara itu, Alam adalah ruang lingkup kehidupan atau sebagai wadah kehidupan.
Adapun Ngaji Rasa adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dangan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya, dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri.
Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agama maupun akar budaya tertentu. Mereka berusaha mencari pemurnian dari dengan mengambil teladan sikap dan perilaku tikoh pewayangan Semar dan Pandawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggungjawab terhadap keluarga.
Proses menuju pemurnian diri, menurut Ki Takmad, melalui beberapa tahap yang harus dijalin dengan menjauhkan diri dari keramaian dunia yang mengejar kesenangan duniawi. Tahap-tapah tersebut adalah;
1.      Wedi
2.      Sabar
3.      Ngadirasa (ngajirasa)
4.      Memahami benar-salah.
Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian (takut, penakut) baik terhdap alam maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan perasaan sabar dan pasrah diri dalam arti berusaha selaras dengan alam tanpa merusak alam. Prinsipnya adalah jangan merusak alam apabila tidak ingin terkena murka alam. Itulah yang disebut ngaji rasa atau ngadirasa. Setelah bersatu dan selaras dengan alam, dalam arti mengenal sifat-sifat alam sehingga bisa hidup dengan tenteram dan tenang karena mendapat lindungan dari Nur Alam (pencipta alam), manusia akan memahami benar-salah dan selanjutnya dengan mudah akan mecapai permurnian diri yaitu dimana manusia tidak lagi memiliki kehendak duniawi. Cerminan dari manusia yang telah memahami benar-salah, tampak dalam kehidupan sehari-harinya. Manusia yang telah mencapai tahap tersebut, akan selalu jujur dan bertanggungjawab. sedangkan ngadisara, ajaran yang diakui sebagai jalan menuju pemurnian diri, mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri dari Tiga Ta (harta, tahta dan wanita).
Bagi para pengikut yang telah menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan istrinya. Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di,luar pernikahan sangat ditentang.
“Jangan coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,”.
Ngaji rasa juga mengajarkan untuk saling mengasihi kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang sedang kesulitan walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagih utang kepada orang yang diberi pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang tersebut untuk membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal mendidik anak, sebaiknya tidak terlalu banyak mengatur karena yang bisa mengubah sikap dan perilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan menuju pemurnian diri juga ditunjukan dengan hidup yang sederhana, menjauhi keinginan mengejar kesenangan duniawi, menghilangkan perasaan dendam, penasaran dan iri kepada orang lain.
Konsepsi tentang alam tampak dari keyakian bahwa dunia berasal dari bumi segandu (bumi yang masih bulat) bernama Indramayu. Bumi segandu, kemudian menimbulkan lahar menjadi daratan, kekayon (kayu-kayuan), dan air. Setelah itu muncul alam gaib, yang mengendlaikan semua itu adalah Nur Alam.
  1. Ritual Ajaran Sejarah Alam
Ritual yang dijalankan oleh anggota Suku Dayak Hindu-Budha Segandu Indramayu, dilakukan pada setiap malam Jum’at kliwon, bertempat di pendopo Nyi Ratu Kembang. Dalam kegiatan ritualnya mereka duduk membuat lingkaran kecil  mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo. Sementara itu, kaum perempuan duduk diluar pendopo.
Ritual diawali dengan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu bait dari Pujian Alam, berbunyi sebagai berikut:
ana kita ana sira,
wijile kita cukule sira,
jumlae hana pira, hana lima,
ana ne ning awake sira.
Rohbana ya rohbana 2x,
robahna batin kita.
Ning dunya sabarana, benerana,
 jujurana, nerimana, uripana, warasana,
 sukulana, penanan, bagusana.
yang artinya adalah:
ada (nya) saya (juga) ada (nya) kamu,
lahirnya saya tumbuhnya kamu,
jumlahnya ada berapa, (ya) ada lima.
(yaitu) Ada di badan kamu,
Rohbana ya rohbana 2x,
Ubahkan bathin saya.
Di dunia sabarkanlah, benarkanlah,
Jujurkanlah, nerima (legowo), hidupkanlah, sembuh (sadar)kanlah,
Tumbuhkanlah, rawatkanlah, baguskanlah.
Selesai melantunkan Kidung dan Pujian Alam, kemudian Ki Takmad Diningrat memaparkan cerita pewayangan tentang kisah Pandawa Lima dan guru spiritual mereka, Semar. Usai paparan wayang, Ki Takmad memberikan petuah-petuah kepada para pengikutnya. Paparan wayang dan petuah ini berlangsung hingga tengah malam. Kata-kata yang diucapkannya dijadikan pedoman bagi pengikutnya. Usai itu, para lelaki menuju ke sungai yang terletak di belakang benteng padepokan. Di sungai dangkal itu mereka berendam dalam posisi telantang, yang muncul hanya bagian mukanya saja. Mereka berendam hingga matahari terbit. Ritual berendam ini disebut kungkum. Siang harinya, di saat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang berlangsung mulai sekitar pukul 11.00 WIB  hingga pukul 15.00 WIB. Ritual ini disebut pepe.
Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe (berjemur) dan melantunkan Kidung dan Pujian Alam, adalah kegiatan ritual mereka yang dilakukan setiap anggota. Kegiatan ini secara massal hanya dilakukan pada setiap malam jum’at kliwon.
Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan.
“Bagi yang mampu silahkan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukan, atau lakukan semampunya saja,”.
  1. Intteraksi Sosial  dengan Masyarakat Beragama
Suku Dayak Losarang hidup di tengah-tengah dan berbaur masyarakat sekitarnya, akan tetapi dalam beberapa hal, mereka mengisolasikan diri dari lingkungan masyarakatnya. Misalnya untuk tempat tinggal dan tempat peribadatan (ritual) mereka, dibentengi dengan dinding yang cukup tinggi dan diberi ornamen lukisan-lukisan. Di dalam benteng ini terdapat beberapa bangunan yang terdiri atas: Keraton Nyi Ratu Kembar, Tata Rakhkatau (pendopo),  pesanggaran (tempat bermeditasi), kolam yang digunakan untuk berendam dan sebuah bangunan rumah tinggal pemimpin suku dayak.
Dalam kesehariannya dalam hal perekonomian, mereka umumnya adalah bekerja sebagai seorang petani, buruh, pedagang dan nelayan. Dan pendidikan terakhir mereka pun hanya sampai Sekolah Dasar serta beberapa dari mereka sampai Sekolah Menengah Pertama. Berdasarkan ajaran Bapa, pendidikan terbagi atas dua kategori yaitu Sekolah Sejarah dan Sekolah Alam. Sekolah sejarah adalah pendidikan yang di dapat dari kebudayaan manusia seperti Sekolah Dasar, Sekolah Diniyah, SMP dan SMA. Dan yang terpenting bagi manusia adalah Sekolah Alam, yaitu  pendidikan yang diajarkan oleh alam kaitannya dengan perilaku dan cara hidup manusia di dunia yang sepantasnya harus selaras dan saling ketergantungan dengan alam. Bagi yang tidak mengerti dalam hal ini akan melakukan perusakan terhadap alam, maka alam pun akan merusak manusia dengan hukumnya, begitu juga dengan sebaliknya.
Pengikut dari komunitas dayak losarang adalah mayoritas mantan preman yang pada kehidupan sebelumnya suka mencuri, merampok, pezinah, pemabuk dan gemar berjudi. Tetapi setelah menyatu dengan Bapa meraka tidak lagi melakukan hal-hal buruk yang seperti kehidupan sebelumnya, mereka menjadi toleran, sopan dan suka menolong terhadap masyarakat sekitar Desa Krimun sebab di sekitar padepokan  masyarakatnya mayoritas adalah janda-janda lansia dan selama ini mereka tidak pernah membuat masyarakat sekitar merasa resah. Bahkan terkadang juga Ki Takmad suka membagi-bagikan uang kepada anak-anak di sekitar desa tersebut,
lha wong kita due rejeki ya dibagi-bagiaken, kita ora tega baka ana bocah cilik njaluk sangu sekolah wong tuane laka duite mader gah padha mangan sega aking enggal dinane. Kudu belajar ning alam ya bari ndeleng ning sekitare
Artinya, “lha orang saya sedang mempunyai rizki ya (saya) bagi-bagikan, saya tidak sampai hati (ketika) ada anak kecil yang meminta uang saku (untuk) berangkat sekolah (tapi) orang tuanya tidak memiliki uang, (sebab) hanya mengkonsumsi nasi aking dalam kesehariannya. Harus belajar (kepada) alam ya sambil melihat (dan memahami) di sekitar (kita)”
Meski disamping itu juga ada mantan ustadz dan masyarakat awam pada umumnya ikut karena menginginkan kehidupan yang nyaman menurut mereka.
Dalam praktiknya, Ki Takmad menjelaskan bahwa ada kasta dalam kelompok tersebut yang dilihat berdasarkan keimanan dan amaliah ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa yaitu:
Pertama, pengikut yang wudha atau yang setengah telanjang hanya memakai celana sepanjang lutut dengan memiliki dwi-warna (celana sebelah kanan berwarna putih dan kiri berwarna hitam), memakai 3 macam warna gelang yang terbuat dari bahan yang berbeda yaitu batu, kayu dan tulang. Ikat pinggang yang terbuat dari kayu dan berukir gambar tokoh pewayangan serat caping yang dwi-warna.
            Pengikut yang wudha adalah pengikut yang sudah melakukan kungkum dan pepe selama empat bulan berturut-turut dan berikutnya di setiap tahun melakukan kungkum dan pepe dilakukan 24 hari tanpa dengan ketentuan tanggal. Dan semenjak itu mulai tidak mengkonsumsi hal-hal yang berasal dari unsur hewan termasuk susu dan telur.
            Kedua, pengikut berseragam yaitu pengikut yang dalam kesehariannya menggunakan kostum hitam-hitam (baju hitam dan celana hitam), mereka golongan yang masih belum mampu atau belum siap melakukan kungkum dan pepe dalam empat bulan, namun mereka sudah menjalani hidup tanpa mengkonsumsi makanan yang berasal dari unsur hewani. Dan ketiga, adalah preman, preman yang mereka maksud adalah awam. Yaitu mereka yang masih menggunakan pakaian yang pada umumnya namun ditandakan dengan gelang yang mereka pakai dan setiap kajian malam jumat kliwon mereka datang ke padepokan.  


[1] Di akses dari http://www.bantenprov.go.id pada 12 Mei. 16
[2] Di akses dari http://www.bantenprov.go.id pada 12 Mei. 16
[3] Di akses dari http://www.pandeglangkab.go.id pada 12 Mei. 16
[4] Di akses dari http://ghoibnet.blogspot.co.id/2011/12/gunung-pulosari-pusat-peradaban-masa.html pada 12 Mei. 16
[5] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[6] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[7] Wawancara dengan pemuda di Desa Bandrong yaitu aa Dicki Herlimana
[8] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[9] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[10] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[11] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[12] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[13] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[14] Wawancara dengan salah satu ketua RT di Desa Bandrong mamang H. Lukman.
[15] Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html pada 12 Mei. 16
[16] Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html pada 12 Mei. 16
[17] Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html pada 12 Mei. 16
[18] Di akses dari http://rumahmanten.com/?ForceFlash=true#/submenu/pernikahan-adat-banten.html pada 12 Mei. 16


[1] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[2] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016

[3] Wawancara kokolot desa kanekes, pada tanggal 05/05/2016
[4] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[5] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[6] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[7] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[8] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[9] Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar